23. Bad News

1142 Kata
Tiga Bulan Kemudian Bali, Indonesia 02.33 pm *** “Aku mau lepas tongkatnya,” ucap Axel. “Kamu yakin?” tanya lelaki di depannya. Axel mengangguk kecil. “Hem,” gumamnya. “Baiklah, tapi kamu harus berjalan secara perlahan. Pegang kedua besi ini apabila kamu merasa lututmu nyeri atau kram.” Axel pun mengangguk dengan mantap. Lelaki muda itu mendongak dan untuk sejenak menatap Rose yang berada di luar ruangan. Dia menggigit ibu jarinya dengan wajah yang tampak cemas. Senyum pun terpatri di wajah lelaki muda itu. Ia memberikan anggukkan kepala, seolah mengirim sinyal pada wanita di depan sana bahwa dia akan baik-baik saja. Maka Axel kembali memfokuskan atensinya pada kedua kaki. Untuk sejenak, ia terdiam dan mengambil napas dalam-dalam, menutup mata lalu mengembuskannya perlahan. “Sudah siap?” tanya si lelaki yang adalah fisioterapis di klinik ini. Axel pun mengangguk. “Ya,” jawabnya. “Oke, pelan-pelan saja,” ucap lelaki itu. Maka Axel mulai mengambil langkahnya secara perlahan. Dia sudah beberapa kali mencoba melepas tongkat dan berjalan setapak demi setapak. Walaupun kedua kakinya sering kali masih bergetar dan dia kehilangan keseimbangan. Namun, Axel tetap bersemangat untuk menjalani terapi. “Oke ... sudah bagus.” Lelaki di depan Axel itu memandangnya dengan tatapan waswas. Takut, jangan sampai pasiennya terjatuh. Namun, Axel berhasil melewati line tanpa menyentuh kedua besi penyanggah. Ia pun mendongak dan tersenyum, akan tetapi sejurus kemudian ia mengerutkan dahi saat tak melihat Rose di balik dinding kaca. “Rose?” gumam Axel. “Axel.” Dia pun bergeming sewaktu fisioterapisnya memanggil. “Kamu masih bisa berjalan lebih lama lagi?” Untuk sejenak, Axel terdiam dan pikirannya masih sibuk mencari-cari Rose. Sekali lagi ia menoleh keluar sebelum akhirnya menganggukkan kepala. “Oke, kamu harus berkonsentrasi dan pusatkan semua kekuatanmu pada kaki. Namun, kamu juga jangan terlalu kaku. Buat pikiranmu berpikir bahwa kamu sudah sembuh dan kedua kakimu bisa melangkah lebih jauh,” ujar lelaki di depan Axel dan ia pun menganggukkan kepalanya. Sekali lagi menghela napas lalu akhirnya Axel membalikkan tubuh dan kembali menempuh line yang sepanjang dua meter tersebut. “Bagus. Apa kamu bisa berjalan di sana?” tunjuk lelaki itu pada sebuah tempat yang terletak dekat dengan tempat Axel berdiri. “Line itu sejauh lima meter. Ayo kita coba.” “Hem,” gumam Axel. “Baiklah. Ayo kita ke sana. Ambil kembali tongkatmu,” perintahnya. Axel pun menurut. Dalam hati dia mencoba untuk membuat alasan bahwa Rose sedang ke toilet. Namun, sebenarnya ada sesuatu yang terjadi di luar. “Apa?!” Rose memekik dan matanya membulat, sementara merasa jantungnya baru dilempari dengan balok. “Iya, Rose. Kami pun baru mengetahuinya setelah hasil lab keluar dan maka dari itu kami langsung menghubungimu.” Secara perlahan Rose mengangkat pandangannya. Terdiam kaku. Ia menelan saliva, tersekat kental. Dua bulir air bening pun jatuh membasahi pipinya sementara merasa hatinya bagai diremas dengan kuat. Rasanya ngilu. Sakit. “Ya Tuhan ....” Hingga Rose pun hanya bisa bergumam. Bibirnya pun bergetar bersama kedua kakinya yang ikut gemetar. Saat Rose kembali mengangkat wajah, mendadak pandangannya menjadi kabur dan berputar. Rose pun kehilangan keseimbangan. “Nona!” Seorang staf klinik yang kebetulan lewat di situ lantas melesat dengan cepat. Ia pun berhasil memegangi tubuh Rose sebelum gadis itu sempat jatuh. Rose menggoyangkan kepala untuk menarik fokus. “Ma- maaf,” gumamnya. Seketika wajah cantik itu berubah menjadi pucat pasi. Terdengar embusan napas panjang dari samping tubuh Rose. “Anda tidak apa-apa, Nona?” tanya lelaki itu. Rose pun mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya. Lelaki