“Apa?!” Rose memekik dan seketika matanya membesar, menatap lelaki dalam balutan jas berwarna putih di depannya.
“Ya, maaf harus memberitahukan hal ini kepada Anda. Melihat betapa cepat kanker itu merusak syaraf dan sel-selnya, kami pun ragu apabila suster Catherine bisa bertahan lebih lama lagi.”
Dirasakan Rose jantungnya seperti berhenti berdetak lalu meninggalkan rasa nyeri yang dengan cepat merambat hingga ke seluruh tubuhnya.
“Ti- tidak mungkin,” gumam Rose.
Samar terdengar suara tangisan dari wanita yang duduk di samping Rose. Salah satu temannya Catherine yang baru saja tiba beberapa menit yang lalu.
“Tidak mungkin, dokter, Anda tidak boleh mengatakan hal seperti itu.” Suara Rose pun mulai berubah. Ada getaran yang mengikuti suaranya, membuat siapa pun yang mendengarnya sanggup menangkap rasa gelisah yang terlalu besar dirasakan oleh wanita muda itu.
“Kami mengatakan hal ini bukan untuk menakut-nakuti Anda berdua, tetapi sebagai dokter, kami memiliki tanggung jawab untuk mengatakan apa yang sebenarnya. Kemoterapi hanya bisa memperlambat penyebaran kanker, tetapi semua itu tak bisa menyembuhkan para penderitanya,” ujar lelaki itu.
Sungguh, hati Rose benar-benar terkoyak. Bagaimana bisa seseorang dengan tega mengatakan bahwa hidup Catherine tak bisa bertahan lebih dari sembilan puluh hari ke depan.
Begitu cepat mereka menaikkan status penyakitnya ke stadium empat.
“Ti- tidak mungkin.” Rose terus-terusan bergumam. Wajahnya berubah pucat pasi sementara bibirnya megap-megap kini.
Rose pun menoleh ke samping, pada wanita yang sedang menangis di sampingnya. “Suster, katakan pada mereka bahwa itu tidak mungkin terjadi. Catherine bisa sembuh, ayo suruh mereka melakukan apa pun,” ujar Rose.
Tak mendapatkan tanggapan, dia pun menengadahkan wajahnya menatap lelaki yang berdiri tak jauh di depannya.
“Dokter, Anda harus melakukan sesuatu. Bukankah masih banyak cara? Tak bisakah kalian melakukan operasi untuk mengangkat kankernya?”
Untuk sekelebat, lelaki di depannya terdiam dan tak mau menjawab. Tampak kedua alisnya melengkung ke atas saat ia membawa bibirnya terkulum di dalam. Sejurus kemudian lelaki itu mendesah.
“Bisa,” katanya. Mendengar hal itu membuat Rose mendesah sambil menutup matanya. Dia pun menelengkan wajahnya ke kanan. Untuk beberapa saat melepaskan napasnya yang tertahan.
“Kalau begitu lakukanlah,” ucap Rose.
“Namun, kalian juga harus bersiap untuk risiko yang lebih besar.”
DEG
Baru saja Rose merasa sedikit lega, tetapi lelaki di depannya kembali memberikan kabar yang tidak diinginkan oleh Rose dan membuatnya membulatkan mata.
“Apa maksud Anda?” tanya Rose terdengar agak sinis.
“Melakukan operasi pada penderita kanker stadium empat bisa saja membahayakan nyawa pasien. Terlebih, saat beberapa orang tubuh mulai tak berfungsi. Pemberian anastesi saja sudah membahayakan baginya, dan kita tak pernah tahu apa yang akan dialami pasien pasca operasi, atau bahkan saat sedang dalam operasi. Jika itu masih tumor, maka kami bisa melakukan operasi, tetapi dalam kasus suster Catherine, kankernya begitu ganas dan cepat menyebar. Satu-satunya saran kami adalah melakukan kemoterapi,” ujar lelaki tersebut.
Mata Rose terpejam, mengeluarkan cairan bening yang terasa panas. Seketika membuat napas Rose terhenti di d**a. Dia terdiam kaku. Tersekat kental dan membisu di tempat duduk. Sementara rungunya masih mendengar tangisan si wanita di sampingnya.
“Kami benar-benar minta maaf soal ini,” ucap lelaki itu. “namun, tak ada yang pernah bisa melawan kehendak Tuhan. Kita masih bisa berharap mukjizat darinya.”
