Rose sangat gelisah. Sedari tadi ia mondar-mandir di depan ruang dokter Marsel. Ia tak pernah merasa sangat cemas saat Axel hendak melakukan terapi psikologi. Sudah beberapa kali dia menemani Axel melakukan terapi psikologi untuk mengembalikan fungsi limbik otaknya.
Namun, hari ini ia sangat khawatir karena bukan dokter Marsel yang menangani Axel, melainkan seorang dokter dari luar negeri. Seorang dokter kenamaan yang adalah senior Marsel dan katanya dia bisa melakukan hipnoterapi.
Keputusan tersebut diambil dokter Marsel saat seniornya itu berkunjung ke Bali. Sebenarnya tak ada rencana khusus, ini hanya sebuah kebetulan dan dokter Marsel hanya menggunakan kesempatan yang ada. Lagi pula, dokter Smith yang sudah terkenal di Amerika itu telah banyak kali melakukan penyembuhan terhadap pengidap amnesia dan bahkan mereka yang parah sekalipun.
Namun, walau begitu, entah mengapa Rose jadi begitu khawatir. Apalagi saat ia membaca artikel di internet, sungguh, rasa-rasanya Rose ingin menerobos pintu di depannya lalu masuk dan mengecek keadaan Axel.
Drrtt ... drrtt ...
Nada getaran itu membuat Rose tersentak. Ia mendesah berat. Tanpa sadar dia sudah menahan napas sedari tadi. Maka Rose pun menoleh ke belakang dan segera mengambil ponselnya dari dalam saku celana.
Ada nama Karina di sana. Rose pun mendesah. Ini memang biasanya Karina menelepon Rose, karena saat ini dia sudah tidak bertugas. Rose menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tenang sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan video dari sahabatnya itu.
“Hey, Rose,” sapa Karina lebih dahulu.
“Hey ....” Rose berusaha menyunggingkan senyum di wajah.
“Bagaimana kabarmu? Maaf beberapa hari ini tidak menghubungimu. Ada banyak yang harus kukerjakan di rumah sakit, terlebih aku harus membuat laporan tentang penelitianku,” ujar Karina panjang lebar. Ia pun mendesah di akhir kalimatnya lalu wajah Karina berubah sendu.
“Aku baik,” ucap Rose. Ia pun menutup mata lalu menggelengkan kepala. “maksudku, kami baik. Kami semua baik-baik saja.” Gadis itu menutup ucapannya dengan menyunggingkan senyum di wajah.
“Thank, God ...,” gumam Karina sambil mendelikkan matanya ke atas dan mengusap dadanya. “oh ya, bagaimana Axel? Maksudku, apa sudah ada perkembangan?” Lanjut Karina bertanya.
“Ya, dia sedang menjalani hipnoterapi,” ujar Rose.
Tampak Karina mengerutkan dahinya. “Hipnoterapi?” tanya gadis itu.
“Ya, temannya dokter Marsel, namanya dokter Smith, dia kebetulan ada di Bali dan dokter Marsel memintanya melihat keadaan Axel.”
“Oh, aku mengenalnya!” pekik Karina. “jadi bagaimana, apa sudah ada perkembangan?” Lanjut Karina.
Rose mendesah hingga bahunya merosot ke bawah. “Axel masih sementara perawatan,” kata Rose.
“Well, hipnoterapi memang punya dampak besar, Rose. Terlebih, dokter Gordon Smith sudah banyak menyembuhkan pasien. Aku terkejut dia berada di Bali, tapi aku pun bersyukur. Semoga kita bisa mendapatkan kabar baik,” ujar Karina.
Rose mengulum bibirnya, membentuk senyum simpul kemudian. Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Yeah, I hope so,” ucap Rose. Gadis itu lalu mengerjapkan mata dan kembali membawa atensinya pada Karina.
“Oh ya, bagaimana kabarmu di sana? Maksudku, are you really okay?” tanya Rose.
Karina mengulum bibirnya, menutup mata dan tersenyum simpul kemudian menganggukkan kepala. “I’m okay,” kata wanita itu.
Namun, di akhir kalimatnya, Karina pun mendesah seakan-akan menyimpan sesuatu dan Rose bisa menangkapnya dengan jelas.
“Karina, ada apa? Apa terjadi sesuatu?”
Wanita di seberang sambungan telepon video call itu lalu menggelengkan kepala dengan senyum yang bertahan di wajahnya.
“Tidak,” kata Karina. “semuanya baik-baik saja. Aku hanya agak lelah,” ucap Karina.
Rose mendesah berat. “Kalau begitu istirahatlah. Don’t thinking too much. Biarkan Axel menjadi urusanku. Aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri.”
Mendengar ucapan itu malah membuat Karina mengerutkan dahi, lantas wanita itu tersenyum geli. “Adik?” ulang Karina.
“Hem,” jawab Rose dengan santai. Karina lalu tergelak. “why?” tanya Rose. Karina masih menikmati gelak tawanya selama beberapa saat.
“Sorry, Rose, tapi ucapanmu benar-benar menggelitik telingaku.”
Rose pun mengerutkan dahinya. “Kenapa? Ada yang aneh dengan ucapanku?”
Karina mengangguk, tapi dengan cepat ia menggelengkan kepalanya. “Tidak, tapi aku tak mengira kamu akan berkata adik. Well, Rose, memangnya kamu pikir dia umur berapa?”
Rose terdiam, tetapi perlahan bibirnya mulai mengerucut, ia pun mengedikkan kedua bahu tanda tak tahu. Karina terkekeh, tampak mencemooh.
“Perkiraanku dia umur dua tiga,” kata Karina.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Rose.
Karina menggeleng. “Hanya tebakan. Andai dia punya identitas, tapi Rose, kamu tahu kalau aku dokter, ‘kan, aku pasti ....” Karina sengaja mengantungkan ucapannya lalu menggantinya dengan gelak tawa. “ah! sudahlah, tapi yang jelas umurnya tak beda jauh dengan kita. Hem ... kupikir tidak ada salahnya mencoba berondong, Rossie.”
Seketika Rose membulatkan matanya, membuat Karina lalu tergelak. Tawanya menggema bahkan memekakkan telinga.
“What the hell are you talking ...!” Rose sengaja memanjangkan nadanya, bersama tatapannya yang berubah sinis. Sementara Karina menikmati wajah itu dan membuatnya. Ia tertawa seolah perkataan Rose adalah sebuah lelucon. Rose pun mendengkus lalu memalingkan wajahnya.
“Sorry, Rose, no offense,” ucap Karina. “tapi jika itu menjadi kenyataan, aku juga akan sangat setuju.” Lanjut Karina. Rose kembali mendengkus.
“Lama-lama kamu jadi mirip Jared!” gerutu Rose. Seketika wajah Karina berubah. Tawanya hilang, terganti cepat dengan wajah sendu.
“Well, Rose, aku akan menghubungimu kembali,” kata Karina. Rose sempat mengerutkan dahi dan memandang penuh tanya, tetapi sebelum ia sempat bertanya, Karina sudah kembali berucap, “alright, Rose. Tolong jaga Axel ya, sampai jumpa lagi.”
“Karin-“
“Daah ....” Wanita itu memutuskan sambungan video call secara sepihak.
Rose hanya bisa mendengkus. Tak berselang lama, pintu di depannya terbuka, membuat Rose langsung membulatkan matanya. Tampak dokter Marsel mendahului dua orang yang berada di dalam. Rose pun mengambil langkah menghampiri lelaki itu.
“Dokter!” Panggilan itu terdengar lirih, membuat siapa pun yang mendengarnya sanggup menangkap getaran khawatir yang terlalu besar.
Dokter Marsel mengulum bibirnya, membentuk senyum simpul di wajah. “Rose,” panggilnya.
Desahan napas Rose menggema. Sekilas ia menoleh ke dalam. “Bagaimana?” tanya Rose dengan panik.
“Well, aku kita bicara di ruanganku,” ucap dokter Marsel.
“Dan, Axel?” Rose bertanya sambil sesekali mencuri pandangan di belakang punggung dokter Marsel. Lelaki itu akhirnya menoleh.
“Tenanglah, dia aman di dalam. Masih perlu beberapa menit sebelum sesinya selesai,” ujar dokter Marsel.
Rose hanya bisa mendesah. Tampak wanita itu menelan saliva sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
“Baiklah,” kata Rose.
Dokter Marsel pun mengangguk. Satu tangannya meraih lengan Rose, sementara satu tangannya yang lain terulur menunjuk lorong di depannya.
Hanya berjarak beberapa ruangan dan mereka pun sampai ke dalam ruangan milik dokter Marsel. Lelaki itu duduk lebih dahulu sebelum mempersilahkan Rose untuk duduk di depannya.
Terdengar desahan napas panjang dari dokter Marsel yang membuat Rose menangkap sesuatu yang menghawatirkan. Wanita itu pun semakin merasa panik.
“Dokter, kumohon, katakan padaku, bagaimana terapinya.” Rose pun mendesak.
“Masih abu-abu, Rose,” ucap dokter Marsel.
“Maksudnya?” tanya Rose semakin penasaran.
Tampak mulut dokter Marsel terbuka sewaktu ia kembali mendesah berat. Sekilas ia menelengkan wajahnya ke samping, lalu kembali dengan wajah serius.
“Oke, begini,” Dokter Marsel menaruh kedua tangan di atas meja lalu melipatnya. “saat hipnoterapi dilakukan, Axel tampak ketakutan. Kata dokter Smith, dia mengalami trauma luar biasa sehingga yang terus ia katakan hanyalah kata ... tolong,” ujar dokter Marsel.
Entah mengapa Rose jadi menelan salivanya. “Se- seberapa parah, ap- apa dia tidak bisa mengingat apa pun?” tanya Rose. Entah mengapa dia jadi segugup ini. Jantungnya pun berdetak penuh tekanan.
Untuk kesekian kalinya dokter Marsel mendesah berat. “Selain itu ... dia menyebutkan kalimat ... Mom. Berulang kali,” lanjut dokter Marsel.
“Mom?” tanya Rose. Dahinya mengerut dan keningnya pun melengkung ke tengah.
“Ya, hanya dua kata itu. Help and mom. Selebihnya dia mengejang ketakutan. Keringat bercucuran dan wajahnya berubah pucat. Nyaris saja dia kehilangan kontrol dan dokter Smith belum bisa memaksanya. Itu akan berbahaya, karena jika pasien tak bisa menerima sugesti, maka alam bawah sadarnya akan terjebak di tempat itu dan sulit membawa mereka kembali,” ujar dokter Marsel panjang lebar.
Wajah Rose tampak tercengang. Seketika ia pun merinding diterpa perasaan menakutkan.
“Rose, kata dokter Smith, untuk saat ini sulit menggali alam bawah sadarnya. Sepertinya trauma itu menghalangi Axel untuk mendapatkan ingatannya sepenuhnya, tetapi kita tidak boleh patah semangat. Pasti ada jalan keluar. Dokter Smith akan berada di Bali selama sebulan. Kita lakukan terapi seminggu sekali. Oh ya, apa dia sering bermimpi buruk?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Rose kembali mendongakkan wajahnya. Seketika ia teringat perkataan Axel sebelum kemari. Wajah Rose mulai berubah pucat. Ia pun harus berkali-kali menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
“Rose?” Panggilan itu membuat Rose bergeming. Ia pun mengerjap lalu menggoyangkan kepalanya.
“Maaf,” gumam Rose. Menutupnya dengan senyum kaku. Ia pun kembali mendongakkan wajahnya, menatap dokter Marsel.
“Ya, pagi ini dia mengatakannya padaku bahwa dia sering takut saat hendak memejamkan mata. Katanya seperti ada bayangan besar yang ingin menyerangnya. Dia bilang tidak nyaman, mungkin maksudnya dia ketakutan,” ujar Rose.
Terlihat dokter Marsel mengangguk-anggukkan kepala. Sekilas ia mengulum bibirnya ketika kedua alisnya menukik ke tengah.
“Well, sepertinya memang benar,” ucap dokter Marsel. Ia lalu mendongak menatap Rose kini. “dia mengalami trauma parah. Mungkin lelaki itu korban penculikan. Mendengar satu-satunya kalimat yang diucapkannya adalah kalimat tolong, berarti sebelum ia mengalami kecelakaan, dia pernah mengalami siksaan dalam jangka panjang. Dan mungkin dia mengalaminya bersama ibunya.”
Ada sesuatu yang membuat jantung Rose tiba-tiba berkedut dengan tekanan menyakitkan. “Lalu di mana ibunya?” Pertanyaan itu terucap begitu saja di bibir Rose.
Dokter Marsel mengulum bibir, membentuk senyum simpul sebelum ia menggelengkan kepala. “Tak ada yang tahu soal itu selain Axel,” ucapnya.
Rose mendesah lalu menjatuhkan tatapannya ke bawah. Ia pun menatap kedua tangannya yang bergetar secara alamiah.
“Ya Tuhan, apa yang sudah dialami Axel sebelum ini,” gumamnya.
“Rose,” panggil dokter Marsel. Rose pun mendongak. Wajahnya berubah nanar.
“Sorry,” Rose mendesah sambil mengulas senyum paksa. Dengan cepat ia menyeka air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. “ah ... aku punya perasaan emosional tinggi. Aku jadi-“
“Tak apa, Rose,” sergah dokter Marsel. “aku pun turut prihatin dengan keadaan Axel. Namun, Rose, apabila dia mengalami trauma menakutkan di masa lalu, apakah tidak lebih baik supaya dia melupakannya?”
