Langit sore di tepi pantai pulau Dewata tampak begitu indah. Alam semesta seakan-akan hendak memberikan dukungan kepada dua orang muda yang ingin menyendiri dari hiruk pikuk kehidupan.
Seberkas senyum menawan tercipta di wajah tampan Axel ketika matanya memandang senyum di wajah Rosaline Margareth. Nama yang indah, sesuai dengan pribadinya.
Menatap wajah dengan senyum yang menebarkan kehangatan itu seperti membawa pergi seluruh sengsara di dalam diri Axel. Sekalipun masih ada hal yang berkedut dalam hatinya.
Duka yang dirasakan Axel terlalu besar. Semua yang terkubur dalam-dalam, perlahan naik ke permukaan, menyambar semua ingatan yang dimiliki Axel dan membuatnya ke ketakutan.
Sekalipun memikirkan nasib ibunya dan sebenarnya siapa dirinya.
Lenox?
Hanya nama itu yang berhasil disimpan oleh memorinya sebelum semuanya kembali tenggelam ke dasar jurang kegelapan. Namun, lebih daripada itu, Axel masih tak mampu mengingat siapa dirinya di masa lalu.
Apa yang membuatnya disekap bersama ibunya di sebuah tempat gelap tanpa cahaya. Dan, bagaimana ia bisa lolos, di mana ibunya? Semua itu masih menjadi pertanyaan untuk Axel dan dirinya.
Namun, untuk saat ini, semua pemikiran yang menakutkan itu perlahan menjauh. Genggaman tangan yang mengalirkan kehangatan itu mengusir semua rasa takut. Sekilas menyingkirkan duka di hatinya.
“Hah ....”
Desahan napas dari Rose membuat Axel bergeming, pun menarik seluruh atensinya. Lelaki itu pun mengarahkan pandangannya pada wanita di depannya.
Masih memegang tangan Axel, Rose pun menjatuhkan tubuh dan terduduk di atas pasir putih. Gadis itu mendongak, menatap Axel dengan dahi terlipat. Sejurus kemudian Rose tersenyum.
“Duduklah,” kata Rose dengan lembut. Sekilas Axel memandang ke bawah, pada bagian kosong di sisi kiri tempat Rose.
Melihat reaksi yang ditunjukkan Axel membuat Rose menepuk-nepuk sebelah tempatnya. “Apa yang kau tunggu?” tanya gadis itu. Axel kembali menatapnya. Rose mengedikkan dahi, menunjuk tempat di sampingnya. “ayo duduklah.”
Butuh satu tarikan napas panjang bagi Axel sebelum akhirnya lelaki itu menjatuhkan tubuh, mengambil tempat di samping Rose.
Mulut Rose terbuka melepaskan desahan panjang. Ia menarik sekaligus memeluk kedua kakinya. Gadis itu tampak memandangi lautan indah dengan pemandangan senja di depannya, sementara Axel sibuk menatap wajah Rose.
Ketika Rose mengerjapkan mata dan membuat gerakan dengan wajahnya, Axel pun dengan cepat memalingkan wajah. Rose terkekeh kecil. Ia pun mendekat lalu menyandarkan wajahnya ke pangkal pundak Axel.
Axel bergeming. Matanya mengerjap sebelum membola ke sudut. Ditatapnya gadis itu dari posisinya.
“Axe,” panggil Rose.
Sepasang alis sempurna milik Axel lalu mendelik. Ia pun memutar pandangan, menatap lautan dan pemandangan senja di depannya.
“Kita sudah tinggal berdua cukup lama,” ucap Rose.
Axel kembali memutar wajah. Ia pun menarik kedua kaki, meletakkan sekaligus menumpuk kedua tangannya di atas lutut.
“Hem,” jawab Axel dengan singkat.
“Kamu sudah menganggapku sebagai keluargamu, begitu juga dengan aku. Kita sudah sepakat untuk membagi semuanya bersama. Suka dan duka. Bukan begitu?”
“Hem.” Sekali lagi Axel menjawab dengan gumaman.
Rose menarik napas dalam-dalam sambil menutup kedua mata, lalu mengembuskannya dengan perlahan.
“Axe,” panggil Rose sekali lagi.
“Aku di sini, Rose,” jawab Axel, tak lagi dengan gumaman.
“Sebenarnya kamu menganggap aku ini sebagai apa?”
Pertanyaan Rose barusan membuat hati Axel berkedut. Ia pun langsung memutar wajahnya ke samping. Di saat bersamaan, Rose mengangkat pandangan, pun menatap Axel.
Ada sesuatu dalam ucapan Rose yang membuat hati Axel berkedut. Ia pun mengerutkan dahi. Sekilas memandang wajah Rose lalu kembali menyeret pandangannya ke bawah. Pertanyaan Rose pun menimbulkan sejuta tanya di benak Axel.
“Ya, Axe. Kita bukan saudara kandung dan secara hukum dan agama kita sama sekali tak punya hubungan apa pun.”
Ucapan Rose terdengar pedas, membuat Axel kembali mendongak. “We’re family!” ucap lelaki itu dengan nada menekan.
“Of course we are!” ucap Rose tak kalah menekan ucapannya. “Tapi keluarga yang bagaimana dulu. Apakah kamu menanggapku sebagai kakakmu?”
“No!” tandas Axel. Dilihatnya ada kerutan di dahi Rose. Wanita muda itu menelengkan wajahnya ke samping, memandang Axel penuh tanya. Axel yang menyadari ada sesuatu yang salah dari ucapannya barusan lalu berdecak bibir. Menutup mata sambil memalingkan wajah.
“Jadi, hubungan seperti apa yang kita miliki?” tanya Rose.
Axel menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan cepat. Ia pun membawa tatapannya sepenuhnya menatap Rose.
Setelah matanya terpatri memandang sepasang manik cokelat milik Rose, Axel pun terdiam. Mulutnya megap-megap, tetapi ia tak tahu apa yang harus dia katakan.
“Ak- ak- aku ....” Merasa gugup, Axel pun memalingkan wajah. Ia menggeram dan merutuki dirinya yang tak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan.
“Well, Axe, kita harus memperjelas hubungan kita. Setidaknya aku harus tahu kamu menanggapku seperti apa,” ujar Rose. Sudut bibirnya berkedut, lantas membentuk senyum geli di wajah.
Gadis batin Rose muncul, memperingatkan dirinya bahwa sekarang Rose tampak seperti seorang gadis murahan yang sedang menuntun penjelasan dari seorang lelaki polos yang tak tahu apa-apa.
Namun, Rose sudah menunggu terlalu lama. Axel kerap kali memberikan sinyal padanya, tetapi entah apa yang terjadi. Maikel dan Jared bahkan sudah sering mengatakan kalau Axel menyimpan perasaan untuknya, tetapi entah mengapa lelaki itu masih tak menceritakan apa pun sampai saat ini.
Semua itu membuat Rose tak sabar. Ia mungkin egois karena Axel baru saja mengalami kejadian buruk. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tetapi Rose hanya berusaha mengikuti apa yang disarankan oleh dokter Marsel.
‘Rose, kupikir kamu bisa menjadi obat untuk Axel.’
‘Aku?!’
‘Ya, kamu. Hanya kamu yang bisa menenangkannya. Mungkin dia akan lebih nyaman bercerita denganmu. Kamu bisa mengurik sedikit demi sedikit cerita kelam itu supaya Axel tak menyimpannya sendirian. Rose, Axel percaya sepenuhnya padamu. Hanya kamu satu-satunya yang bisa menolongnya. Jika kamu ingin ini berhasil, maka kalian harus memiliki kontak batin dengan baik bersama Axel. Hanya itu satu-satunya cara yang bisa kita lakukan.’
“So, what your answer, Axe?” tanya Rose.
Tampak sepasang manik hazel itu membulat. Axel pun menyeret pandangannya ke atas.
“Apa artinya aku untukmu.” Rose tak mau berhenti bertanya.
“You’re my everything,” jawab Axel dengan cepat.
“Oh ... that’s cliched. Give me some specific,” kata Rose.
Jantung Axel berdetak meningkat di setiap detiknya. Sungguh, tatapan Rose banar-benar membunuhnya. Andai Rose tahu bagaimana perasaan Axel saat ini. Lelaki itu tak tahu bagaimana harus mengatakannya.
“Axe ...?”
Tapi Rose terus menuntut. Debar-debar di d**a Axel semakin menyiksanya. Lelaki itu pun menarik napas dalam-dalam sambil menutup matanya.
“Axe, aku menunggu,” ucap Rose semakin jahil. “Axel, a-“
“Kamu wanitaku.”
DEG
Baik Rose maupun Axel keduanya sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh lelaki muda itu.