Bali, Indonesia
08.07 pm
***
“Alright, we’re finally home,” ucap Rose. Senyum hangat meneduhkan itu kembali tersungging di wajah cantiknya. Gadis itu pun menoleh ke samping. Memandang si lelaki muda yang telah menghiasi hari-harinya selama sebulan terakhir ini.
“Terima kasih untuk hari ini, Rose,” kata Axel menutupnya dengan senyuman.
Rose tersenyum simpul, sejenak menutup kedua matanya lalu menganggukkan kepala. “Terima kasih juga, Axel. Kamu membuat hariku menjadi lebih baik,” ucap Rose. Axel tak menyahut selain senyum simpul yang bertahan di wajahnya.
“Oke, sekarang ayo kita ke dalam. Sepertinya mereka sudah berkumpul,” kata Rose. Ia bergegas membuka sabuk pengaman.
“Mereka?” tanya Axel.
Sejenak Rose menghentikan gerakan kedua tangannya lalu perlahan mulai mengangkat pandangannya, menatap Axel kini.
Rose mengulum bibirnya. “Ya, mereka. Mbok Agni dan bang Made. Bukankah kamu juga mengundang keluarga bang Made?” Rose kembali meneruskan aktivitasnya yang tertunda.
Sementara Axel terdiam dengan dahi yang terlipat dan kening yang melengkung ke tengah. Rose yang melihatnya lalu tertawa rendah.
“Ada apa, apa yang kamu pikirkan, hem?”
Axel tampak bergeming. Ia mengerjapkan matanya. “Tidak,” jawab lelaki itu. “entah mengapa ada sesuatu yang membuat hatiku berdebar. Aku juga tidak mengerti,” ucap Axel dengan polos.
Rose menanggapinya dengan senyuman. “Kamu gugup, Axe,” kata Rose. “it’s okay, itu reaksi alamiah dari perasaanmu. Dan, kupikir itu baik. Artinya otakmu semakin berkembang,” Rose menggelengkan kepala. “maksudku dengan kata berkembang artinya mengalami kemajuan,” koreksinya.
Axel tak menyahut. Seperti biasa reaksinya tampak seperti seseorang yang sedang berpikir keras.
“Don’t think too much,” kata Rose. Ia pun meraih tangan Axel dan menggenggamnya sebentar. “pelan-pelan saja. Nanti kamu juga akan mengerti. Tak perlu memaksakan diri. Lagi pula untuk apa gugup, kan hanya bang Made dan mbok Agni. Setiap hari kamu melihat mereka,” ujar Rose.
Alih-alih merasa tenang, jantung Axel malah semakin bertalu dengan kencang. Seperti ada sesuatu dalam kepalanya yang ingin menentang ucapan Rose. Dan memberitahu dirinya bahwa bukan hal itu yang menimbulkan keresahan di dalam diri Axel.
“Oke, akan kuambilkan kursi rodamu.”
Axel kembali bergeming dan seketika mendapati Rose telah melesak keluar dari dalam mobil. Wanita itu bergegas menuju ke bagasi untuk mengeluarkan kursi roda milik Axel. Ada desahan panjang yang mengalun keluar dari mulut Rose sewaktu ia mengangkat benda itu dan membawanya ke depan.
“Rose!” Mendengar suara itu membuat Rose menoleh.
“Eh, Bang.”
Tampak bang Made melesat dari dalam rumah untuk menghampiri Rose yang seperti kewalahan hendak memindahkan Axel. Memanglah, Rose mulai merasa punggungnya pegal. Tubuhnya yang ramping itu sebelumnya tak pernah mengangkat beban dan ketika mengangkat tubuh Axel, Rose pun harus mengerahkan seluruh tenaganya.
“Biar Bang Made saja, Rose,” ucap lelaki itu.
Rose pun tak mau menolak. Ia tersenyum sebelum berucap, “baiklah. Mohon bantuannya ya, Bang,” kata Rose.
“Siap, Rose.” Bang Made pun melesak ke dalam mobil. “hai, Axel.”
Dengan senyum di wajahnya, Axel pun balas menyapa, “Hai, Bang. Maaf merepotkanmu lagi.”
Bang Made tertawa rendah. “Ah ... itu bukan masalah. Lagi pula kamu sama sekali tidak merepotkan, kok. Ayo,” ucapnya. Axel mengangguk lantas meletakkan tangannya di atas punggung bang Made.
Hanya dengan satu kali gerakan cepat, bang Made berhasil memindahkan tubuh Axel ke kursi roda.
“Oke ... sekarang kita masuk,” kata bang Made. Mengakhirinya dengan senyuman. Lelaki itu lalu mendorong kursi roda menuju ke dalam rumah.
“Hai, Rose,” sapa mbok Agni.
“Hai ....” Rose mendelik mata, lalu secara alamiah, senyum membingkai wajah cantiknya. Ia pun bergegas menghampiri ruang makan. Di sana ada mbok Agni, seorang lelaki muda sebaya Axel dan juga seorang wanita yang Rose yakin adalah istrinya bang Made. Wanita muda itu langsung meletakkan tasnya pada sofa lantas menghampiri mereka.
“Maaf sudah membuat kalian menunggu,” ucap Rose dengan ramah.
“Tak apa, Rose, kami juga belum lama sampai,” kata si wanita yang adalah istrinya bang Made.
Rose tersenyum dan menganggukkan kepala. “Oh ya, terima kasih sebelumnya karena sudah mau datang. Aku tidak tahu mau mengundang siapa jadi aku meminta mbok Agni dan bang Made untuk mengajak keluarga. Oh, dan, bukannya mbak kurang sehat ya, tadi siang?” Rose kembali menatap istrinya bang Made itu. Dia tersenyum.
“Ya, hanya kepala pening, tapi si kecil rewel, jadi kuminta bang Made supaya pulang dulu dan bantu saya menjaga si kecil.”
“Eum ... dan sekarang sudah nggak apa-apa, kan?” tanya Rose kembali.
Sambil tersenyum, wanita itu menggelengkan kepalanya. “Ya, sudah tidak apa-apa,” ucapnya.
Rose mengangguk lalu memutar tubuh tepat saat bang Made dan Axel sudah tiba. “Oh ya, semuanya, kenalkan, ini Axel. Dia ....” Ucapan Rose terjeda. Seperti ia membutuhkan sesuatu untuk menguatkan hatinya. “keluargaku.” Lanjut Rose. Gadis itu menutup ucapannya dengan tersenyum.
Semua orang kompak memutar pandangan kepada si lelaki muda yang duduk di kursi roda.
“Hey, Bud!” Lelaki yang duduk di samping mbok Agni itu menyapa. Seolah-olah mereka sudah lama bertemu dan bahkan berteman hingga dia memanggil Axel dengan sebutan kawan.
Sekilas Axel menoleh pada Rose sebelum akhirnya ia menarik sudut bibirnya dan mengulas senyum kilat di wajahnya.
“Hai,” balas Axel menyapa.
“Namanya Maikel, anak mbok yang paling bungsu,” ujar mbok Agni. Sambil menatap Axel, lelaki itu melambaikan tangan dan memberi senyum bersahabat. Axel membalasnya dengan senyum.
“Nah ... karena semua sudah di sini, ayo kita makan,” kata bang Made.
“Hus! Makan terus yang kamu pikirkan!” tegur istrinya, seketika membuat bang Made memerengut bibir.
Rose tergelak rendah. “Tak usah marah, mbak, lagian bang Made bener kok. Kita juga sudah lapar. Mbok, yuk,” ajak Rose. Mbok Agni pun mengangguk lantas mulai menyiapkan makanannya.
“Where you from?” tanya Maikel sambil menghadapkan wajahnya pada Axel.
Lelaki muda itu mendelikkan mata. Bingung harus menjawab dengan apa, ia pun memilih untuk menatap Rose. Dan Rose menangkap maksud tatapan itu.
“Dia kehilangan ingatannya sementara,” kata Rose tanpa perlu menutupi apa pun. Maikel mendelik kaget.
“How sad,” gumamnya. Axel pun menundukkan wajah. “dan ... bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Maikel kembali.
“Ceritanya panjang,” ucap Rose. Ia pun menarik kursi dan duduk di samping Axel. “oh ya, Maikel apa kamu masih sekolah?” Rose berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku kuliah di Bandung, tapi karena sedang libur jadi aku pulang ke Bali,” ucapnya.
Rose tersenyum. “Wow, anak kuliahan rupanya,” kata gadis itu. Maikel memberengut bibir lalu mengedikkan kedua bahunya.
“Ya sudah, ayo kita makan dulu,” ucap mbok Agni. Semuanya pun setuju.
“Bagaimana rasanya kuliah?”
Kompak, semua orang memutar pandangannya pada si lelaki yang baru saja bertanya. Maikel yang hendak mengambil makanan lalu menunda gerakan tangannya. Mulut lelaki itu terbuka menatap Axel.
“Oh, man,” Lelaki itu mengedikkan kepalanya ke samping sambil mengangkat bahunya. “percayalah kamu tidak ingin mendengarnya,” ujar Maikel membuat semua orang terkekeh kecuali Axel yang merasa kebingungan.
“Kenapa kamu tidak pernah kuliah sebelumnya?” Pertanyaan Maikel membuat mbok Agni menyikut lengannya. “oh sorry, aku lupa dengan itu. Maksudku, apa kamu juga mau kuliah?” Maikel memperbaiki pertanyaan untuk menghindari rasa canggung.
Sekilas Axel membentuk senyum simpul di wajahnya. “Can I?” tanya Axel.
Tampak Rose menghela napas lalu mengembuskannya dengan desahan panjang. Ia menoleh ke sekeliling sebelum menatap Axel akhirnya.
“Sure,” jawab Rose. Ia tersenyum simpul. “kita bicarakan ini nanti. Sekarang, mari kita makan lebih dulu,” ucap Rose. Axel mengangguk, lantas Rose memutar pandangannya menatap mbok Agni. Ia mengangguk, menyuruh mbok Agni untuk segera memulai makan malamnya.