“Cathy ...,” panggilan itu terlalu lirih, membuat siapa pun yang mendengarnya sanggup menangkap getaran khawatir yang terlalu besar.
Rose terdiam di ambang pintu. Dua bulir cairan bening jatuh begitu saja dari pelupuk matanya. Rose pun membawa kedua tangan menutup wajah, lantas menunduk dan membiarkan suara tangisannya pecah di sana.
Seorang wanita yang merupakan rekan kerja dari Catherine lalu memeluk tubuh Rose dari samping. Wajahnya pun terlihat sendu.
“Rose, kamu harus tegar, Nak,” gumam wanita itu. Dia pun menundukkan wajahnya, menyesuaikan dengan Rose.
Namun, bukannya tenang, tangisan Rose malah semakin pecah. Demi apa pun, hatinya tergores. Melihat kondisi Catherine yang kini terbaring di atas bangsal. Dari sini, Rose bisa melihat wajah pucatnya.
Semua itu seketika membuat Rose jadi tak bertenaga. Dia pun membiarkan tubuhnya jatuh hingga kedua lututnya mendarat kasar di atas lantai.
“ROSE!”
Wanita itu pun memekik. Dia langsung merendahkan tubuh untuk sejajar dengan Rose, pun memeluk tubuh gadis itu. Sementara Rose membiarkan air mata tercurah tanpa ampun.
“Rose, ya Tuhan, Nak ....”
Rose menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya bergumam, tetapi tak satu pun kalimat yang sanggup keluar dari bibir Rose. Sungguh, bibirnya bergetar bersama hatinya yang serasa diremukkan.
Melihat kondisi Catherine mau tidak mau membuat Rose berpikir jauh, bagaimana dirinya nanti jika Catherine pergi meninggalkannya.
“Cathy, ya Tuhan ....” Sehingga Rose hanya mampu menangis sambil bersimpuh di ambang pintu.
***
Bali, Indonesia
11.23 pm
_________
Tampak sepasang manik hazel tengah memandang cahaya rembulan yang tampak begitu terang malam ini. Namun, tak begitu dengan hatinya yang gelap. Tersesat di sana, pada sebuah pemikiran yang tak berujung.
Sebagian dirinya masih berusaha mencari-cari ingatannya. Sering kali merutuki otaknya yang seperti sudah berkarat hingga tak bisa lagi digunakan.
“Hah ....”
Desahan napas panjang dan berat itu terus menerus mengalun dari mulut Axel. Malam ini, dia merasa begitu sunyi.
Ada sebuah perasaan aneh yang sungguh tidak dimengerti olehnya. Berkata bahwa dia benar-benar nyaris sekarat di sini, padahal kondisi fisiknya mulai membaik.
“Hey, buddy!”
Panggilan itu membuat Axel bergeming lantas menoleh ke belakang. Tampak Maikel berada di tepi kolam. Berjalan menghampiri Axel yang sedang terduduk di salah satu kursi kayu persegi panjang sambil memandangi bulan.
Terdengar napas berat dari Maikel saat ia mengambil salah satu tempat duduk di sana. Sudut bibir Maikel terangkat membentuk senyum di wajah. Dia pun menepuk paha Axel sambil menatap lelaki itu.
“What’s wrong?” tanya Maikel.
Axel pun mengulum bibir lalu mengedikkan kedua bahu. “Nothing’s wrong,” jawabnya singkat.
Maikel yang mendengarnya lalu tergelak rendah. “Oh, man ... come on, dari tampangmu, kau terlihat sedang tidak baik-baik saja. Ada apa, kamu merindukan Rose?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Axel lalu mendelikkan matanya. Wajah yang awalnya menunduk itu langsung mendongak, pun memutar pandangan kepada Maikel. Lelaki itu kembali tergelak.
“Bloody Hemming, Axel! Kamu benar-benar merindukannya, hah? Apa kita ke Bandung saja, bagaimana?”
Ucapan Maikel semakin membuat bola mata Axel terbelalak, pun jantungnya ikut berkedut memberikan tekanan berbeda. Sementara ada suara yang berdengung dalam kepalanya, menyetujui ucapan Maikel barusan.
“Oh God ....” Maikel pun bergumam sebelum ia merebahkan tubuhnya pada kursi persegi panjang itu. Maikel pun membawa pandangannya menatap sinar rembulan yang seperti tepat berada di depan wajahnya.
“Well, Buddy, aku benar-benar prihatin padamu,” ucapnya. Maikel pun menoleh, memandang Axel yang juga ikut menolehkan pandangan kepadanya. Tampak dahi Axel mengerut bersama alisnya yang melengkung ke tengah.
Maikel pun terkekeh rendah. “Ya, Axel, selain kamu yang tak mengingat siapa dirimu, aku juga prihatin karena kamu belum berani menyatakan perasaanmu,” ujar Maikel.
Bola mata Axel kembali terbuka. Ingin memprotes, tetapi mendadak bibirnya keluh, pun tak tahu apa yang harus dia katakan.
Lalu sambil mendesah panjang, Maikel pun membawa tubuhnya untuk bangkit. Lelaki itu duduk samping menghadap Axel, lantas meletakan kedua siku tangannya di atas paha.
“Well, Axel, katakan padaku, apakah kamu benar-benar menyukai, Rose?” tanya Maikel tanpa basa-basi.
Mulut Axel tampak megap-megap bersama bulu matanya yang bergerak-gerak gelisah. Lelaki itu tak tahu harus menjawab apa. Lagi pula mengapa dengan tekanan jantungnya yang berdetak cepat hanya karena pertanyaan sederhana itu.
“Ayolah ... kamu tidak perlu malu. Aku ini temanmu. Teman tak perlu menyimpan rahasia. Ayo. Sekarang katakan padaku, apakah kamu benar-benar menyukai Rose?”
Untuk sekejap, Axel masih terdiam dan dia semakin gugup. Lantas lelaki itu memilih untuk terkekeh lalu memalingkan wajahnya.
“Ah!” Axel pun menyentak napasnya dari mulut. Ia membawa tangannya mengusap tengkuk.
“Oke ... dari ekspresimu sudah menjawab pertanyaanku,” ucap Maikel.
Sekilas Axel kembali menatapnya lalu lelaki itu tertawa rikuh. Namun, Axel juga tak mau membantah ucapan Maikel. Dia akhirnya memilih untuk menjatuhkan tatapannya, memandang jari-jarinya yang mulai menyatuh di atas paha.
“She your first love, don’t you?” tanya Maikel.
Ketika Axel kembali menatap Maikel, dia pun melihat lelaki itu memicingkan mata dengan pandangan yang berubah meneliti. Axel kembali terkekeh lalu mendongak.
“Aku tidak tahu, Maikel,” jawab Axel dengan polos.
Maikel pun memerengut bibir sambil mengedikkan kedua alis. “Of course you are,” gumam Maikel. Dia kembali merebahkan tubuhnya lalu menaruh kedua tangan di belakang kepala.
“Well, Axe, cinta pertama memang selalu menebarkan,” ucap Maikel. Dia sendiri tergelak oleh ucapannya. “aku jadi ingat cinta pertamaku.” Lanjutnya.
“How’s it feel?” Axel pun memberanikan diri untuk bertanya.
Sekilas Maikel menolehkan pandangannya ke samping. Dia pun mengerutkan dahi. “Eum ... bagaimana ya. Sepertinya saat itu aku selalu malu saat melihatnya. Ah! Axe, lagi pula itu sudah lama sekali. Well, jantungku berdetak lebih cepat dan pipiku terasa panas.”
Mendengar ucapan Maikel kembali membuat Axel mendelikkan matanya. “Really?” tanya lelaki itu penasaran.
Sambil mengulum bibirnya, Maikel pun menganggukkan kepala. “Ya, itu perasaan alami,” jawab Maikel.
“Lalu, apa yang kamu lakukan saat itu?” tanya Axel kembali.
Maikel lalu tergelak. “Ya, aku diam. Kupikir aku tak pantas mendapatkan dia. Well, dia ketua OSIS.”
“What is that mean?” sergah Axel dengan pertanyaan.
Maikel pun memandang Axel dengan dahinya yang terlipat. Untuk sejenak dia terdiam, lalu perlahan otaknya mulai memberitahu bahwa Axel tidak tahu dengan kata ‘OSIS’ karena dari parasnya, dia bukan orang Indonesia.
“Ah ....” Maikel pun bingung. Terlihat dari keningnya yang menukik ke tengah tampak sedang berpikir keras. “eum ... seperti ketua klub,” jawab Maikel seadanya.
Axel masih kebingungan. Lalu Maikel pun mendesah. “Yang jelas dia terkenal, Axe.” Lanjut Maikel.
Kini Axel mengedikkan alisnya, tetapi dia juga tak mau mengomentar hal itu. Dia pun bergeming. “Lalu, apa yang kamu lakukan?” tanya Axel sekali lagi. “I mean, apakah kamu diam terus menerus?”
Maikel memerengut bibir kembali menyeret pandangannya mendongak ke atas. “Saat itu ya, karena dia juga sudah punya pacar jadi aku diam.”
“Lalu?” tanya Axel. Dia mulai penasaran.
“Maksudmu lalu?” balas Maikel bertanya.
“Maksudku apakah kamu menyerah begitu saja?” Lanjut Axel.
“Ya, aku menyerah. Dia sudah punya pacar dan pacarnya juga keren. Aku bisa apa,” ujar Maikel.
“Jika dia tidak punya pacar apa kamu mau menyatakan cintamu?”
“Of course!” jawab Maikel dengan cepat. Lalu, mendadak otaknya membesitkan sesuatu hingga membuat Maikel menoleh ke samping.
“Apa Rose punya pacar?” tanya Maikel tanpa basa-basi.
Tampak Axel bergeming lalu mendelikkan matanya. Dia menatap Maikel dalam diam.
“Dia punya pacar?” Maikel pun memperjelas pertanyaannya barusan.
Untuk sekelebat, Axel masih terdiam. Namun, mulutnya sudah menganga. Hanya saja dia seakan tak bisa berkata-kata.
Butuh beberapa detik untuk berpikir sampai akhirnya Axel siap untuk menjawab. Dia pun menggelengkan kepalanya.
“Dia baru putus,” jawab Axel dengan nada setengah berbisik.
“Itu bagus!”
Axel tersentak mendengar suara Maikel yang tiba-tiba saja berubah antusias. Membuat Axel terpaksa kembali menatapnya. Dengan cepat Maikel menarik tubuhnya yang tengah rebahan itu dan kembali memutarnya menghadap Axel.
“Itu kesempatan bagus, Axe. Kurasa Rose juga menyukaimu.”
“Oh ya?” gumam Axel dengan dahinya yang masih terlipat.
“Ya!” Maikel semakin antusias menjawabnya. “aku melihat caranya menatapmu apalagi saat di bandara. Ah! Kupikir kamu terlalu polos kalau seandainya kamu tidak menyadari hal itu,” kata Maikel.
Axel tak tahu harus menjawab dengan apa. Perlahan, dia mulai menurunkan tatapannya. Merasa ada sesuatu yang berkedut di hatinya, tetapi Axel tak tahu bagaimana harus menguraikannya kepada Maikel.
“Well, Axe, kamu tinggal mengatakannya pada Rose dan semuanya selesai,” ucap Maikel. Dia pun bangkit lalu menghampiri Axel. Duduk di samping lelaki itu.
“Aku siap membantumu.” Maikel kembali berucap.
“Entahlah, Maikel, aku hanya tidak berpikir sampai ke sana. Kupikir aku hanya bisa menyusahkan Rose.” Ucapan Axel membuat Maikel tergelak.
“Kenapa? Apa karena kamu cacat?” tanya Maikel. Sungguh, apakah dia menyadarinya atau tidak, tetapi ucapannya terlalu frontal.
Axel tak berani menjawab dan memilih untuk memalingkan wajahnya. Melihat ekspresi Axel membuat Maikel akhirnya menyeret tubuhnya untuk lebih dekat dengan Axel. Dia pun menepuk-nepuk bahu lelaki itu.
“It’s okay, don’t be shy,” ucapnya santai. Axel memandangnya singkat lalu kembali menyembunyikan wajah.
“Aku akan membantumu.” Lanjut Maikel. Kali ini Axel berhasil mengalahkan perasaan tidak percaya diri dalam dirinya untuk kembali menatap Maikel.
“Aku pernah berada di posisi seperti dirimu. Merasa tak percaya diri karena aku memiliki kekurangan. Namun, sekarang aku tahu bagaimana cara membuat wanita jatuh cinta.”
Axel terdiam selama beberapa detik sampai akhirnya dia pun memberanikan diri untuk bertanya. “Caranya?”
Ada senyum di wajah Maikel sebelum dia berucap, “Ada banyak caranya. Namun, pertama-tama kamu harus membentuk tubuhmu.”
Lelaki bermata hazel itu sekali lagi menunjukkan kebingungannya. Dia mengerutkan dahi dan terdiam kaku. Melihat ekspresi tersebut, membuat Maikel lantas tergelak.
“Astaga ... apa yang kamu pikirkan, Axel?” tanya Maikel. Padahal, dia sudah tahu dengan jelas apa yang dipikirkan Axel.
“Well, perlu kamu ketahui, Axe. Wanita paling suka dengan lelaki yang punya bentuk tubuh yang seksi. Maksudku, berotot, punya perut six pack. Dan, di sisi lain kamu juga akan merasa lebih percaya diri,” ujar Maikel.
“Caranya?” tanya Axel dengan polos.
Sebentar Maikel tersenyum lalu dia menepuk bahu Axel. “Tenang, aku akan mengajarimu. Tapi pertama-tama, kamu harus pastikan bahwa kakimu sudah siap. Maksudku, kuat. Jika sudah begitu, kita akan membentuk tubuhmu. Look at this.”
Maikel menaikkan kaosnya lalu mengangkat kedua tangan sambil mengencangkan otot di lengan. Melihat hal itu membuat Axel membulatkan matanya.
“Oh my God!” pekiknya rendah.
Maikel tertawa angkuh. “Tunggu sampai kamu melihat ini,” ucapnya. Lelaki itu pun bangkit dari tempat duduk lalu mengangkat kaosnya. Maikel pun mengencangkan perut dan membuat manik mata Axel melebar.
“Oh my ....”
Dengan wajah terkejut sekaligus tercengang itu, Axel pun mulai mendorong dagunya sambil matanya memerhatikan bentuk tubuh Maikel.
“Se- sejak kapan kamu punya perut seperti itu, Mike?” gumam Axel.
Maikel tergelak untuk ke sekian kalinya. “Sudah sejak lama,” ucapnya. Lelaki itu pun menutup kembali perutnya dan duduk di samping Axel.
“Tenanglah, Axe, nanti juga kamu bisa mendapatkan perut seperti ini. Kamu hanya perlu latihan dan memperhatikan pola makan. Tenang, aku bisa mengajarkanmu dan semua itu gratis!” tandasnya.
Manik mata Axel makin melebar setiap detiknya. “Really?” tanya Axel.
“Obviously,” jawab Maikel. “aku akan membantumu mendapatkan tubuh ideal supaya saat Rose pulang dia akan tercengang sambil menelan ludah menatapmu.” Maikel menutup ucapannya dengan gelak tawa membuat Axel ikut tertawa.
“Kau bisa saja!” gumam Axel.
“I am,” jawab Maikel sedikit angkuh saat ia mengedikkan kedua bahu. “aku sudah berpengalaman soal cinta mencinta. Dan untukmu, Axel temanku dari mana aku tidak tahu dirimu.” Maikel tergelak oleh ucapannya sendiri. “tapi semua itu tidak penting. Aku sudah di sini, teman dan aku akan menolongmu.”
“You’re my hero,” ucap Axel.
Tampak Maikel memerengut bibir lalu mengedikkan kepalanya ke samping. “I am,” jawabnya dengan bangga.
Axel pun tersenyum. Baru kali ini dia bertemu dengan seseorang yang banyak bicara, tetapi menghibur.
“Alright!” Maikel pun bangkit. “kalau begitu ayo kita ke dalam. Ini sudah larut, Axe. Rose juga tak berhenti mengirim chat padaku dan menyuruhku supaya tidak mengajakmu main game sampai larut.” Maikel mendengkus di akhir kalimatnya.
Namun, di sisi lain Axel malah mengerutkan dahi. “Rose mengirim chat padamu?” Pertanyaan itu sontak membuat hati Maikel berkedut.
“Ah ya!” Maikel pun mengeluarkan ponselnya lantas memperlihatkan riwayat obrolannya dengan Rose. Isinya hanya spam dari Rose, seketika membuat Axel tergelak.
“Damn it! Wanita benar-benar protektif,” ucap Maikel.
“Begitukah?” tanya Axel dengan polos.
Maikel menjawabnya dengan mengedikkan bahu dan kepalanya. “Ya. Sepertinya kamu juga harus bersiap dicecar pertanyaan bertubi-tubi. Namun, sampai di sini kamu harus paham bahwa Rose mulai menghawatirkanmu. Tanda-tanda wanita mulai jatuh cinta padamu, dia akan mengirim ribuan chat pada teman dekat pria yang diincarnya, tetapi saat mengobrol atau chat denganmu, dia hanya akan menanyakan poin-poin penting. Seperti, apa kamu sudah makan? Bagaimana harimu. Kamu ke mana saja,” ujar Maikel sambil mencontohkan suaranya seperti Rose.
Ekspresi di wajah Maikel membuat Axel tertawa rendah. Maikel ikut tertawa.
“Maka dari itu kamu harus masuk sekarang supaya aku bisa mengirim foto pada Rose bahwa lelakinya sudah tidur nyenyak,” lanjut Maikel
Axel akhirnya mengangguk. Dia pun bangkit dari tempat duduknya. Maikel bergerak meraih pundak Axel lalu menepuknya.
“You doing well, buddy,” gumam Maikel.
“Thank you. Kuharap kamu tidak akan bosan mengajariku,” ucap Axel.
“Oh tentu tidak. Aku akan mengajarimu sampai kamu menjadi kuat, seperti singa!” Maikel menyentak ucapannya.
‘Seperti singa!’
Deg
Tiba-tiba langkah Axel terhenti. Kepalanya seperti berkedut dan memberinya visual.
“Argh!” Lelaki itu pun menggeram sambil menutup matanya. Membuat Maikel membelalakkan mata.
“Axe!” serunya dengan nada rendah.
Maikel bergerak cepat menopang tubuh Axel, tetapi lelaki itu mengangguk sambil mengangkat tangan tanda bahwa dia baik-baik saja.
“Ada apa?!” tanya Maikel penasaran.
Pelan namun pasti, Axel mulai menegakkan tubuhnya. Maikel pun semakin khawatir melihat wajah Axel yang tiba-tiba berubah pucat.
“Katakan padaku ada apa?!” cecar Maikel.
Sekali lagi Axel menggelengkan kepalanya. “Entahlah. Tiba-tiba saja aku seperti melihat bayangan seorang lelaki. Namun, aku tidak tahu dia siapa. Dia seperti memanggilku singa,” ujarnya.
Maikel semakin bingung. “My God!” pekiknya. Menatap Axel dengan kebingungan. “sepertinya itu bagian dari ingatanmu, Axe,” ucap Maikel.
Axel tidak menjawab. Dia sibuk memperbaiki napasnya yang sempat tak beraturan dan membuat dadanya sesak.
Lantas Maikel menarik napas dan mengembuskannya dengan cepat. “Tak perlu khawatir,” ucapnya. “besok jadwalmu bertemu dengan psikiater, kan?” tanya Maikel. Axel mengangguk singkat.
Maikel pun mendengkus. “Baiklah. Besok kamu ceritakan apa yang sudah kamu alami saat ini. Aku akan menemanimu,” ucap Maikel.
Axel mengangguk. “Thanks, buddy,” ucapnya. Giliran Maikel yang mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu ayo masuk,” ucapnya. Maikel pun membantu memapah tubuh Axel hingga ke dalam kamarnya.