itu balas mengangguk. Ia pun menuntun Rose untuk berjalan dan menempati salah satu tempat duduk yang berada di lobi rumah sakit. “Rose?” Suara di seberang sambungan telepon memanggil. “Y- ya,” jawab Rose dengan suaranya yang masih bergetar. “Kamu yakin tidak apa-apa, Rose?” tanya wanita di seberang sambungan telepon. “Aku ... aku syok!” Rose pun tak dapat menahan air matanya. Ia menundukkan kepala dan menangis di sana. “Maaf, Rose, Suster tidak bermaksud membuatmu sedih, tetapi aku pikir kamu harus mengetahuinya dengan cepat.” Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Ya, aku tahu,” lirihnya. Rose mencoba untuk tegar. Ia pun menegakkan badannya kembali kemudian membawa tangan kanannya ke wajah. Dengan cepat, Rose menyeka air matanya. “Rose,” panggilnya kembali. “Ya, Sus, aku akan ke Bandung hari ini juga. Karena aku sedang di Bali, kemungkinan besar aku akan tiba sebentar malam atau bahkan besok pagi. Aku titip Catherine-“ Rose tak dapat meneruskan ucapannya sebab mendadak hatinya bergetar dengan kuat. Air mata terus saja berderai keluar. Rose membawa punggung tangannya menyumbat bibirnya yang terus bergetar itu. Namun, nyatanya ia tak dapat menahan tangisannya. Gadis itu pun kembali mengubur wajahnya di dalam telapak tangan lalu menangis tersedu-sedu. “Rose,” Wanita yang adalah salah satu teman Catherine itu kembali memanggil dengan suaranya yang lembut. “kamu harus tegar, Nak. Yakin Tuhan pasti akan buka jalan.” Mencoba untuk tegar, Rose pun akhirnya menganggukkan kepala. Meredam tangisannya dan ia pun mengentak napasnya dari mulut. “Ya,” jawab Rose setengah melirih. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan mencoba untuk lebih tegar. “Baiklah. Suster tutup dulu teleponnya. Kamu juga tak perlu terlalu khawatir, Rose. Catherine sedang dalam penanganan dokter. Yang penting kita tetap berdoa dan memohon kesembuhan pada Tuhan.” Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun, air mata masih terus membasahi pipinya. Ini bukan sesuatu yang serta merta bisa diabaikan. Catherine adalah wanita yang berjasa di hidupnya. Rose yang tidak mengenal siapa pun, Rose yang saat itu diterlantarkan lalu bertemu dengan wanita berhati mulia seperti Catherine. Mendengar kabar bahwa wanita itu sedang mengidap penyakit leukimia stadium tiga, sungguh, Rose merasa hatinya bagai tersayat. Sakit! “Baik, Sus, aku tutup dulu teleponnya. Aku akan bersiap hari ini juga,” ucap Rose. “Baiklah, Rose. Hati-hati ya dan kabari kalau sudah tiba nanti kami akan menjemputmu.” “Hem,” gumam Rose singkat. Ia langsung menjatuhkan wajahnya. Mendesah dan terdiam selama beberapa saat. Pikirannya pun bergejolak. Memikirkan bagaimana ia harus menangani situasi ini. Catherine adalah ibunya dan Rose tak mau menyia-nyiakan waktunya. Dia ingin segera menemui wanita itu. Namun, di sisi lain ada Axel yang masih membutuhkan dirinya. Rose juga tak mungkin membawa serta lelaki itu bersamanya, karena Axel masih membutuhkan perawatan di Bali. “Hah ....” Rose mendesah. Seketika ia dilanda perasaan dilema dan gamang. ‘Ya Tuhan, tolong bantu aku,’ gumam Rose. Hati Rose masih berkedut dengan perasaan ngilu. Sementara pikirannya semakin bergejolak. Ini kali pertama bagi Rose dilanda situasi seperti ini. Namun, di saat gamang seperti ini pun, Rose hanya berharap bahwa Catherine akan baik-baik saja. Untuk saat ini, fokus Rose hanyalah untuk menemui ibu angkatnya itu. Selagi dia masih memiliki waktu. Sebab, mau disembunyikan pun tetap saja Rose sadar dan sudah paham betul bagaimana penyakit mematikan ini dapat merenggut nyawa. “Ya Tuhan, Cathy ....” Rose terus bergumam sambil membayangkan wajah Catherine.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN