Bali, Indonesia
Dua minggu kemudian
***
“Pelan-pelan saja,” kata Rose. Ia menyeret tubuhnya lebih dekat kepada lelaki yang duduk di sampingnya.
“Ulurkan tanganmu padanya,” tunjuk Rose pada tangan Jared yang sedari tadi terulur menantikan si lelaki.
“Ya, come on, kamu pasti bisa,” ucap Jared. Ia pun mengedikkan kepala.
Sementara Karina telah tiba setelah mengambil kursi roda di bagasi belakang. Bukan apa-apa, kondisi lelaki itu memang sudah dalam keadaan membaik, tetapi entah apa yang terjadi. Belakangan Karina baru tahu bahwa lelaki itu mengalami kelumpuhan ringan pada kedua kakinya.
Setelah melakukan MRI, Karina beserta temannya, dokter Marsel tak mendapat sesuatu yang dapat menjelaskan mengapa kedua kaki lelaki itu lemah. Setiap kali hendak berdiri, kedua lutut lelaki itu bergetar. Marsel sudah menyarankan untuk mengantar lelaki itu pada salah satu fisioterapi manual kenalannya. Karina baru berencana mengantar lelaki itu ke sana setelah memperkenalkan tempat tinggal untuk Rose dan juga lelaki itu.
“Yap!” Jared mendesah setelah berhasil memindahkan tubuh si lelaki ke kursi roda. “good job,” gumam lelaki itu dan entah mengapa. Ini gerakan refleks yang diambil Jared, ia pun mengusap puncak kepala lelaki itu.
Sekilas terlihat senyum yang membingkai wajah tampannya dan membuat Karina membulatkan mata.
“Wow!” Rose yang juga melihatnya ikut bergumam.
“Kamu melihatnya, Rose?!” Karina bertanya dengan nada antusias dan Rose mengangguk dengan santai.
“What?” tanya Jared.
“Dia tersenyum, Jared,” kata Karina semakin antusias.
Jared mengerutkan dahinya. “Dan, masalahnya dengan itu apa?”
Karina mendengkus. “Bukan itu, tapi amnesia cedera otak yang dialaminya juga melukai sistem limbik di otaknya yang berfungsi untuk mengatur respons dan emosional. Sejauh ini dia tak pernah tersenyum. Dia terus diam, tetapi hari ini dia tersenyum,” ujar Karina panjang lebar.
Gadis itu membungkuk dan menaruh kedua tangannya di depan lutut. Sementara matanya memandang si lelaki yang terduduk di atas kursi roda.
“Hem ... kamu sudah ada kemajuan, pertahankan itu ya, Axel.”
Axel.
Nama yang diberikan Karina untuknya. Karena tak ada yang tahu nama asli lelaki itu, maka terpaksa Karina mengusulkan nama. Tak ada filosofi dari nama tersebut. Terbesit di kepala dan mencuat begitu saja di mulut Karina.
“Okay, big guy, lemme show you your new house,” ucap Jared. Ia pun mendorong kursi roda tersebut menuju ke dalam vila milik Karina.
Ada desahan napas panjang yang mengalun secara alamiah tepat saat Karina menarik kembali tubuhnya hingga berdiri tegap.
“Well, Rose,” Karina memutar tubuh menghadap sahabatnya. “aku sangat berterima kasih untuk keputusan besarmu. Aku sungguh berhutang budi padamu, Rose,” ujar Karina. Menutupnya dengan desahan berat.
Sementara Rose menyunggingkan senyum singkat di wajahnya. “That’s not biggie, Karin, lagi pula setelah kupikir-pikir, aku memang membutuhkannya. I mean, aku tak punya alasan untuk kembali ke Jakarta. Kau tahu bahwa aku sedari dulu hidup sebatang kara. Aku tak memiliki siapa pun selain Dany dan sekarang lelaki itu juga sudah menghianati aku. Jadi ya ....” Rose mengedikkan kedua bahu. “this is where I am.” Lanjutnya.
Bibir Karina tampak manyun. Ia pun membuka kedua tangan, menghampiri Rose lantas menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
“Aku ikut sedih soal, Dany, Rose, tapi aku juga bersyukur bahwa lelaki itu memperlihatkan sifat aslinya sebelum kalian melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius. I mean,” Karina menarik tubuhnya dan kembali menatap Rose sambil memegang kedua sisi lengannya.
“Bukannya aku bersyukur kalian putus, tetapi setidaknya kamu tahu bagaimana sifat asli Dany sebelum kalian benar-benar membangun rumah tangga. Oh, Rose, aku tak bisa bayangkan bagaimana jadinya nanti,” ujar Karina lantas memutar bola matanya.
Rose mengulum bibirnya, membentuk senyum simpul. “Ya, aku juga berpikir seperti itu,” ucap Rose. Mulutnya terbuka melepaskan desahan lalu gadis itu memutar tubuhnya menatap bangunan dua tingkat di depannya.
“Aku hanya berharap bahwa ini bisa membuatku melupakan nasib buruk. Dan kuharap pria itu juga bisa segera ingat siapa dirinya,” ujar Rose.
Karina mengulum bibirnya dan ia pun mengangguk setuju. “Aku juga, Rose. Kasihan keluarganya. Mungkin sesuatu telah terjadi padanya. Dari kasusnya, aku dan Marsel sudah membuat kesimpulan bahwa lelaki itu mengalami siksaan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dari luka-luka di tubuhnya dan dari kondisi fisiknya, semua itu sudah menjelaskan bagaimana dia diperlakukan secara tidak manusiawi,” ujar Karina.
Rose pun mengangguk. Sekali lagi dia mendesah. “Siapa pun mereka, kuharap mereka mendapatkan ganjaran setimpal.”
“Aku juga berharap demikian,” timpal Karina.
“Hey, guys!” seru Jared dari dalam vila, seketika membuat Rose dan Karina bergeming. Lelaki itu mengedikkan kepala menyuruh keduanya untuk segera masuk.
Karina tertawa singkat. “Well, sepertinya situasi di dalam mulai canggung. Maklum, Jared paling kaku kalau bertemu orang baru,” ucap Karina.
“Kalau begitu ayo kita masuk,” kata Rose. Ia menaruh lengannya di atas pundak Karina lalu keduanya berjalan masuk ke dalam vila.
“Well, well, well ... tampaknya ada dua orang yang berusaha untuk akrab,” ucap Karina. Suaranya menggema dalam ruangan yang didominasi kaca ini.
Tidak banyak furniture di dalam vila ini, kecuali ruangan gym yang berada di lantai dasar. Sebuah ruangan tamu yang cukup luas. Meja panjang terbuat dari kayu dan dua belas kursi yang diatur berhadap-hadapan.
“Oh ya, Rose, semalam aku dan Jared sudah mengisi bahan-bahan dapur. Semuanya ada di kulkas. Kalian bisa memakainya semalam seminggu. Aku juga meminta Mbok Agni untuk mengurusi urusan dapur termasuk soal keperluan kalian. Kamu hanya fokus merawat Axel, Rose,” ujar Karina.
Rose meresponnya dengan anggukkan kepala. “Thanks, Bud!” Ia pun menepuk pundak Karina selama beberapa kali.
“Akulah yang seharusnya berterima kasih padamu, Rose. Terima kasih untuk semua ini,” kata Karina. Ia pun melingkari pinggang Rose dengan gerakan ringan sebelum memeluk gadis itu dari samping.
“Oke, kalau begitu ayo kutunjukkan kamar-kamar di sini. Well, karena Axel belum bisa berjalan mengandalkan kedua kaki, maka dia harus menetap di lantai satu. Hanya ada satu kamar di lantai satu, jadi itu artinya kamarmu ada di atas, Rose,” jelas Karina.
Rose hanya mengangguk. “Oke, tak masalah,” ucapnya.
“Tapi kalau kalian mau sekamar berdua juga bisa.”
Seketika Rose melotot lantas memalingkan wajah, menatap Karina. Gadis itu malah terkikik.
“Maksudku, kamu bisa mengambil matras dan tidur di bawah selagi Axel berada di atas,” ucap Karina.
“Ide bagus,” sambung Jared. Ia datang sambil membawa empat gelas jus dan kudapan. “itu bisa jadi hiburan untukmu. Oh ya, kamu juga tak perlu mencari lawan untuk hook up!”
“JARED!” teriak Rose.
Lelaki itu mendongak dan menyunggingkan senyum konyol. “Well, aku hanya memberi saran. Lagi pula kamu sepertinya ingin hook up.”
“Diam kau!” desis Rose. Seketika raut wajahnya berubah.
Karina yang melihatnya lalu mendengkus. Ia pun menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, Rose, tidak usah diladeni. Lagi pula kamu kenal Jared selama bertahun-tahun, dan kamu sudah cukup tahu kalau lelaki itu tak punya saringan di mulutnya,” ujar Karina.
