18. A Strange Feeling

1495 Kata
Ada desahan panjang yang mengalun keluar dari mulut Rose. Dadanya melega, tetapi lututnya terasa lemas. Melihat wajah Axel yang berubah menjadi pucat. Namun, lelaki itu berusaha memberikan senyum di wajah. “I’m okay, Rose,” ucap Axel. Rose merendahkan tubuh dengan berlutut di depan kedua lutut Axel. Ia pun tersenyum sendu, menatap lelaki malang di depannya. “Thank God,” gumam Rose. Axel mengangguk. “Bisa kita pergi?” tanya lelaki itu. “Sure,” jawab Rose. Gadis itu lalu bangkit, menatap seorang perawat yang membawa keluar Axel dari dalam. Tak berselang lama, dokter Smith yang melakukan terapi bersama Axel ikut keluar. “Hai,” sapa Rose dengan ramah. Ia pun mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh lelaki itu. “Hai, apakah kamu kerabatnya?” tanya dokter Smith. Mulut Rose megap-megap. Sekejap ia menatap Axel lalu tertawa rikuh dan kembali menatap dokter Smith. “Ya,” jawab Rose. Dokter Smith tersenyum. “Baiklah, sampai jumpa lagi,” ucapnya. “Tha-“ “Thank you, dokter Smith.” Rose menoleh ke bawah dengan mulutnya yang masih terbuka. Sejurus kemudian ia tersenyum melihat Axel yang sudah lebih banyak mengerti. “You’re welcome. See you soon,” kata dokter Smith sekali lagi. Sambil tersenyum, lelaki itu melambaikan tangan lalu memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu. Rose kembali mendesah sebelum akhirnya memutar wajah dan memusatkan atensi penuhnya pada Axel. “Well, kita balik sekarang?” tanya Rose. Axel mengulum bibir, membentuk senyum simpul lalu menganggukkan kepala. Melihat ekspresi itu membuat Rose tertawa rikuh. “Why?” Rose menggelengkan kepalanya. “Tak apa, aku hanya ingin tersenyum, apa itu aneh?” Gadis itu pun menoleh ke bawah. Dari posisinya, dia bisa melihat kerutan di dahi Axel. “Tidak,” jawab Axel setelah lama berpikir. Rose terkikik sendiri. Entah apa yang membuat ia tampak bahagia, padahal semenit yang lalu gadis itu dirundung kegelisahan. ‘Rose, keputusan ada padamu dan Karina. Karena kalian yang paling bertanggung jawab atas kehidupan Axel. Kita tetap akan mengusahakan Axel mengingat masa lalunya, tetapi kupikir kita tak perlu terburu-buru. Ini hanya sekedar saranku, lebih baik kamu memberikan kenangan manis baginya. Mengenalkan Axel pada duniamu. Ajak dia jalan-jalan. Setidaknya dengan begitu dia akan bahagia. Hingga apabila mungkin suatu saat nanti ingatannya kembali, traumanya tak akan lebih menakutkan. Mungkin alam bawah sadarnya akan mengingatkan bahwa masih ada hal manis, masih ada hal indah untuk dilakukan daripada terpuruk pada masa lalu. Namun, semua itu hanya saranku, Rose. Kita tetap menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta.’ Rose mengingat betul setiap detail perkataan dokter Marsel. Dan dia mulai berpikir bahwa semua itu benar adanya. Lebih baik Rose berfokus untuk mengajarkan Axel hal-hal positif, mungkin itulah yang dia butuhkan saat ini. “Axel, karena ini masih siang, apa kamu mau jalan-jalan denganku?” “Ke mana?” tanya Axel. “Eum ... ke mana saja. Hanya kamu dan aku, apa kamu mau?” Rose kembali bertanya. “Boleh,” ucap Axel. “lalu bang Made?” “Oh ...,” Rose mendesah. “ya, aku lupa memberitahu kamu. Bang Made izin pulang lebih dulu. Istrinya sedang tidak enak badan dan dia butuh seseorang untuk menjaga putra mereka,” ujar Rose. Axel mengulum bibirnya lalu mengangguk, tetapi sejurus kemudian ia pun mendelikkan matanya. Axel mendongakkan wajah, “Lalu bagaimana dengan acara di rumah?” Rose mengerutkan dahi. “Acara?” tanya gadis itu. “Hem,” Axel mengangguk. “kata bang Made, mbok Agni sedang menyiapkan sesuatu untuk membuat acara. Kuminta bang Made untuk membawa serta keluarganya.” Mulut Rose terbuka, “Oh ....” Ia pun membawa tatapannya ke atas. “ya, aku tahu. Sebenarnya aku yang mengusulkan acara itu.” Rose menutup ucapannya dengan tawa rikuh. “Well, Rose, sepertinya ingatanku mulai membaik.” DEG Ucapan itu membuat Rose mendelik. Ia pun menoleh dengan tatapan horor. Tepat saat itu juga Axel mendongakkan wajahnya. “Buktinya aku mengingat apa yang dikatakan mbok Agni.” Rose mendesah sambil menutup mata dan memalingkan wajahnya. “Kupikir apa,” gumam gadis itu. Entah Rose menyadarinya atau tidak, tetapi barusan dia jadi sangat takut apabila Axel mengingat kembali masa lalunya. Tidak untuk sekarang. “Oke,” Rose menyentak napasnya dari mulut. Ia pun memaksa kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyum di wajahnya. “Kalau begitu ayo kita pergi,” ucap Rose. Keduanya pun menuju ke mobil. Rose mengambil alih membantu Axel naik ke kursi penumpang sebelum akhirnya ia berlari ke belakang untuk memasukkan kursi roda ke bagasi mobil. “Alright, mari kita jalan,” ucap Rose. Ada senyum tipis yang menghiasi wajah Axel ketika ia memandang wanita di sampingnya. “Rose, kata dokter Marsel, umurku sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua,” ujar Axel. Rose pun mengulum bibirnya. Sejenak ia menatap ke samping. “Oh ya? Kamu menanyakannya?” tanya Rose dengan senyum yang bertahan di wajah. “Ya, itu artinya kita hanya beda setahun, Rose.” Mendengar ucapan itu membuat Rose tergelitik. Ia pun tak bisa menahan tawanya. “Wow!” Gadis itu kembali menoleh ke samping lalu dengan cepat berfokus pada jalanan di depannya. “Aku terkejut mendengarnya,” ucap Rose. Axel pun tersenyum singkat. “Oh ya, Rose, apa kamu punya keluarga? Seperti bang Made, dia punya istri dan juga punya anak umurnya dua tahun,” ujar Axel. Rose kembali dibuat terkejut. “Wow, aku tidak menyangka kamu akan bertanya pada bang Made. Sepertinya kamu banyak mengalami kemajuan,” ucap Rose. “Jadi bagaimana?” Sekilas Rose menoleh. “Apanya?” “Apa kamu punya keluarga?” “Oh!” Rose pun mengerjap. “ayah dan ibuku berpisah. Aku tak pernah bertemu lagi dengan ayahku sejak umurku sepuluh tahun.” Tampak Axel mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ke mana dia pergi, Rose, hingga kamu tak bisa lagi bertemu dengannya.” Rose menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan cepat sambil kembali menyunggingkan senyum di wajah. “Entahlah,” jawab Rose. “setelah berpisah, dia seperti menghilang ditelan bumi.” “Dia ditelan bumi?” “Ah, bukan, bukan. Itu hanya khiasan.” “Khiasan itu apa?” Mulut Rose megap-megap. Dia lupa bahwa Axel belum mengerti banyak bahasa. “Maksudku, aku hanya berandai. Orang Indonesia kalau ingin bilang sudah tak pernah bertemu, mereka biasanya memakai kata-kata khiasan,” ujar Rose. Axel mendelikkan alis. “Hem ... itu terlalu rumit,” katanya dengan polos. Rose terkekeh. “Untuk itu kamu tak usah memikirkannya,” ucap gadis itu. Sambil mengulum bibirnya, Axel pun menganggukkan kepala. “And where is your mom?” tanya lelak itu. “Ibuku meninggal setahun setelah ayahku meninggalkannya,” ujar Rose. “Aku turut bersedih.” Sekali lagi Rose tersenyum, merasa kaget dengan ekspresi Axel. Entah apakah itu efek dari hipnoterapi, tetapi sedikit banyak Axel sudah lebih sering menanggapi dan membawa perasaan emosionalnya saat berbicara. “Ah ... thanks, tapi itu sudah berlalu. Aku tidak berusaha untuk mengingatnya kembali,” ujar Rose. Tampak Axel menarik napasnya dalam-dalam. Ia membawa tengkuknya ke sandaran lalu membuang napasnya dengan desahan panjang. “Bagaimana dengan aku, Rose?” Mendengar pertanyaan itu membuat Rose menoleh. Axel pun memutar wajah menatap wanita di sampingnya. “Apakah aku punya keluarga? Jika ya, mereka sedang berada di mana? Mengapa aku tidak bisa mengingat mereka? Ayah, ibu, apakah aku punya?” Untuk sekelebat, Rose terdiam. Ia pun tersenyum sendu lantas menjatuhkan tatapannya ke bawah. Diraih wanita itu tangan Axel lalu membungkusnya dengan tangannya. “Jangan khawatir, kamu pasti akan bertemu mereka. Tak usah memaksa untuk mengingat hal-hal yang sedang tak mampu kamu ingat. Lagi pula ada aku, anggap saja aku sebagai keluargamu,” ujar Rose. “Tapi bagaimana sebenarnya keluarga itu, Rose?” Axel kembali bertanya dan membuat Rose tergelak rendah. “Aku juga tidak tahu, sudah lama aku tidak merasakannya.” “Well, kalau begitu apakah kita bisa menjadi keluarga?” DEG Jantung Rose berkedut keras dan tekanannya sontak menghentikan napas Rose. Ia pun menoleh ke samping. “You and I, can we make a little family?” Entah apa tujuan lelaki itu bertanya pada Rose, tetapi mendadak saja Rose kehilangan arah saat memandang manik hazel Axel yang seakan-akan mengubah auranya hingga ia terlihat dewasa. ‘Damn it!’ Batin Rose menegur dengan cepat hingga membuatnya mengerjap dan memalingkan wajah. Ia pun membuang napas panjang dan berusaha memperbaiki ekspresi di wajahnya. Lagi pula ada apa ini? Axel hanya bertanya pertanyaan sederhana dan Rose yakin kalau lelaki itu tak memiliki tujuan lain, tetapi mengapa jantung Rose sampai berkedut dan memberinya perasaan aneh? Dan lagi, mengapa dengan kedua pipi dan tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas. “Rose?” Panggilan itu membuat Rose cepat menoleh. “Hem?” Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya dan berusaha memasang senyum di wajah. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” kata Axel. “Oh!” Rose kembali mendelikkan matanya. “tentu!” ucapnya. Jantung Rose tiba-tiba berdetak penuh tekanan dan semburat panas pun mengaliri tubuhnya. Memandang senyum Axel membuat hati Rose tersipu. ‘Sialan! Apa yang kau pikirkan, Rose!’ batin gadis itu. Rose sendiri tak tahu harus bagaimana menanggapi ekspresinya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN