Bali, Indonesia
Satu bulan kemudian
***
“Help?”
Tampak dahi Axel mengerut bersama sepasang alisnya yang kemudian menukik ke tengah memandang wanita di depannya.
“Ya, jika kamu memerlukan bantuan seseorang, kamu harus mendahuluinya dengan kata ‘tolong’ dan jika seseorang telah membantumu, maka kamu harus ucapkan-“
“Terima kasih.”
“Exactly!” ucap Rose dengan nada antusias. Matanya pun melebar menatap lelaki muda di depannya. “jadi saat dokter Marsel menanyakan kabarmu, apa yang akan kamu jawab?”
“I’m not look to shabby,” ucap Axel.
Rose mengerutkan dahi. “Wait, aku tidak bilang begitu tadi,” kata Rose.
“Aku melakukan improvisasi,” kata Axel.
Rose pun mendelik. “Well you’ve improved a lot. You make me so proud!” Lanjut Rose.
Axel tersenyum samar lalu mengedikkan setengah bahu. “t****k banyak membantuku,” kata lelaki itu.
Rose lalu mengulum bibir dan mulai mengangguk-anggukkan kepalanya lambat-lambat. “Oke ... terima kasih pada t****k,” ujar gadis itu. Axel menanggapinya dengan mengulas senyum simpul di wajahnya.
Sebulan telah berlalu sejak kepergian Karina untuk kembali ke Amerika dan meneruskan pendidikannya. Seperti yang dijanjikan Karina, ia akan memenuhi semua kebutuhan Rose dan lelaki yang diberi nama Axel itu.
Sebulan berlalu Rose menjadi pengasuh dari lelaki tak beridentitas tersebut. Sejauh ini, Rose tak pernah dibuat kewalahan karena lelaki itu tak banyak menuntut. Dia juga belajar dengan cepat. Rose sama sekali tak pernah dibuat repot.
Rose melakukan tugasnya dengan baik. Selain mengurus kebutuhan Axel, dia juga yang bertugas membawa Axel ke rumah sakit untuk melakukan jadwal terapi.
“Rose,” panggil mbok Agni yang lantas membuat Rose menoleh. “mobilnya sudah siap.” Lanjut si mbok. Rose pun mengangguk.
“Oke, Mbok. Oh ya, tolong bilangin ke Bang Made untuk masuk dulu. Axel juga butuh ganti baju ini,” ujar Rose.
“Baik, Rose,” kata mbok Agni. Wanita yang dipercayakan Karina untuk mengurus vilanya itu lalu memutar tubuh dan pergi dari sana.
Lantas Rose pun menengadahkan tubuhnya kembali menghadap Axel. “Alright handsome, waktunya untuk melakukan terapi. Are you ready for today?”
Tampak sudut bibir Axel terangkat lantas membentuk senyum di wajah, ia pun menganggukkan kepalanya.
“Oke, sekarang kita siap-siap.” Rose berjalan menuju belakang tubuh Axel untuk mendorong kursi rodanya menuju ke kamar.
“Rose,” panggil Axel. Ia pun mendongak dan Rose menoleh dan memberi senyum.
“Hem,” sahut Rose.
“Terima kasih,” kata Axel.
Senyum Rose pun mengembang. “Ya, sama-sama, Axel. Terima kasih juga sudah percaya padaku.”
“I’ll trust you in everything,” kata Axel.
Rose tergelak rendah. “Okay, I appreciate it,” kata Rose.
Tampak Axel mengulum bibir dan membentuk senyum simpul. Sekalipun ia masih merasa kosong dan tak tahu bagaimana dirinya bisa sampai seperti ini, tetapi selama ada Rose, Axel selalu merasa aman.
“Oke, mari kita pilih outfit untukmu.” Rose mendesah sebelum menunduk dan mulai mencari pakaian yang cocok untuk Axel.
“Eum ... Rose, can I ask something?” tanya Axel.
Rose langsung memutar wajahnya. Tampak dahi gadis itu terlipat. “Sure,” ucapnya.
“How old are you?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Rose tergelak. Ia kembali memutar tubuh, menghadap Axel kini.
“Kenapa?” tanya Rose.
Axel mengedikkan kedua bahu. “Tidak, aku hanya ingin tahu. Jika keberatan, kamu tak perlu menjawabnya,” ucap lelaki itu kembali membuat Rose tegelak.
“Hem ... sepertinya aku pernah mendengar dialog itu,” kata Rose.
Sekilas Rose melihat Axel menggigit bibir bawahnya sebelum memalingkan wajah. Sementara Rose membuka mulut ketika otaknya mengingat sesuatu.
“Oh ... ya ....” Wanita itu pun ingat dialog pada serial TV Amerika yang ditonton Axel semalam. Rose terkikik. Ini memang sering terjadi.
Belakangan ini, Axel memang lebih sering berdialog seperti yang dia tonton. Entah saat menonton TV, hiburan di ponselnya dan bahkan di mana pun. Seakan-akan sistem limbik di otaknya mulai berfungsi sehingga Axel bisa dengan cepat belajar memahami emosional dan perilaku orang lain dan dia langsung melakukannya bersama Rose.
“Kamu menonton sampai episode berapa, Axel? Aku sampai tak tahu kamu tidur jam berapa,” ujar Rose. Kembali menyibukkan diri dengan mencari pakaian untuk lelaki itu.
“Eum ... entahlah. Kupikir pukul dua pagi. Aku tak bisa memejamkan mata. Seolah setiap aku ingin menutup kedua mata, ada bayangan hitam menakutkan. Jadi kupilih untuk menonton sampai pagi.”
Mendengar ucapan itu membuat Rose untuk sekali lagi memutar tubuh, menghadap Axel. Gadis itu menatap Axel dengan kening yang mengerut. Rose pun bangkit, mendekati Axel lalu berjongkok di depan kedua kaki lelaki itu.
“Apa ... selama ini kamu seperti itu?” tanya Rose, memelankan suaranya.
Axel memerengut bibir, ia pun menganggukkan kepalanya. “Hem,” ucap lelaki itu.
“Lalu kenapa tak pernah cerita?”
“Aku tidak tahu bagaimana harus menceritakannya padamu, Rose, kupikir itu tidak penting.”
Rose mendesah lalu menelengkan wajahnya ke samping. Gadis itu mengusap dahi hingga rambutnya.
“Apa kamu menceritakannya pada dokter Marsel?” tanya Rose. Axel menggelengkan kepalanya, membuat Rose kembali mendesah. “Why?!” Pertanyaan itu terdengar lirih, menyatakan bagaimana Rose begitu khawatir.
“Dokter Marsel tidak pernah bertanya,” ucap Axel dengan polos.
Sekali lagi Rose mendesah. “Bukannya dia selalu bertanya padamu? Dia bertanya, bagaimana harimu, apakah kamu tidur nyenyak, apakah kamu mulai mengingat sesuatu, apakah suasana hatimu sedang baik-baik saja. Apa yang kamu rasakan. Aku bahkan menghafal semuanya,” ujar Rose panjang lebar.
Tidak ada kata yang keluar dari bibir Axel. Untuk sejenak ia terdiam sambil memandang wajah Rose, lalu akhirnya lelaki itu menundukkan wajahnya.
“Maaf,” ucap Axel. “aku hanya tak tahu bagaimana harus mengatakannya pada dokter Marsel. Aku juga tak begitu mengingatnya. Itu terjadi di saat jam tertentu. Mungkin menjelang pagi. Aku tak bisa memastikannya. Tapi, aku selalu tidak nyaman saat memejamkan mataku,” ujar Axel.
Untuk sekali lagi Rose mendesah kasar. Sebulan tinggal bersama Axel, Rose jadi paham bahwa lelaki itu tak mau terbuka pada orang lain selain dirinya. Termasuk dokter Marsel.
“Aku mengerti, Axel,” ucap Rose. Axel kembali mendongak menatap gadis muda itu. “tapi kamu tidak boleh terus menerus menyembunyikan perasaanmu pada dokter Marsel. Dia perlu tahu apa yang kamu rasakan. Kamu juga harus ingat bahwa dokter Marsel sudah melakukan yang terbaik untuk membawa kembali ingatanmu, maka dari itu kamu harus bekerja sama dengan dia,” ujar Rose.
Sambil mengulum bibirnya, Axel pun menganggukkan kepala. “Ya, maaf, Rose.”
Untuk ke sekian kalinya Rose mendesah. “Tidak apa-apa. Kamu tidak salah, tapi janji ya, setelah ini kamu harus cerita semuanya pada dokter Marsel,” ujar Rose. Axel pun mengangguk.
“Permisi ....”
Suara itu membuat Rose dan Axel menoleh ke arah pintu. Tampak seorang lelaki pertengahan empat puluh muncul di ambang pintu.
“Eh, Bang Made,” sapa Rose.
“Sudah siap, Axel?” tanya Bang Made.
Rose tersenyum. “Bang Made tolong bantuin Axel ganti baju ya,” ucap Rose.
Bang Made langsung mengangguk. “Oke ....” Dengan senyum di wajah lelaki itu segera mendekati Axel.
“Yuk,” kata bang Made.
“Tolongin ya, Bang ....” Rose berucap sambil menepuk sebelah lengan bang Made.
“My pleasure,” kata bang Made.
Sekilas Rose menoleh ke samping. “Kutunggu di depan ya,” ucap Rose.
Axel mengangguk. Rose pun melangkah. Namun, sebelum ia sampai di pintu, tiba-tiba saja wanita itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.
“Oh ya, Axel,” Mendengar suara Rose membuat Axel menoleh ke arah pintu. “soal pertanyaanmu tadi,” Rose menjeda ucapannya. Ia tersenyum sekilas lalu berucap, “umurku dua puluh tiga.” Lanjut Rose.
Kedua sudut bibir Axel pun menungging ke atas, lantas membentuk senyum di wajah tampannya itu. Entah mengapa, ada sesuatu yang berkedut di dadanya. Ada sesuatu yang menjalar cepat dari tengkuk dan wajahnya, terasa hangat dan membuatnya tak bisa berhenti tersenyum.
“You’re blushing.”
Mendengar ucapan itu membuat Axel langsung mendongak. Ia pun mengerutkan dahi menatap lelaki di depannya.
Tampak bang Made mengedikkan kening menunjuk wajah Axel. “Pipimu, warnanya berubah jadi kemerahan,” ujar bang Made.
Axel langsung memalingkan wajah, tetapi ia tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Bang Made pun tersenyum geli, memandang lelaki yang lebih muda darinya itu.
“Bang, can I ask you something?” tanya Axel.
Bang Made mengangguk. “Sure!” ucapnya sedikit menekan nada karena tubuhnya tengah mengangkat tubuh Axel.
“Apakah kamu punya kekasih?”
Pertanyaan itu membuat Bang Made mendelik kaget. Sontak, ia mendongak menatap Axel. Lelaki itu menaruh Axel pada sebuah alat fitnes yang sengaja diberikan Karina di dalam kamar ini untuk menjadi penyanggah saat Axel hendak berdiri.
Sambil menegakkan badannya, Axel bisa menaruh kedua tangan pada dua penyanggah yang dipasangkan masing-masing pada sisi kiri dan kanan. Ini juga sebagai terapi untuk otot kakinya supaya bisa menopang bobot tubuhnya walau hanya sebentar.
“Kenapa, tidak biasanya kamu berbincang denganku. Biasanya kamu hanya diam,” kata bang Made sambil melucuti pakaian Axel.
“Tidak, aku hanya ingin bertanya. Dan maaf, karena aku banyak diam, aku juga masih salah-salah dalam berdialog. Aku butuh banyak penyesuaian.”
Ucapan Axel sukses membuat bang Made terkekeh pelan. Tubuhnya agak merunduk untuk bisa melepas celana Axel.
“Aku tidak punya pacar, tapi aku punya istri.”
Axel pun mengulum bibirnya. “Kamu punya anak?” tanya Axel.
“Ya, umurnya dua tahun,” ucap bang Made. Dia tersenyum. “kapan-kapan kubawa ke sini. Dia sangat imut dan menggemaskan.” Lanjutnya.
Tampak lelaki itu menyunggingkan senyum di wajahnya. “Kamu terlihat bahagia,” kata Axel.
Bang Made mendelik sesaat ketika kedua tangannya telah siap memasukkan pakaian dari kepala Axel. Bang Made tertawa rendah.
“Terima kasih, tetapi semua orang memang harus bahagia Axel,” kata bang Made.
“Bagaimana caranya untuk bahagia?” tanya Axel dengan polos.
Tampak dahi bang Made mengerut bersama dagunya yang juga ikut mengerut saat lelaki itu mengulum bibirnya.
“Eum ...,” gumam bang Made. Dahinya terlipat tampak sedang berpikir keras. “pikirkan hal-hal yang membuatmu senang.” Lanjut bang Made.
Axel masih bingung, hingga ia pun mengerutkan dahinya. “For example?” tanya lelaki itu kembali.
Bang Made kembali mengulum bibirnya. Sepasang kening itu kembali menukik ke tengah. “Bagaimana ya ...,” gumam bang Made. “oh ya!” Lelaki itu pun mendelik. “apa yang kamu inginkan saat ini.”
Giliran Axel yang mengerutkan dahinya. “Apa yang aku inginkan?”
“Hem,” gumam bang Made sambil menganggukkan kepalanya. “yang Axel paling inginkan saat ini.”
Lelaki muda bermata hazel itu lalu mengerutkan dahi sambil perlahan-lahan membawa tatapannya turun. Ia pun tampak sedang berpikir keras.
“Eh ... aku ... aku ingin segera berjalan,” ucap Axel akhirnya. “dan juga secepatnya mengingat siapa diriku.” Lanjutnya.
“Oke, kalau begitu, kamu harus berjuang untuk mendapatkannya. Tapi, apakah selama ini kamu tidak pernah merasa bahagia?”
“Bagaimana bahagia itu?” balas Axel bertanya.
Bang Made pun terkekeh saat mengingat bahwa Axel belum bisa mengerti banyak kosa kata. Emosionalnya juga belum stabil.
“Eum ... begini saja. Mulai hari ini kamu harus perhatikan sesuatu hal yang banyak membuat hatimu senang. Yang bisa membuatmu tersenyum. Apa pun itu, lakukanlah. Tanpa sadar, kamu sedang membuat dirimu bahagia,” ujar bang Made.
“Paham?” Lanjutnya bertanya.
Axel menghela napasnya dalam-dalam. Sekilas dahinya kembali terlipat. “Hal yang membuatku tersenyum, ya,” gumamnya.
“Ya,” jawab bang Made. “apa pun itu. Apakah itu mbak Rose.”
Mendengar nama itu membuat Axel langsung mendongakkan wajah. Sekilas bang Made seperti menatapnya dengan teliti sebelum akhirnya lelaki itu terkekeh.
“Itu hanya salah satu contoh, Axel. Mbak Rose kan sering membuat lelucon garing.”
“Garing maksudnya apa?”
Mulut bang Made yang menganga lalu menjadi keluh. “Eh ... eh ... apa ya,” gumamnya. Tak mendapatkan jawaban, ia pun menggaruk belakang kepalanya.
“Eh ... seperti dipaksa menjadi lucu, tapi sebenarnya tidak lucu.” Bang Made menutup ucapannya dengan tawa paksa dan seketika membuat Axel terkekeh rendah.
“Nah, seperti itu!” tunjuk bang Made ke wajah Axel. “kamu barusan tersenyum. Artinya kamu sedang merasa senang. Sebenarnya bahagia itu sederhana, Axel. Di saat hatimu senang, maka di situlah kamu merasa bahagia,” jelas bang Made.
Axel kembali tersenyum, lantas lelaki itu mengangguk sekali lagi. “Baiklah,” ucap Axel.
“Nah, sekarang apa kita sudah bisa bersiap?” tanya bang Made. Axel menjawabnya dengan gumaman dan anggukkan kepala.
“Oke!” Bang Made kembali melanjutkan tugasnya. “senang melihat kamu banyak kemajuan, Axel. Dibanding saat pertama Bang Made melihatmu, kamu sekarang sudah lebih ceria,” ujar bang Made. Ia pun mendongak, tersenyum menatap Axel.
Lelaki muda itu tak membalas ucapan bang Made selain memberikan senyum di wajahnya. Lantas Bang Made mempercepat tugasnya mengganti pakaian untuk Axel lalu memindahkan lelaki itu ke kursi roda.
“Ayo kita terapi. Oh ya, hari ini mbok Agni akan membuatkan makanan spesial untuk kamu. Dia tadi pergi belanja.”
“Oh ya?”
“Hem,” gumam bang Made.
Entah mengapa, Axel kembali mengulas senyum. Naluri seperti mengirim sesuatu yang membuat lelaki itu merasa aman. Entah apa, Axel juga tak terlalu memahaminya. Seakan-akan ia tak pernah diperlakukan seperti ini.
Selama tinggal bersama Rose, mbok Agni dan bang Made, Axel selalu diperlakukan bagai raja. Apa pun yang dibutuhkannya telah disediakan. Rose sangat perhatian baginya.
Namun, untuk semua itu, entah mengapa juga masih ada sesuatu dalam hatinya yang seolah gelisah. Sering kali ada sekelebat bayangan menakutkan yang terlintas di pikiran Axel, tetapi ia tak dapat mengingat apa pun.
“Sudah siap?” Suara itu membuat Axel mendongak.
Entah apakah Axel menyadarinya atau tidak, tetapi hatinya kini berdebar dengan perasaan aneh. Bagai ada sinar yang menerangi wajah Rose dan membuatnya bercahaya. Demi apa, Axel tak tahu bagaimana mengendalikan perasaannya ini. Jantungnya pun mulai berdetak meningkat memberinya perasaan berbeda.
“Yes, we ready,” kata bang Made.
Rose pun tersenyum. “Kalau begitu ayo. Dokter Marsel sudah menelepon,” ucapnya.
“Hem,” gumam bang Made.
Sementara Axel masih terdiam, lebih tepatnya ia termangu-mangu menatap Rose.
Rose yang melihat ekspresi Axel lalu mengerutkan dahinya. “Axel?” Panggilan itu akhirnya berhasil membangunkan Axel dari lamunan singkatnya. Ia pun bergeming lalu mendongak dengan cepat.
“Hem?” gumam lelaki itu.
“Are you okay?” tanya Rose.
“Y- yeah,” jawab Axel dengan mendesahkan napasnya dari mulut. Bang Made yang melihat tingkah Axel lalu tersenyum geli. Sementara Rose masih mengerutkan dahinya. Namun, selama beberapa detik, Rose lalu mengerjap dan mendelikkan alisnya.
“Siap untuk pergi?” tanya Rose.
“Hem,” gumam Axel singkat.
“Oke, kalau begitu ayo kita berangkat,” ujar Rose.
Axel mengangguk. Bang Made ikut mendelikkan alis sambil menahan senyum geli di wajahnya. Lelaki itu pun menunduk, lalu berbisik di depan telinga Axel, “Sepertinya kamu sudah menemukan sumber kebahagiaanmu.”
Mendengar ucapan itu membuat Axel mendelik. Wajahnya memutar dengan gerakan pelan, lewat sudut matanya, Axel bisa melihat senyum geli di wajah bang Made. Namun, Axel juga tak tahu harus bereaksi seperti apa.
Perasaan ini masih terlalu aneh dan terlalu asing untuknya. Hingga lelaki itu memilih untuk menaikkan tatapan, menatap Rose dari belakang.
‘Apa, itu benar, Rose? Apakah kamu benar-benar sumber kebahagiaanku? Walau begitu, aku juga tidak mungkin menjadi sumber kebahagiaanmu,’ batin Axel.
Walaupun semuanya masih buram dan Axel masih tak mengerti apa pun, tetapi melihat Rose secara tak langsung membuat lelaki itu kini memiliki tujuan. Walaupun ia masih belum menyadarinya.