Rose berjalan tanpa arah. Kedua tangannya terlilit di depan d**a. Pandangannya kosong dan pikirannya melayang memikirkan apa yang dikatakan oleh dokter yang menangani keadaan Catherine.
Tanpa sengaja, Rose akhirnya berhenti di depan sebuah katedral. Angin bertiup mengempas ke arah Rose hingga membuat wajahnya menoleh ke samping.
Ditatap Rose sejenak bangunan di depannya. Tidak ada yang dipikirkan oleh gadis itu. Kedua kakinya bagai bertindak sendiri, membawanya mendekati tempat tersebut.
Tampak seorang lelaki sedang menyapu tak jauh dari pintu masuk. Rose berhenti tepat di sampingnya dan lelaki itu lalu menegakkan badannya saat melihat ada gadis yang berdiri di sampingnya.
“Selamat sore,” sapa lelaki itu.
Rose membalasnya dengan senyum, tetapi senyumannya tak bisa menghapus kesedihan yang terpatri jelas di wajahnya.
“Mau masuk ke dalam, Nona?”
Pertanyaan itu membuat Rose bergeming dan seketika ia kembali memutar pandangannya, menatap si lelaki di sampingnya.
Untuk sekelebat, Rose terdiam. Dia juga tak tahu harus menyahut bagaimana. Hati Rose kembali bergejolak. Namun, entah dorongan dari mana yang akhirnya membuat Rose bergumam lalu menganggukkan kepalanya.
Lelaki itu tersenyum. “Kalau begitu masuklah. Pintunya tidak dikunci, kok,” ucap lelaki itu.
Sekali lagi Rose tersenyum samar sebelum akhirnya dia mengambil langkah. Wajahnya tertunduk dan seolah perasaannya begitu malu.
Ada sesuatu yang membuat hati Rose berdebar dan gemetar. Memikirkan bagaimana dia akan masuk ke dalam. Apa yang akan dilakukannya.
Namun, Rose sendiri tak dapat melawan keinginan tubuhnya. Seolah-olah bertindak sendiri dan melawan pemikirannya.
Sekelebat angin menerpa wajah Rose saat dia melihat lantai yang bersih. Menandakan bahwa dia telah berada di dalam gedung.
Tampak Rose menarik bibir bawahnya ke dalam kemudian menggigitnya. Sungguh, hatinya semakin berdebar-debar memberikan perasaan aneh. Pun matanya mulai terasa panas.
Ada sesuatu yang seperti berbisik di dalam kepala Rose, mengatakan bahwa dia mungkin tak pantas berada di tempat ini, tetapi sebagian besar dalam dirinya bersikeras mendorong Rose untuk semakin mengambil langkah.
Demi apa pun, ini benar-benar sangat aneh. Bergelut dengan pemikiran dan tubuhnya sendiri. Keduanya bersikeras mempertahankan prinsip dan seakan ingin memecah belah tubuh Rose.
Yang satu akan berlari keluar dari tempat ini, dan yang satunya lagi akan berjalan perlahan lalu tersungkur di dalam bait suci.
Sementara pikirannya terus bergejolak, manik cokelatnya kini terhalang kabut air mata. Tubuh Rose pun gemetar, tak tahu apa yang harus dia lakukan.
Sampai akhirnya Rose merasakan sepasang tangan tengah memegangi kedua pundaknya.
Kepala Rose terasa begitu berat dan merasa bulu romanya bangkit ke seantero tubuhnya dan membuat Rose merinding ketakutan.
Gadis itu menangis sejadi-jadinya dan membiarkan tubuhnya rebah di atas kedua lututnya yang gemetar.
Tak ada kata yang keluar dari bibir Rose. Hanya air mata yang menemani percakapannya dengan Sang Ilahi.
Ada permohonan ampun yang terlirih dari tangisan nelangsa itu, tetapi pun meminta belas kasih kepada Tuhannya supaya jangan sesuatu yang buruk terjadi pada Catherine.
Rose tidak mau lagi menyangkal seperti sebelumnya. Gadis itu tahu di mana letak keberadaannya.
Sadar sepenuhnya bahwa dia hanya iota. Tak bernilai dan dilumuri dosa. Rose bukan wanita suci yang mengabdikan dirinya untuk melayani Tuhannya. Tidak seperti apa yang dilakukan Catherine bersama teman-temannya.
Rose hanyalah bagian dari manusia yang gemar mengikuti keinginan daging. Dia pun sadar bahwa selama ini dia telah jauh dari Tuhan, lalu bagaimana dia menuntut kedaulatan Tuhannya.
“Kumohon, ampuni aku.”
Maka Rose hanya bisa melirih. Kepalanya enggan terangkat, sementara kedua tangannya gemetar membawanya di depan d**a lalu mengatupkannya.
Tak ada apa pun yang terbayang kini di benak Rose selain tubuh, jiwa dan raganya yang berserah penuh kepada kehendak Ilahi.
‘Rose, kadang kala manusia itu tak perlu mengatakan apa yang dia inginkan. Tuhan sudah tahu kok, kamu mau meminta apa. Dia cuma butuh niatmu. Hatimu yang hancur, akan diperhitungkan. Apa yang tak bisa terucap dari bibirmu, maka akan disampaikan oleh hatimu dan Tuhan akan mendengarnya.’
Tangisan Rose semakin pecah ketika suara Catherine menggema di dalam kepalanya. Sungguh, wanita itu adalah seseorang yang menunjukkan jalan menuju kebenaran.
Rose pun mengaku bahwa dia sering tersesat di jalannya. Saat ini dia takut, gelisah dan tak tahu harus ke mana.
“Aku mohon, maafkanlah aku.”
Sekalipun ada banyak hal yang ingin terucap di benak Rose, tetapi pada kenyataannya bibirnya keluh dan tak sanggup memohonkan semua itu. Yang ada hanyalah permohonan maaf.
“Nak.”
Suara itu membuat Rose akhirnya mendongakkan wajah. Seorang lelaki dalam balutan jas hitam datang menghampiri Rose. Dia pun mengulurkan tangannya dan membantu Rose bangkit dari lantai.
Gadis itu masih menangis tersedu-sedu. Namun, Rose membiarkan lelaki itu menuntunnya hingga mendudukkan Rose pada sebuah kursi terbuat dari kayu.
“Ma- ma- maaf,” gumam Rose. Dia kembali menyembunyikan wajahnya hingga tak melihat senyum yang terpatri di wajah lelaki tersebut.
“Mengapa harus minta maaf?”
Rose pun memalingkan wajahnya. Satu tangannya bergerak memeluk tubuhnya. “Aku tidak tahu,” kata Rose. “kupikir aku sudah mengotori tempat ini.” Lanjutnya.
Lelaki yang duduk di depan Rose itu tergelak rendah. “Yang kulihat kamu malah sedang membasuh tubuhmu dengan air mata,” kata lelaki itu.
Sekilas Rose memandangnya lalu dia kembali menundukkan kepala. Gadis itu menatap jemarinya yang mulai saling menggulung di atas pahanya.
“Aku ... eum ... aku ... aku tidak tahu harus ke mana lagi. Ibuku sakit parah, dan ... dan ....”
Lelaki itu kembali tersenyum lalu menaruh tangannya di atas pundak Rose. “Kamu datang di tempat yang tepat,” katanya dengan lembut.
Rose akhirnya mendongakkan wajah dan entah mengapa dia jadi ingin tersenyum. Sehingga gadis itu tak dapat menyampirkan senyum di wajahnya.
“Apa yang kamu takutkan?” tanya lelaki itu.
“Aku hanya takut kehilangan dia. Kupikir aku belum siap,” ucap Rose. Dua bulir air bening kembali jatuh membasahi pipinya dan membuat Rose menundukkan wajah.
“Jangan takut,” kata lelaki itu. “bukankah kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya?”
Sambil menundukkan wajah, Rose pun menganggukkan kepala. “Ya, tapi aku belum siap kehilangan dirinya,” ucap Rose dengan suaranya yang berubah seperti decitan tikus. Dia mengulum bibirnya kuat-kuat dan menahan jeritan yang sudah berada di ujung lidah.
“Sebenarnya, kehidupan manusia itu seumpama seseorang yang sedang berdiri di halte. Menunggu sebuah bus menjemputnya dan jika sudah tiba waktunya, tak ada kuasa yang sanggup menghalanginya.”
Rose menggelengkan kepala. “Tapi aku belum siap,” ucapnya berulang kali.
“Memangnya ibumu sakit apa?” tanya lelaki itu.
Rose pun mendongak. “Kanker,” katanya dengan mulut yang bergetar. “stadium empat.” Lanjutnya. “dokter memfonis hidupnya tak akan lebih dari sembilan puluh hari.”
Lelaki di depannya tergelak. “Dokter hanya memfonis, tetapi hasil akhirnya ada pada Dia.” Lelaki itu menoleh ke belakang, menunjuk sebuah patung yang langsung membuat Rose menundukkan wajahnya. Dia tak sanggup menatap patung itu. Patung yang melambangkan kesengsaraan, tetapi kesucian yang tak terkira.
“Berdoalah kepada Tuhan. Dia yang paling tahu mana yang terbaik untuk hidup manusia. Apa pun yang kamu minta, mintalah dengan kerendahan hati. Kamu juga harus percaya bahwa ketika kamu berdoa, Tuhan sebenarnya sudah mendengarkan doamu. Kamu tidak perlu khawatir dan berputus asa, Tuhan tahu apa yang harus dia lakukan.”
Untuk sekelebat, Rose terdiam. Butuh beberapa saat sampai akhirnya Rose bisa menganggukkan kepalanya. Dirasakan Rose ada tepukkan sebanyak tiga kali di pundaknya. Tak berselang lama, lelaki itu pun bangkit lantas meninggalkan Rose sendirian.
Rose menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhnya di sana. Dia pun mulai memanjatkan doa. Walaupun masih berderai air mata, Rose berusaha sedapat mungkin untuk mengungkapkan keluh kesahnya.
Perlahan-lahan, hati Rose mulai melega dan dia mulai lancar memanjatkan permohonannya.