DEG
Jantung Rose seperti berhenti berdetak selama beberapa detik. Matanya membesar, memandang dokter Marsel.
Untuk sekelebat, mereka terdiam tanpa kata sampai akhirnya dokter Marsel tertawa ringan. Sekilas ia menjatuhkan tatapannya ke bawah, lalu kembali dengan senyum di wajah.
“Aku tahu ini terdengar konyol, Rose. Ini juga melanggar kode etik, tetapi, aku mencoba berpikir dari rasa kasihanku pada Axel. Maksudku, dari reaksi tubuhnya dan dari reaksi otaknya, seakan-akan Axel teralu takut untuk kembali ke sana. Mungkin saja ada sesuatu yang begitu mengerikan sampai-sampai membuatnya tak bisa menoleh ke belakang. Sungguh, jika kamu melihat reaksinya tadi ....” Dokter Marsel pun mendelikkan mata. “Oh ya!” pekiknya rendah.
“Kami sempat mengambil rekaman. Nanti kukirimkan padamu supaya kamu bisa melihat raut wajahnya yang begitu ketakutan.” Lanjut dokter Marsel.
Rose masih terdiam kaku di tempat duduknya. Ia enggan berkomentar dan lebih memilih untuk diam. Sementara otaknya tengah tersesat pada perkataan dokter Marsel sebelumnya.
Lelaki itu kembali mendesah, entah sudah berapa kali.
“Rose, sekali lagi aku tidak menyarankannya secara medis. Hanya saja aku-“
“I know,” sergah Rose. Ia akhirnya memberanikan diri untuk menatap dokter Marsel. Ada seberkas cairan bening yang menutupi netranya. Ini benar-benar pilihan berat, tetapi satu sisi dalam diri Rose begitu menyetujui ucapan dokter Marsel.
“Orang yang patah hati saja tak mau mengingat masa lalunya apalagi seseorang yang sudah mengalami siksaan kejam. Sampai sekarang aku masih merinding saat melihat bekas luka di tubuh Axel. Mereka benar-benar bukan manusia.”
Rose menunduk. Menyembunyikan selapis cairan bening yang tiba-tiba jatuh membasahi pipinya.
“Ya, kupikir juga begitu. Mereka lebih parah dari monster dan syukurlah Axel bisa selamat. Namun, aku pun penasaran akan satu hal.”
Rose mendongak. Tampak dahi dokter Marsel terlipat. Sekilas ia kembali memalingkan wajah lalu menatap Rose dengan pandangan cemas.
“Sama seperti rasa penasaranmu tadi, Rose. Aku juga tak bisa memindahkan pikiranku dari kalimat ibu itu. Axel seakan hendak memberitahu bahwa dia tidak sendirian dalam siksaan keji itu. Ada ibunya, tetapi dia tidak menyebutkan ayah. Apakah itu berarti hanya dia dan ibunya? Mungkinkah dia punya keluarga lain?”
Seketika Rose menjadi dilema. Ia pun memalingkan wajahnya dan melepaskan desahan berat. “Ya, aku juga berharap Axel bisa bertemu keluarganya. Namun, untuk semua itu, dia perlu mengingat kembali masa lalunya, tapi seperti yang dikatakan dokter Marsel, rasanya ....”
“Itulah yang membuatku dilema, Rose. Aku sendiri tak tahu harus mengikuti yang mana. Kata hatiku atau pikiranku. Aku seperti bergulat dengan diriku sendiri,” kata dokter Marsel.
Rose mengulum bibirnya. Ia juga tak mengerti harus berbuat apa. Yang diinginkan Rose hanyalah kesembuhan Axel, tetapi dia juga tak mau kalau sampai lelaki muda itu terluka oleh ingatannya sendiri.
“Tenanglah, kita akan pikirkan cara yang lain. Untuk saat ini, kita biarkan dokter Smith menanganinya. Akan kuberitahu apa yang dikatakan dokter Smith,” ujar dokter Marsel.
Gadis di depannya kemudian mengangguk. “Aku ikut apa kata dokter Marsel saja,” kata Rose. Dokter Marsel balas mengangguk.
“Kita doakan saja supaya Axel lekas pulih dan walaupun ia harus mengingat kejadian buruk, setidaknya ada sesuatu yang bisa menyelamatkannya.”
Rose menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan tenang. “Ya, aku pun berharap demikian,” ucap Rose. Hanya itu yang bisa dia katakan saat ini, karena dia sendiri bingung harus bertindak bagaimana.