“Argh ....”
Seorang lelaki meringis dengan nada lirih. Ia mendongakkan wajah, memandang lelaki berjubah hitam yang kini sedang berjalan mengitari kursinya.
“Siapa kau, hah?!” bentaknya.
Srak!
“Argh!” Lelaki yang terikat di atas sebuah kursi kayu itu kembali meringis. “damn it!” makinya dengan kuat.
Entah bagaimana dia sampai berada di tempat gelap dengan satu lampu redup yang memancarkan cahaya tepat di depan kepalanya. Bunyi berderik terdengar dari bola lampu yang kedap-kedip.
Detak jantungnya memompa dan memacu dengan tekanan kuat. Dadanya naik turun, hidungnya kembang kempis, wajahnya tertunduk membiarkan peluh bercucuran hingga tetasannya menyentuh dan pecah di lantai.
Masih dengan kepala tertunduk, lelaki itu memantau pergerakan pria misterius di belakangnya. Wajahnya tak bisa dilihat. Bersembunyi di balik topi hitamnya.
Bunyi ketukan sepatu boots yang menggema itu membuat kepala si lelaki yang terikat itu berdenyut pening. Kesakitan menyebar ke seluruh tubuh, membuat lelaki itu menggeram marah.
“Arghh ... lepaskan aku!” bentaknya.
Srak!
“f**k!” Lelaki itu berteriak, menjerit dengan wajah terdongak dan dengan kedua matanya yang tertutup.
“f**k YOU!” makinya dengan suaranya yang bergetar.
Srak!
Sekali lagi ia berteriak, “Tolong ....” Lelaki itu berusaha memperjelas suaranya dan sekali lagi dia menerima sengatan dari benda tajam yang sedari tadi diayunkan oleh lelaki misterius itu.
“Demi Tuhan, aku tidak mengenalmu. Apa salahku sampai aku harus- arghh ....”
Jeritan nelangsa itu terdengar menggema di dalam ruangan gelap dan lembap tersebut ketika sebilah pisau dengan gampang mengorek bahu, lengan hingga ke ujung jari tengah.
Kedua tangan lelaki itu meremas ujung armrest. Rahangnya mengencang, wajahnya gemetar, napasnya memburu dan cucuran peluh tak berhenti membasahi keluar dari pori-pori dan membasahi seantero tubuh dan wajahnya, sementara cairan kental merah berceceran keluar dari bagian tubuhnya yang tersayat benda milik pria misterius tersebut.
Desahan napas pun terdengar. Berembus tenang dan santai, sesantai lelaki kejam itu mendudukkan tubuhnya di atas kursi kayu tepat di depan lelaki yang terikat tersebut.
“Here’s the deal,” gumamnya dengan tenang.
Lelaki yang sedang menderita dan menahan sakit di depannya lalu menoleh, menatap dari sudut matanya. Kini, ia pun bisa melihat wajah lelaki itu.
Dia tampak begitu muda. Kedua sisi rahangnya mengencang hingga menampakkan otot-otot di sekitar wajahnya.
“Aku akan bertanya padamu dan kamu harus menjawabnya dengan jujur.”
Mendengar ucapan tersebut membuat lelaki yang sedang terikat di atas kursi itu lalu merengek nyeri.
“Aku tidak mengenalmu, demi Tuhan, lepaskan aku ....”
“Wrong answer.”
Srak!
“f**k!” Lelaki yang terikat itu kembali menjerit. Matanya terbuka lebar sementara mulutnya menganga. Pembuluh darah di leher dan sekujur lengannya mengencang tatkala lelaki misterius itu mengoyak pahanya dengan pisau.
Ia mengayunkan benda tajam itu bagai mengayunkan selai di atas roti tawar. Sedikit saja goresan yang menyentuh permukaan kulit, maka benda itu akan langsung merobek kulit hingga ke daging.
Bukan hanya menyakitkan, tetapi rasa sakit yang teramat besar itu benar-benar menghancurkan tubuh. Deritanya terasa hingga ke alam bawah sadar.
“Look, aku tidak ingin membuat penderitaanmu semakin lama, maka dari itu bekerja samalah denganku,” ujar lelaki bersuara bariton berat dengan bola mata sehitam vantablack tersebut.
Tarikan napas yang dilakukan lelaki itu membuat pria di depannya merinding ketakutan. Sementara otaknya masih mencari-cari penggalan memori dan mencari alasan, bagaimana dia bisa berada di sini.
Ini jelas bukan mimpi buruk sebab rasa sakit yang dialaminya sungguh nyata. Senyata desahan napas yang menerpa permukaan kulit wajahnya.
“Peraturannya adalah kamu menjawab pertanyaanku dan aku tidak akan melukaimu. Kamu mengerti?” tanya lelaki itu dengan nada pelan, tanpa tekanan.
Namun, lelaki di depannya sudah merasa tertekan dengan tatapan mata dari sepasang manik hitam gelap di depannya.
Dengan ketakutan yang semakin besar, dengan jantung yang berdebar-debar kencang, dan dengan wajah yang bergetar, ia pun menganggukkan kepalanya.
“Y- ya,” ucap lelaki itu.
Pelan namun pasti, pria muda di depannya mulai menarik tubuh sambil mengunci tatapannya pada lawan bicara.
Dia mendesah saat biritnya mendarat di atas kursi. Mengganti posisi duduk dengan memangku kakinya. Lelaki itu pun menaruh kedua siku tangannya di atas arm rest. Matanya kini memandang sebilah pisau yang bergerak-gerak di antara kedua tangannya.
Untuk sesaat, lelaki itu terdiam sambil memandangi wajah penuh peluh dari lawan bicaranya.
“Hem ... hari ini kamu baru bebas dari penjara, hah?”
“Ya!” jawab lelaki itu dengan cepat. Tentu saja mengundang reaksi dari si lelaki muda. Ia pun tersenyum iblis.
Gerakan tubuh yang dilakukan oleh si pemilik iris vantablack itu, membuat lawan bicaranya refleks menarik tubuh. Sekalipun tak ada celah baginya untuk melarikan diri, naluri bagai memerintah tubuhnya untuk menjauhi bahaya.
Aura gelap, mengerikan itu menyeruak dari tubuh lelaki berbadan atletis di depannya. Mengintimidasi dan bagai menyebarkan sejuta teror menakutkan.
“Well, let make this simple.” Suaranya tiba-tiba berubah menjadi berat, serak dan kelam. Ia membungkuk, menaruh kedua siku tangan di atas paha lalu mendongak, menatap lelaki di depannya.
“Hari Minggu,” ucapnya. “Six Feet Under Club.” Lelaki yang terikat menderita itu mengerutkan dahi mendengar ucapan dari lelaki menakutkan di depannya. “mengapa kamu memukul adikku, hem?”
Sungguh, tidak ada nada ancaman dari pertanyaan sederhana tersebut, tetapi entah mengapa tubuh lelaki yang terikat itu dibuat merinding.
“A- a- adik?” tanya lelaki itu dengan suara gagap.
“Wrong answer.”
“Wa- wa- wait!” jeritnya.
Tanpa berlama-lama, lelaki muda itu langsung menggores betis lelaki di depannya dengan benda super tajam di tangannya.
“Arrghhh ....” Jeritan nelangsa itu kembali menggema. Tubuh si lelaki yang terikat mengencang bersama kedua tangan yang mencengkeram ujung arm rest dengan kuat.
“The rules is ... I ask, and you give the trully answer,” ucap lelaki itu dengan begitu tenang. “tidak ada pertanyaan balik, pengulangan kata dan tidak ada kebohongan. That’s simple, don’t get yourself in trouble.” Lanjutnya sambil mengerutkan dahi, seakan-akan sedang memberikan teguran yang baik, tetapi sebenarnya kalimat itu adalah peringatan sekaligus ancaman.
“Oke, oke,” jawab lelaki yang terikat itu dengan desahan pun dengan anggukkan kepala yang cepat.
Lelaki muda di depannya memerengut bibir lalu mengangguk singkat. “Alright, sekarang jawab pertanyaanku. Mengapa kamu memukul adikku, hem?”
Pria yang tubuhnya sedang meneteskan darah itu tampak menelan saliva. Ia meringis saat setetes peluh membasahi kulit tangannya yang terbuka.
“Ak- ak- aku hanya menjalankan perintah,” ucapnya dengan gagap.
“Perintah dari siapa?” tanya lelaki muda itu dengan nada tenang.
Lelaki di depannya kembali menelan saliva. “Aku juga tak begitu mengenal pria itu. Dia mendatangi aku sambil menyerahkan segepok uang dan menyuruhku memukul seorang pria di Six Feet Under Club,” ucapnya terburu-buru.
Lelaki muda itu mengangguk lambat-lambat, menyebarkan sejuta kengerian dari caranya mengembuskan napas panjang. Ia pun mengedikkan alis sebelum bangkit dari tempat itu.
Dia pergi, membuat sanderanya menelan saliva sambil mendongakkan wajah. Tak berselang lama, lelaki misterius itu kembali sambil membawa sebuah ponsel di tangannya. Lelaki yang duduk dengan gelisah itu membelalakkan mata saat melihat ponselnya berada dalam genggaman lelaki itu.
“Sekarang kamu hubungi dia,” ucapnya dengan tenang.
Sempat menelan saliva lagi sebelum akhirnya lelaki itu mengangguk dengan cepat. Lelaki muda itu tak bertanya karena hanya dalam sekali membaca pesan di ponsel sanderanya, ia sudah bisa mengetahui siapa pria yang menyuruh lelaki di depannya memukul adiknya.
Bunyi nada dering yang panjang membuat jantung si lelaki yang berlumuran darah itu berdetak penuh tekanan. Tubuhnya semakin merinding, wajahnya mulai berubah pucat dan lemah.
“Ada apa?!”
Lelaki itu membulatkan mata saat mendengar suara di seberang sambungan telepon. “Tu- tuan,” panggilnya dengan gagap.
“Kenapa kamu meneleponku, hah?! Urusan kita sudah selesai!” gerutu lelaki di seberang sambungan telepon.
Sementara pria yang sedang duduk terikat itu tak menjawab lagi. Mulutnya megap-megap memandangi wajah lelaki yang sedang menyiksa dirinya.
Tampak lelaki itu menarik napas sambil menarik tubuhnya menjauh. Ia memutar tubuh, lalu tepat di belakangnya, seorang wanita menganggukkan kepala.
“Aku menemukan lokasinya,” ucap wanita itu yang dibalas dengan anggukkan kepala dari tuannya. Dia kembali memutar tubuh menghadap sanderanya.
“Tell him to be ready,” ucap suara bariton berat itu.
“Tu- tuan, A- Anda harus bersiap.”
“Untuk apa?!” bentak lelaki di seberang sambungan telepon. Pemilik ponsel genggam itu kembali mendongak.
“Untuk pembalasan,” jawab lelaki itu dengan tenang, tetapi sejurus kemudian wajahnya lalu menegang, menampilkan sisi rahangnya yang tegas.
Tidak ada yang terucap di bibir lawan bicaranya oleh karena rasa takut yang teramat besar dialami oleh lelaki itu.
“Leonard, we have to go now!” Suara itu terdengar dari wanita yang berdiri tak jauh di belakang lelaki berjubah hitam tersebut.
Sambil mematri tatapan pada lelaki yang terduduk itu, Leonard Van Der Lyn mulai menarik tubuhnya menjauh.
“He- hey, lepaskan aku,” ucap lelaki itu dengan gugup.
Tak ada kalimat yang terucap dari bibir Leonard. Ia langsung memutar tubuh dan berjalan meninggalkan tempat tersebut.
“HEY!”
Teriakan itu tak memengaruhi langkah Leonard. Rahangnya mengencang bersama kedua tangannya yang mengepal pada kedua sisi tubuhnya.
‘Tak akan ada ampun. Kalian yang telah menyakiti keluargaku, harus menerima balasan yang setimpal.’