Kepala Rose tertunduk dan tak sanggup bergerak naik. Sungguhlah ini bukan berita menyenangkan. Napasnya tersekat dan membuat dadanya terasa nyeri. Mengapa hanya dalam sehari mereka bisa memfonis nyawa seseorang. Namun, Rose juga tak memiliki alasan untuk tidak percaya pada mereka.
“Rose,” lirih wanita di sampingnya. “apa yang harus kita lakukan?” Lanjutnya.
Rose yang masih terdiam kaku itu hanya bisa menggelengkan kepala. “Aku juga tidak tahu,” gumamnya. Bibir Rose bergetar. Seluruh tubuhnya gemetar. Dia berusaha menoleh ke samping dan wanita di sampingnya bisa melihat sepasang manik cokelat itu kini ditutupi cairan bening berwarna putih.
“I don’t know.” Sekali lagi Rose berucap dan suaranya berubah bak decitan tikus.
Kedua wanita itu akhirnya menumpahkan perasaan mereka. Menangis adalah satu-satunya cara terbaik yang bisa dilakukan untuk meluapkan kesedihan.
Entah harus bagaimana dirinya kini. Mau tidak mau, situasi dan keadaan memaksa Rose untuk mempersiapkan dirinya.
Sembilan puluh hari adalah waktu yang singkat. Apa yang harus dilakukan Rose untuk Catherine dalam sembilan puluh hari ke depan sementara Rose mulai merasa bahwa dia tak akan sanggup menatap mata Catherine lagi.
“Ya Tuhan ....”
Satu-satunya yang bisa dilakukan Rose adalah memanggil nama Tuhan-nya. Memohon kedaulatan dan otoritasnya untuk bekerja menolong satu-satunya orang yang dikasih oleh Rose.
“Kumohon, selamatkan Catherine. Selamatkan dia, Tuhan.”
Mendengar gumaman itu lantas membuat wanita yang duduk di samping Rose itu lalu mendekat dan memeluk tubuhnya.
Benar-benar sulit mempercayai bahwa kanker adalah penyakit mematikan. Bagaimana penyakit itu bisa memisahkan seseorang dari orang yang dia cintai, yang dia sayangi.
Para dokter seolah tak punya hati memberitahukan hal ini kepada mereka. Berdalih bahwa ini adalah bagian dari tugas mereka. Namun, andai saja mereka dapat berpikir bahwa apa yang mereka katakan itu sangatlah menyakiti hati orang lain. Terlebih keluarga dari pasien.
“Kita harus kuat Rose,” kata wanita di sampingnya masih dengan suara lirih.
Kuat?
Mungkin jika diizinkan, Rose ingin balik bertanya, apakah dia juga kuat?
Mempersiapkan diri untuk kehilangan Catherine sembilan puluh hari ke depan. Bagaimana wanita itu bisa berkata bahwa mereka harus kuat?
“Tidak,” balas Rose bergumam. Dadanya naik turun, sementara napasnya semakin tak beraturan. “aku tidak bisa.” Lanjut Rose.
Entah harus bagaimana. Semua pemikiran dan jalan yang dapat ditempuh mungkin saja sudah tertutup.
“Hanya Tuhan yang bisa membantu kita, Rose, kita tak boleh putus asa. Tidak secepat ini.”
Wanita di samping Rose itu terus memberikan dia semangat. Padahal, dia sendiri tak bisa mengendalikan air matanya.
Sementara Rose masih menangis tersedu-sedu di tempat duduknya. Dia tak bisa memikirkan hal lain. Tubuhnya pun tak bertenaga untuk sekadar menggerakkan kedua kaki.
Lelaki yang masih terduduk di depan Rose hanya bisa terdiam menyaksikan dua orang wanita yang tengah meratap di depannya.
“Rose, ayo kita pergi,” ucap wanita di samping Rose.
“Tidak,” gumamnya.
Satu tarikan napas panjang dilakukan oleh Rose sekadar untuk memperbaiki napasnya. Lalu, dalam satu kali embusan napas panjang, Rose pun memilih untuk bangkit dari tempat duduknya.
“Maaf suster, aku tidak bisa menemui Catherine saat ini. Aku butuh udara segar,” ucap Rose.
Wanita yang masih terduduk di tempatnya lalu menganggukkan kepala. “Baiklah,” lirihnya.
Dengan begitu, Rose pun melesat keluar dari tempat itu.
Air mata terus berderai membasahi pipinya saat Rose memaksa kedua kakinya untuk berlari. Menjauh dari sana, tetapi dia pun tak tahu harus ke mana.