19. The Meaning of You

1156 Kata
Sudah seharian penuh Rose mengajak Axel jalan-jalan. Selain membeli beberapa kebutuhan, Rose juga sengaja membawa lelaki itu ke tempat yang ramai supaya dia bisa melihat perilaku orang-orang sekitar. Namun, bukannya senang, Axel malah kelihatan tak nyaman. Untuk itulah Rose memutuskan untuk membawa Axel ke tempat yang lebih tenang. Ini hampir pukul empat sore dan jika dia bergegas, pasti dia bisa menunjukkan hal yang menakjubkan dan itu bisa menjadi hiburan untuk Axel. Setelah menempuh kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya Rose tiba di tempat tujuannya. Ia pun menepikan mobilnya mengambil jalur ke kanan agar mobil bisa berhenti di atas tanah lapang. “Oke kita sampai,” kata gadis itu. Dengan wajah yang menyunggingkan senyuman, Rose pun menoleh ke samping. “Tunggu di sini akan kuambilkan kursi rodamu,” ucap gadis itu. Lelaki yang duduk di sampingnya itu hanya menganggukkan kepala. Rose pun kembali mengulas senyum di wajahnya, lantas gadis itu melesak keluar dari mobilnya dan bergegas menuju ke belakang untuk mengambil kursi roda milik Axel. Dengan cepat, Rose kembali ke depan dan membuka pintu penumpang. “Come,” ucapnya sambil mengedikkan tangan, memanggil Axel. Lelaki muda itu mendekat. Ia pun mengulurkan tangan dan berusaha untuk menguatkan kakinya. “Rose, aku benar-benar merepotkanmu,” ucap Axel dan Rose pun tertawa berat.                                                        “Bagaimana mungkin. Bukankah kita sekarang sudah menjadi keluarga?” Ucapan Rose membuat Axel tersenyum. Setelah benar-benar memastikan bawah Axel sudah terduduk sempurna dan nyaman di atas kursi rodanya, Rose segera melesat ke belakang dan mulai mendorong kursi roda lelaki itu hingga menuju ke pantai. Gadis itu menekan tombol di kursi roda untuk memarkirkan benda tersebut. Sementara Rose duduk di atas bebatuan tepat di samping Axel. “Bagaimana hari ini?” tanya Rose. Ia kembali memutar wajahnya. “kamu puas jalan-jalan denganku?” Axel tersenyum. “Hem,” gumamnya. “thanks, Rose.” Gadis itu kembali tersenyum semringah. Sejenak ia menoleh ke bawah lalu dengan cepat mendongakkan wajah lalu mendesah panjang. Ia pun memalingkan wajahnya, memandang senja yang kini sedang memperlihatkan keindahannya. “Aku sering ke sini saat berkunjung di Bali,” ujar Rose. Tanpa sadar, ucapannya itu menimbulkan pertanyaan di benak Axel. “Memangnya selama ini kamu ke mana, Rose?” tanya Axel. Rose pun menoleh dan dia tersenyum. “Sebenarnya aku tidak tinggal di sini, Axel,” ujar Rose. Sekilas ia menoleh ke pantai lalu bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan menuju tebing. “Aku tinggal di Jakarta.” “Di mana itu?” tanya Axel. Rose tertawa singkat lalu memutar tubuhnya. “Tempat tinggalku berada sangat jauh dari Bali. Harus naik pesawat. Aku tinggal di kota yang padat. Dikelilingi banyak orang dan juga banyak polusi.” Rose mendesah. Sambil melipat kedua tangannya di depan d**a, ia pun membawa tatapannya kembali menghadap pantai. “Aku sering ke Bali hanya untuk menenangkan pikiran. Kebetulan, Karina punya banyak vila di sini. Aku sering diberi penginapan gratis dan sering kali juga dia yang memanggilku untuk datang ke Bali,” ujar Rose. “Well, dokter Karina sangat baik. Kupikir kalian keluarga.” Rose kembali tertawa. Sejenak ia menoleh ke bawah lalu kembali memutar lutut dan berjalan menghampiri Axel. “Ya, kami memang dekat. Kami sahabat, tetapi tidak keluarga. Keluarga itu lebih rumit. Harus punya ikatan darah,” ujar Rose. “Ikatan darah itu seperti apa?” tanya Axel dengan polos. Rose mengerutkan dahi, tampak berpikir keras. “Seperti keluarga. Maksudku seperti yang dikatakan Bang Made. Dia punya istri dan anak, nah yang begitu di sebut hubungan darah,” ujar Rose. Tampak