Tampak bola mata Rose membesar dan merasa jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Padahal pertanyaan itu terlalu sederhana.
Begitu pun, Rose sudah beberapa kali secara tak sengaja tertidur di kamar Axel. Namun, entah mengapa pertanyaan Axel barusan membuat Rose tak bisa berkata-kata.
“Aku bisa tidur di bawah kalau kamu mau, Rose.”
Suara itu memecahkan lamunan singkatnya. Rose bergeming. Kedua matanya kemudian mengedip secara beraturan. Ia pun tersenyum kaku.
“Ya, ya, tentu. Bi- biar aku yang di bawah,” ucap gadis itu.
“Aku tidak keberatan tidur di bawah, Rose,” kata Axel.
Mulut Rose tampak megap-megap. “Tidak. Itu tidak perlu. Aku akan tidur di bawah,” ucap wanita itu.
Entah apa yang membuat jantungnya berdetak meningkat, sesaat ketika ia memandang wajah polos dari lelaki yang sudah sebulan ini menemaninya.
Namun begitu, Rose tetap mendekati Axel dan membantunya untuk pindah ke tempat tidur. Setelahnya, Rose bergegas menarik tempat tidur bagian bawah.
“Kamu mau nonton?” tanya Rose.
“Tidak, aku mau bicara denganmu.”
Rose mengerutkan dahi. “Bicara denganku?” tanya gadis itu.
“Ya, itu pun jika kamu tidak keberatan. Apa kamu sudah mengantuk, Rose?”
Tampak kening Rose mengerut. Merasa sedikit bingung dengan ucapan pemuda di belakangnya.
“Eum ... kurasa tidak,” ucap Rose. Ia telah berbaring di tempat tidurnya. Posisi keduanya telentang dengan wajah menghadap ke langit-langit ruangan.
“Apa kamu mau lampunya dimatikan?” tanya Rose.
“Boleh,” jawab Axel santai.
Rose akhirnya menoleh. Dia mengangkat tubuh, supaya tangannya bisa menjangkau lampu tidur di atas nakas. Rose pun menekannya. Kini, ruangan itu telah menjadi gelap.
Tak ada suara yang terdengar selain deru napas keduanya yang berembus stabil. Namun, hanya Rose yang tahu bagaimana jantungnya berdetak meningkat di setiap detiknya.
“Ehm!” Rose berdehem dan entah mengapa dia menjadi gelisah di tempatnya. “oke ...,” ucap Rose panjang. Ia memutar wajahnya sedikit ke kiri untuk melihat reaksi Axel. “well, ada apa, Axe?”
Axel tak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Untuk sekelebat, lelaki itu terdiam. Menatap langit-langit ruangan kemudian ia menelan saliva. Axel tak mengerti ada apa dengan jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
“Ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Rose kembali.
Lalu Axel memutar tubuhnya. Ia mengangkat kaki kanannya supaya bisa memutar tubuh dengan sempurna. Manik hazel itu berusaha menatap si gadis yang berbaring di ranjang kedua.
“Ya,” jawab Axel.
Rose pun memutar tubuhnya menghadap Axel. “Kalau begitu katakan,” ucapnya.
“Kau.” Axel kembali menjawab dengan kalimat singkat dan seketika membuat Rose mengerutkan dahinya.
“Aku?” tanya gadis itu.
“Hem,” gumam Axel dengan anggukkan kepala. “aku memikirkanmu sejak tadi.” Lanjutnya.
Rose terkekeh. “Mengapa begitu? Apa yang sudah aku lakukan sehingga mengganggu pikiranmu, hem?” Gadis itu menutup pertanyaannya dengan menyunggingkan senyuman.
“Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu?” balas Axel bertanya. Dahi Rose pun terlipat bersama keningnya yang melengkung ke tengah.
Merasa bingung, Rose pun memilih untuk terkekeh. “Well, ada apa, Axe.” Gadis itu mendesah berat lantas mengangkat tubuhnya lalu menaruh kedua tangannya di tepi ranjang. Melipatnya sebelum akhirnya menyandarkan wajahnya di sana. Tatapan mata Rose tertuju pada sepasang manik hazel di depannya.
“Is anything wrong?” tanya Rose.
Terlihat kening Axel perlahan mengerut lalu sejenak lelaki itu mengalihkan pandangannya menghadap ke bawah.
“Kau bilang kita keluarga, bukan?” Axel pun kembali menatap Rose.
Dengan santai Rose menganggukkan kepala. “Of course,” jawabnya.
Ada sesuatu yang membuat Axel bertindak secara naluriah. Ia pun meraih helaian rambut milik Rose yang jatuh ke sisi tubuhnya.
Rose pun tak ingin repot-repot menghentikannya. Sebagian diri Rose menyadari bahwa inilah yang dia butuhkan. Rose butuh seseorang yang bisa memberikan perhatian untuknya dan ia tak menolak jika ternyata Axel adalah orang yang memberinya perhatian.
“Kalau begitu katakan padaku, mengapa kamu pergi dengan raut wajah seperti itu?”
Rose tahu maksud pertanyaan Axel. Namun, ia memilih untuk tidak langsung menjelaskan apa yang terjadi padanya. Ada sesuatu yang membuat Rose ingin menunda penjelasan. Sebagian dirinya pun ikut dibuat penasaran dengan sesuatu yang diucapkan Axel tadi. Rose yakin bahwa sistem limbik di otak Axel perlahan-lahan mulai pulih.
Perempuan muda itu kembali mengerutkan keningnya. “Maksudmu?” tanya Rose, basa-basi. Sadar atau tidak, secara tidak langsung Rose baru saja melupakan apa yang membuatnya menangis baru-baru ini.
Kembali pandangan Axel berpindah-pindah. Seakan ada kegelisahan yang bertahan dibalik tatapan menawan itu. Rose pun tersenyum samar.
“Eum ... aku tidak tahu, Rose. Itulah mengapa aku bertanya padamu. Apakah terjadi sesuatu. Wajahmu juga terlihat berbeda saat keluar. Kamu seperti baru menangis,” ujar Axel.
Rose terkekeh pelan. Ia semakin memperdalam tatapannya pada Axel. “Kamu seperti tahu saja.”
“Aku tahu,” sangkal Axel. “aku telah menonton banyak serial, Rose, dan aku melihat bagaimana orang-orang yang tertawa, marah, menangis dan sedih. Kamu terlihat seperti marah dan sedih dalam satu waktu. Andai saja aku bisa berjalan, sungguh! Aku akan menyusulmu ke atas.”
Mendengar ucapan polos itu membuat Rose tergelak. “Oh ya? Benarkah itu?”
Axel mengangguk. “Tentu,” jawabnya dengan mantap. “sekarang katakan padaku, apa yang membuatmu bersedih. Apakah kamu lelah?”
Ada sesuatu dalam ucapan Axel yang ditangkap Rose sebagai sebuah kalimat seperti menyindir dirinya sendiri. Dengan cepat Rose membulatkan mata ia pun menggelengkan kepala.
“Tidak!” tandas Rose. “bagaimana kamu bisa berucap begitu, Axe!” Rose mendengkus. Membuat Axel lalu memindahkan tangannya secara alamiah mengusap puncak kepala Rose.
“Then tell me what happened,” kata Axel dengan tenang.
Rose menghela napas lalu mengembuskannya dengan kasar. Ia pun memutar tubuh. Menyandarkan punggungnya ke tepi ranjang lalu menarik sekaligus memeluk kedua kakinya.
“Banyak yang sudah terjadi dalam hidupku, Axe,” ucap Rose. Ia pun memutar wajahnya ke samping.
“Maukah kamu menceritakannya padaku?” tanya lelaki itu semakin peka.
Sudut bibir Rose terangkat membentuk senyuman. Ia lalu menganggukkan kepala dengan gerakan lambat.
“Well, kamu sudah tahu bahwa aku sudah ditinggalkan kedua orang tuaku sejak kecil. Sebenarnya aku hidup dengan seorang wanita yang bersedia menjadi ibu angkatku. Namanya Cathrine. Dia wanita yang tidak menikah.”
“Mengapa dia tidak menikah, Rose?”
Sambil tersenyum, Rose pun menoleh pada Axel. “Karena dia seorang Biarawati.” Lanjutnya. “entah bagaimana dia mengenalku. Aku sudah tidak terlalu mengingatnya. Yang jelas, dia membawaku ke panti asuhan. Di sana, ada anak-anak yang seperti aku, bahkan ada yang masih bayi. Namun, di akhir pekan aku dan Cathrine selalu menghabiskan waktu bersama. Dia membiayai sekolahku hingga aku kuliah.”
“Lalu di mana dia sekarang, Rose?” sela Axel.
“Di sebuah kota yang jauh dari sini. Dia masih aktif melayani di Gerejanya dan melayani dengan hati,” ujar Rose.
“Bisakah aku bertemu dengannya suatu saat?”
Senyum itu kembali menghiasi wajah Rose. Ia pun membebaskan tangannya untuk mengusap kepala Axel. Saat Rose hendak menarik tangannya kembali, tiba-tiba Axel menahannya. Menempelkan telapak tangan itu ke pipinya.
“Please don’t stop,” ucap Axel. “it makes me feel safe.” Lanjutnya.
Rose pun mengikuti kemauan Axel dengan membelai pipi lelaki itu, sementara Axel memainkan rambutnya.
“Ya, jadi dia merawatku. Lalu setelah libur kelulusan, aku memutuskan untuk kembali ke panti asuhan. Selain rindu tempat itu, aku juga ingin membantu Cathrine. Jadilah aku memasak untuk adik-adikku. Aku juga berusaha membagi apa yang sudah kuterima dari sekolah ke mereka.”
“Kamu benar-benar wanita yang baik hati, Rose.”
Rose pun tersenyum lantas kembali menoleh pada Axel. “Tidak juga, Axe, aku hanya merasa bahwa aku berhutang budi pada tempat itu. Termasuk pada Cathrine. Dia saja mendedikasikan hidupnya untuk sekolah dan yayasan itu. Suka duka dialaminya dan sejauh ini, Cathrine tak pernah menunjukkan kesusahannya kepada aku dan adik-adikku.”
“Lalu?” tanya Axel penasaran.
“Suatu kali di hari Minggu, ada seorang dermawan yang mendatangi Cathrine tepat setelah ibadah selesai. Dia berniat untuk menjadi donatur di yayasan yang dikelola oleh Cathrine dan teman-temannya. Cathrine tak ingin menolak bantuan mereka. Dia juga merasa senang kalau ada yang mau membantu anak yatim piatu di yayasan itu,” ujar Rose.
“Lalu?” Axel tak memberi jeda.
“Dan ... di situlah aku bertemu dengan seorang pria muda. Dia adalah anak dari si pemberi donatur. Namanya Dany. Dia lebih tua tiga tahun dariku. Mereka menawari aku bantuan untuk memberikan beasiswa untuk kuliah. Cathrine menyuruhku mengambilnya. Jadilah aku kuliah di tempat itu dan mengambil jurusan Filsafat. Namun, di samping itu, aku juga bekerja paruh baya. Kebutuhanku cukup banyak. Sekalipun biaya kuliah ditanggung oleh yayasan, tetapi ada banyak kebutuhan di luar semuanya itu. Apa pun aku lakukan supaya bisa memenuhi kebutuhanku. Aku tak lagi merepotkan Cathrine.”
“Dan bagaimana dengan lelaki itu?”
Mendengar pertanyaan tersebut membuat Rose menoleh. “Siapa?”
“Dany,” jawab Axel. “kamu menyebutkannya tadi.” Lanjutnya.
Tampak d**a Rose mengembang saat ia menghela napas. Ia pun menundukkan wajah sebelum melepaskan napasnya dari mulut.
“Ya, kami berpacaran,” ucap Rose. “tapi sekarang dia bertunangan dengan orang lain.”
“Itukah yang membuatmu sedih?” tanya Axel. Sambil mengulum bibirnya, Rose pun menganggukkan kepala.
“Aku pernah menonton di serial drama. Seseorang yang berkhianat pada kekasihnya. Ada juga yang berkhianat pada pasangannya yang sudah memiliki anak.”
DEG
Rose langsung mendongakkan wajahnya, menatap Axel dengan mata membulat. Dalam hati Rose bertanya sudah berapa banyak serial drama yang ditonton pria itu sehingga ia bisa tahu konflik antar pasangan.
“Ba- ba-“ Mulut Rose sampai megap-megap dan tak tahu lagi harus mengatakan apa.
“Dan, ketika semua itu terjadi, pasti teman mereka akan berkata, lupakan saja, nanti juga kamu akan bertemu orang yang lebih tepat.”
Manik mata Rose semakin terbelalak. Entah apakah ini kabar baik atau buruk. Namun, apa pun itu semua yang diucapkan Axel memang ada benarnya. Rose pun terkekeh rendah akhirnya.
“Wow! Kamu semakin mengejutkan aku, Axe,” ucap Rose.
“Aku hanya kehilangan ingatanku, Rose, tapi aku bukan bodoh.”
Rose tak bisa menahan gelak tawanya. Wajahnya sampai terdongak dan entah mengapa semua itu membuat hati Axel berkedut hingga jantungnya ikut berdetak meningkat.
“Rose,” panggil Axel suaranya berubah menjadi lembut. Seketika Rose memutar wajahnya.
“Hem?” gumam gadis itu.
“Apa itu artinya kamu sudah tidak sedih lagi?”
Wajah Rose seketika menjadi semringah. Ia pun menganggukkan kepalanya. “Thanks, Axe,” ucapnya.
Lelaki itu mengangguk lalu beralih dengan membelai lembut kepala Rose. Ekspresi Rose berubah. Mulutnya menganga dan lewat sudut matanya, ia memandang bagaimana tangan Axel bergerak lembut di kepalanya.
“Rose,” panggil Axel kembali. Rose pun akhirnya mengalihkan atensinya menatap lelaki itu. “aku tidak akan menyakitimu.” Lanjutnya.
Dengan senyum di wajah, Rose menganggukkan kepalanya. “Aku tahu,” balas Rose. Ia mendekatkan wajahnya lalu membaringkan kepalanya ke sisi wajah Axel.
“Aku tahu, Axe, untuk itu aku bersyukur bisa bertemu denganmu.” Rose bergumam. Dia pun menutup mata sebab sentuhan yang diberikan Axel terlalu nikmat.
“Rose, wanna join with me?”
Dengan begitu Rose kembali mendongak. Ia langsung menganggukkan kepala. Lantas gadis itu bangkit lalu mengambil tempat di sisi tubuh Axel.
Axel pun memutar tubuhnya menghadap Rose. “Angkat kepalamu, Rose,” ucapnya. Rose mengangguk. Membiarkan Axel menyelipkan tangannya di ceruk lehernya lalu ia menyandarkan wajahnya di sana.
Sambil mematri tatapan pada Rose, Axel pun meneruskan aktivitasnya yang tertunda. Dia kembali membelai kepala Rose. Seketika Rose menjadi sangat nyaman hingga ia pun menutup mata.
“You like it?” tanya Axel.
“Hem,” gumam Rose dengan anggukkan singkat.
“Jika kamu mau, aku bisa melakukannya tiap hari untukmu,” ujar Axel dan Rose tertawa singkat dengan kedua matanya yang tertutup.
“Apa itu merepotkanmu?” gumam Rose. Masih ada sisa-sisa kesadaran di sana. Namun, sentuhan Axel semakin membuat Rose nyaman hingga tanpa sadar, Rose kini sedang menyentuh alam mimpinya.
“Tak akan pernah,” kata Axel dengan nada lembut. “aku akan melakukannya. Setiap hari untukmu.” Lanjutnya.
Dilihat Axel ada senyum yang terbit di wajah Rose. Ia pun mendekat. Semakin dekat memerhatikan wajah Rose. Tak berselang lama, terdengar napas Rose yang mendesah dan dengkuran samar dari sana.
Axel tersenyum. Didorong oleh instingnya, Axel pun memberikan kecupan pada puncak kepala Rose. Axel merasa degup jantungnya kembali berdebar-debar. Hatinya ikut memanas melihat wajah Rose yang kembali menyunggingkan senyuman.
“Thank you, Axe,” gumam Rose samar.
“Everything for you, Rose,” bisik Axel tepat di depan bibir Rose.