“Berhenti mengungkit masalah itu, Jared. Leluconmu basi!” kata Rose dengan nada menekan.
Jared pun mengangkat kedua tangan hingga ke atas kepalanya. “Okay, my bad,” ucapnya santai.
“Sudahlah, ayo.” Karina lalu mengedikkan kepala menunjuk ke arah sofa panjang.
Wajah Rose berubah masam. Ia pun memandang Jared dengan pandangan sinis. Namun, Jared tetaplah lelaki konyol yang hobinya mengganggu Rose.
“Well ... here we are,” ucap Karina. Ia duduk di samping Jared sementara Rose duduk di sofa tunggal.
Sambil mematri pandangan sinisnya pada Jared, Rose mulai membungkuk meraih salah satu gelas. Ia hendak meminumnya, lalu mendadak Rose teringat sesuatu. Ia pun menoleh ke samping. Menatap Axel yang duduk tanpa ekspresi.
“Hah ... demi Tuhan, Karina, sampai kapan raut wajahnya seperti ini. Dia selalu membuatku terkejut,” ucap Rose. Walaupun begitu, ia tetap merapat untuk memberikan jus di tangannya kepada Axel.
“Minum ini,” ucap Rose sambil memperagakannya. Walaupun Axel tidak merespon, tetapi dia cukup tahu maksud Rose. Ia pun mengambil benda itu dari tangan Rose.
“Itu tergantung kamu, Rose.”
Mendengar ucapan itu membuat Rose langsung memutar tubuhnya. “Aku?!” tanya gadis itu dengan nada menekan.
Karina mengangguk. “Ya, tergantung dari caramu berkomunikasi dengan dia. Semakin banyak kamu berkomunikasi dengan dia maka itu bisa memicu otak amigdala untuk memberikan respon. Ajak dia menonton, melakukan banyak aktivitas. Semua itu bisa membantu otaknya untuk lebih cepat sembuh,” ujar Karina.
Rose mendengkus lantas membanting punggungnya di sofa. “Oh, sepertinya pekerjaanku tak akan gampang,” gumamnya.
“Tenanglah, Rose. Anggap saja Axel seperti anjing kecil.”
Rose kembali mendelikkan mata menatap Karina. “What do you talking about!” protesnya dengan nada tajam.
Karina mendesah. Ia menepuk kedua paha sebelum bangkit dari tempat duduknya dan meraih gelas di atas meja.
“Honey, ambilkan dengan punyaku,” pinta Jared. Karina pun mengabulkannya.
“Maksudku, Rose,” Karina menyerahkan salah satu gelasnya saat ia tiba di sofa. “kamu harus melatihnya. Butuh kesabaran, tetapi pasti akan berhasil. Kalau bosan, ajak saja dia jalan-jalan. Ke pantai, atau ke mana pun. Kalau bisa ajak ke tempat ramai supaya dia juga bisa melihat ekspresi dari berbagai macam orang. Kamu pasti akan menikmatinya, Rose, percaya padaku.”
Rose mendesah berat. Ia pun menoleh pada Axel yang masih terdiam di sampingnya. “Ya, baiklah akan kucoba,” ujar Rose. Entah mengapa dia jadi ingin tersenyum. “semoga aku bisa melakukannya.”
“Kamu pasti bisa, Rose!” Jared menyemangati.
“Ya, kamu pasti bisa,” timpal Karina.
Rose menanggapinya dengan menyunggingkan senyuman. Ia kembali menatap Axel. Lantas gadis itu bangkit dari tempat duduknya dan kembali menghampiri Axel.
“Axel, mari bekerja sama denganku,” ucap Rose. Ia mengulurkan tangan.
Sekilas lelaki yang diberi nama Axel itu menatap tangan Rose, lalu perlahan mendongak menatap wajah Rose.
“Take my hand,” ucap Rose sambil mengedikkan kepala menunjuk tangannya.
Axel kembali menatap tangan Rose. Peralahan-lahan, tangannya mulai bergerak hingga akhirnya ia berhasil meraih tangan Rose.
Karina mendesah lega. Ia menoleh ke samping dan Jared tersenyum padanya. Karina meraih tangan Jared dan menggenggamnya dengan erat. Keduanya kembali memerhatikan tingkah Rose dan Axel.
“Good job,” gumam Rose. Ia pun mengusap puncak kepala Axel.
“See?” gumam Karina. “Easy peasy like squishy, bukan?”
Rose menanggapinya dengan senyuman lalu dengan cepat ia kembali menatap Axel dan memberinya senyum terbaik.