Axel memerengut bibir lalu mengedikkan bahu. Rose terkekeh. “Entah apakah kamu mengerti yang kukatakan,” gumam gadis itu. Ia kembali memindahkan tatapannya ke langit sore yang tampak begitu indah. “Lalu, mengapa kamu meninggalkan tempat tinggalmu, Rose?” Dengan senyum yang membalut wajahnya, Rose pun memutar pandangan. “Karena aku mulai tidak betah di sana. Lagi pula sudah kukatakan bahwa aku tidak punya siapa-siapa. Aku hanya seorang diri jadi aku bebas melakukan apa pun,” tutup Rose dengan senyum lebar. Untuk sejenak, Axel terdiam. Dahinya terlipat saat pandangan matanya bergerak dan menoleh ke bawah. “Apakah aku juga sendirian?” tanya lelaki itu. Ia pun mendongakkan wajahnya ke atas. Rose tersenyum simpul. Sekejap ia memalingkan pandangan ketika mulutnya telah terbuka, tetapi Rose sendiri tak tahu harus berucap apa. “Well ....” Rose bergumam dan perlahan-lahan mulai menyeret pandangannya kembali pada Axel. “tidak juga, Axe,” ucap Rose. “ya, kamu memang sendirian saat bertemu Karina. Kamu pun tak tahu apa yang sudah terjadi padamu. Namun, itu bukan berati bahwa kamu sendirian. Bisa saja kamu punya keluarga yang sedang mencarimu. Lagi pula ada aku, Bang Made dan Mbok Agni. Kami keluargamu saat ini,” ujar Rose panjang lebar. “Apakah kita bisa selamanya menjadi keluarga?” Rose tersenyum. “Tentu,” jawabnya. “bukankah kamu sudah bertanya tadi?” Axel mengedikkan bahu. “Aku hanya ingin memastikannya,” ucap lelaki itu. Rose tersenyum kaku. Pandangannya jatuh pada tangan Axel yang bersandar di atas armrest. Entah apa yang mendorong Rose dan membuatnya berpikir untuk meraih tangan Axel hingga membuat lelaki itu memutar wajahnya lambat-lambat. Sekejap Axel memandang tangan Rose yang membungkus tangannya, lalu perlahan-lahan lelaki itu mulai mengangkat pandangannya. “Aku akan selalu jadi keluarga untukmu dan kamu pun telah menjadi satu-satunya keluarga yang aku miliki. Apa pun yang terjadi nanti, kuharap kamu tidak akan melupakan aku karena aku tak akan pernah melupakanmu,” ujar Rose. Ia sendiri tak mengerti mengapa ia mampu menciptakan kata-kata yang dalam maknanya itu kepada seorang lelaki yang baru dikenalnya selama sebulan. Namun, entah mengapa Rose jadi ingin berkomitmen. Bahkan ketika Rose sendiri tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. “Mulai saat ini, kamu sudah menjadi bagian dari hidupku, Axel. Aku akan menjagamu. Apa pun yang terjadi. Selama ini, aku tak pernah benar-benar memiliki keluarga dan ketika tadi kamu bertanya tentang keluarga, aku jadi ingin menganggapmu benar-benar menjadi keluargaku,” ujar Rose. Tampak sudut bibir Axel berkedut. Ia pun membentuk senyum di wajah. “Ya, Rose, aku juga sudah menganggapmu sebagai keluarga. Aku janji aku akan berusaha membuatmu bangga. Percayalah, Rose sebentar lagi aku akan berjalan. Aku tidak akan menyusahkan kamu lagi supaya kamu tidak repot-repot mengurusku. Hingga saat itu tiba, maukah kamu bersabar?” Ada selapis cairan bening yang menutupi manik mata Rose, tetapi di saat yang sama seberkas senyum malah membingkai wajah cantiknya. Gadis itu tersenyum dengan mata berair. Ia pun menganggukkan kepalanya. “Ya, tentu,” ucap Rose. “dan kamu tak perlu memaksakan diri. Aku sama sekali tak merasa repot.” Lanjutnya. Tak ada kalimat lagi yang keluar dari bibir Axel. Ia hanya memandang wajah Rose dan merasa bahwa hatinya menghangat oleh senyum teduh milik gadis itu. Lelaki itu mendongak, lantas matanya pun membesar menatap pemandangan yang tiba-tiba berubah. Rose yang melihat reaksi Axel lalu tersenyum lebar. Ia juga tak mengerti mengapa dia sesenang ini hanya dengan memandang wajah Axel. ‘Tersenyumlah, Axel, dengan begitu kamu bisa mengenang semua ini,’ batin Rose.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN