6. Kode Etik

1096 Kata
“Wait!” Jared meraih sekaligus mencengkeram lengan Karina saat wanita itu hendak masuk ke ruang UGD. Seketika Karina mendesis tajam sambil menutup kedua mata. “Ada apa Jared!” desis Karina. Lalu menatap kekasihnya dengan pandangan tajam. Sekilas Jared menoleh ke dalam sebelum menarik Karina menjauh dari sana. “Kau bilang kita hanya akan mengantarnya ke rumah sakit. Dia sudah di rumah sakit, sekarang ayo kita pergi.” Mendengar ucapan itu membuat Karina berdecak bibir. Ia pun mengusap rambutnya hingga ke belakang kepala. “Jared, aku tidak bisa.” Jared mendengkus lalu melayangkan tangan kanannya ke udara. “Persetan dengan profesimu, Karina!” gerutu lelaki itu. “kamu pembual!” “Jared!” panggil Karina dengan nada menekan. “jika kamu ingin pergi, maka pergilah. Biarkan aku tetap di sini.” Untuk sekelebat, Jared terdiam. Dahinya mengerut bersama kedua alisnya yang melengkung ke tengah. Jared memicingkan mata menatap wajah Karina. “Are you serious?” gumam lelaki itu. Karina pun melepaskan desahan sambil memalingkan wajahnya. Kedua tangannya lalu memanjat ke wajah dan mengusapnya lalu gadis itu menggeram. “Jared, aku minta maaf,” kata Karina. “f**k you!” balas Jared. Ia langsung melangkah meninggalkan Karina. “Jared ...,” panggil Karina. Berharap kekasihnya itu akan menoleh, tetapi Jared malah mengangkat kedua tangan sambil menggelengkan kepala, tanda menyerah. Lelaki itu melangkah pergi meninggalkan Karina. Gadis itu pun mendesah berat. Selama beberapa detik, ia bertahan di luar. Tampak dahinya mengernyit dan bibirnya mulai bergetar. Sebulir air bening jatuh membasahi pipi Karina, tetapi dengan cepat ia menyeka air mata itu lalu berbalik dan masuk ke dalam ruangan. “Hey ...,” panggil Karina. Wanita yang bekerja sebagai staf rumah sakit itu sekilas menoleh ke belakang lalu ia mengernyit saat melihat wajah Karina yang berubah sendu. Dengan cepat Karina menarik kedua sudut bibirnya dan mengulas senyum untuk menutupi setitik kesedihan di wajahnya. Wanita di depan Karina itu hanya mengernyit selama beberapa saat. Lalu terdengar desahan panjang darinya, tetapi wanita itu enggan berkomentar. Maka Karina pun tak perlu menjelaskan kondisinya. “Hey, eum ... aku seorang dokter bedah, apakah kamu mengizinkan aku untuk melihat keadaannya?” tanya Karina. Tiba-tiba saja jantungnya berkedut dan membuatnya gugup. Terlebih saat wanita di depannya memutar tubuh dengan tatapan sinis. Karina langsung diserang rasa panik. Sial. Ini bukan Karina yang biasanya. Di mana rasa percaya dirinya yang tinggi itu. “Eh, maaf, sepertinya aku sudah lancang. Aku akan pergi dan mengambil ponselku lalu menghubungi dokter Marsel,” ujar Karina. Ia langsung memutar tubuh dan bersiap untuk pergi. “Hei, Nona!” Namun, langkah Karina pun terhenti saat mendengar panggilan tersebut. Ia langsung memutar tubuh. Wanita itu mendengkus sebelum akhirnya ia berucap, “Lakukanlah.” Karina mengulum bibir, ia tersenyum sendu kemudian melesat menghampiri wanita itu. Sekali lagi si wanita mendengkus. Sekilas ia menggelengkan kepala lalu menoleh ke samping. Diambilnya sepasang sarung tangan dari dalam laci di samping bangsal itu. “Pakai ini,” ujar wanita tersebut. Karina kembali mengulas senyum di wajah sebelum menerima benda itu. “Thanks,” ucapnya. Bergegas Karina memakai sarung tangan lalu mendekat ke arah si lelaki yang terbaring di atas bangsal. Wanita petugas rumah sakit itu ternyata telah berbaik hati memakaikan dia oksigen. Sempat ragu, tetapi akhirnya Karina pun mengambil tindakan. Ia melangkah ke samping kanan lalu dengan tangannya ia membalikkan kepala si lelaki. Karina tahu persis bahwa ia melihat darah yang mengucur keluar dari kepala si lelaki. Mendadak, memori menerbangkan dirinya pada kejadian yang telah ia alami. ‘Apa ... apa aku mengenai tubuhnya?’ batin Karina. Tak mendapat apa pun pada sisi kanan kepala lelaki itu, ia pun memutar tubuhnya ke bagian kiri. “Nona,” panggil si wanita. Saat Karina menoleh ia pun mengernyit melihat sesuatu yang dibawa oleh wanita itu. “pakai ini.” Lanjutnya sambil menyodorkan sesuatu berwarna hijau. Karina tahu bahwa benda itu adalah seragam operasi bersama penutup kepala. Ia tersenyum dan kembali mendekati gadis itu. “Thanks,” ucap Karina. Wanita tersebut mendesah berat. “Aku tak bisa meninggalkan ruang depan lama-lama, tetapi aku akan memanggil seorang perawat yang sedang beristirahat untuk membantumu. Aku juga sudah mengirim pesan pada dokter Marsel, semoga dia segera membacanya,” ujar wanita itu. Karina kembali mendesah. “Oh astaga, terima kasih. Kamu sangat baik,” ucap Karina. Reaksi wanita itu masih sama seperti sebelumnya. Ia tampak tak ingin menerima ucapan terima kasih tersebut. Raut wajahnya masih tampak sinis. Dia hanya mengangguk dan bergegas untuk pergi. “Hey,” panggil Karina. Langkah wanita itu terhenti lalu ia menoleh ke belakang. “boleh kutahu namamu?” tanya Karina. “Delfi,” jawab wanita itu singkat. “Terima kasih, Delfi, kamu sangat baik. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.” Karina menutup ucapannya dengan mengulas senyum di wajah. Wanita itu tak menjawab. Namun, Karina melihat anggukkan kepala darinya sebelum wanita itu melangkah pergi. Setelah kepergian wanita itu, Karina langsung mengambil tindakan. Memakai seragam dengan secepat yang ia bisa. Lalu jantungnya mulai berdetak meningkat. Ini bukan kali pertama Karina menangani kasus kecelakaan, ia sudah sering melakukan hal seperti ini. Namun, baru sekarang Karina merasa gugup karena korban kecelakaan ini terjadi karena ulahnya. “Oke, Karina. Jangan gugup, kamu pasti bisa,” ucapnya menyemangati diri sendiri. Karina langsung mengambil perlengkapan untuk dipasangkan kepada lelaki itu. Walaupun ini rumah sakit private, tetapi tak membatasi pergerakan Karina, sebab mereka juga memiliki alat-alat yang sama layaknya rumah sakit umum. Karina langsung memasang alat-alat yang diperlukan. Seperti alat pengukur tekanan jantung yang langsung terhubung dengan ventilator lalu berbalik. Saat Karina hendak mengangkat pakaian pria itu, ia pun terbelalak ketika melihat d**a si lelaki yang seperti dipenuhi bekas cambukan. “Ya Tuhan ...,” gumam Karina. Ia langsung mengerjap dan menggoyangkan kepala. ‘Bukan saatnya untuk mencari tahu hal yang tidak penting, Karina. Ingat, waktu sangat penting,’ batinnya dengan cepat menegur. Maka Karina yang telah berhasil membuka pakaian yang menutupi tubuh bagian atas dari lelaki itu langsung memakaikan alat pengukur detak jantung di bagian bawah tulang selangka. Kemudian ia bergegas ke samping kiri untuk mengeluarkan alat-alat yang diperlukan. Karina sedikit kewalahan, karena biasanya ia dibantu oleh perawat, tetapi ia tidak akan menyerah karena situasi ini. Mungkin setelah ini dia bisa kehilangan profesinya karena ini sesuatu yang melanggar kode etik. Karina tak memiliki izin untuk melakukan praktik ini, dia tahu persis itu. Namun, jika sudah berhubungan dengan nyawa orang lain, Karina pun sudah mengambil sumpah untuk bisa melakukan apa pun semampunya untuk menolong orang tersebut. Maka Karina yakin, apa yang sedang ia lakukan saat ini hanyalah untuk menyelamatkan nyawa dari lelaki ini. Siapa pun dia. “Oke, mari kita lihat seberapa parah traumamu,” ujar Karina sebelum memulai penanganan serius. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN