Untuk sekelebat, keduanya terdiam selain pandangan mata yang salin mematri tatapan. Sementara Axel merasakan degup jantungnya berkedut penuh tekanan. Waswas. Perkataan yang baru saja diucapkannya keluar begitu saja. Bagai ada sesuatu yang mendorongnya dan secara tiba-tiba membuat Axel berkata demikian.
‘Sialan! Apa yang baru saja aku katakan!’ Lelaki itu menggerutu di dalam hati.
Melihat reaksi Rose, membuat Axel yakin bahwa apa yang baru saja dia katakan sangat tak masuk akal. Bagaimana dia bisa dengan gampang meng-klaim kepemilikan atas diri Rose. Memangnya dia pikir dia siapa?
‘f*****g lips!’ desis Axel dalam hati.
Butuh usaha keras bagi Axel sehingga ia bisa menyeret wajah. Lelaki itu mendengkus sambil melepaskan napas berat yang telah ia tahan sedari tadi.
Sementara wanita yang berdiri dengan kedua lututnya itu lalu terkikik. Wajahnya terdongak, ia tertawa.
Axel yang mendengarnya lalu mendengkus. Ia menutup mata, menggigit bibir bawah dengan rasa malu.
“Sial!” desis Axel kali ini.
Sungguh, yang tadi itu benar-benar bodoh. Andai waktu bisa diputar kembali, Axel lebih memilih untuk menceburkan tubuhnya ke laut daripada menjawab pertanyaan Rose.
Sekarang wanita itu menertawainya. Axel pun tergelak ironi. “Hah! You think it’s all a joke, hah?!” gumam Axel.
Rose masih menikmati gelak tawanya selama beberapa detik hingga perutnya terasa nyeri, lantas gadis itu berhenti tertawa. Namun, senyum geli masih terhias di wajahnya. Terlebih, saat ia memandang Axel, Rose malah terkekeh.
Axel kembali mendengkus lalu memalingkan wajah. Melihat hal itu membuat Rose meraih wajah lelaki itu dengan kedua sisi lengannya. Membawa padangan Axel untuk kembali menatapnya.
“I’m your woman, hah?”
Lelaki muda di depannya tak menjawab, melainkan langsung memalingkan wajah. Betapa jantung Axel berdetak penuh tekanan. Oh astaga!
Rose semakin menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum yang membuat wajahnya semringah.
“You are my man.”
Mendengar ucapan itu, membuat Axel membulatkan mata. Lelaki itu memutar wajahnya lambat-lambat, menatap Rose dengan mata terbelalak.
Rose terkikik kembali. Ia masih memegangi wajah Axel dengan kedua tangannya. “But, I need more specific,” kata Rose. Wanita itu hendak memperjelas apa yang baru saja diucapkan mereka.
“Aku wanitamu dan kamu lelakiku, apa yang mendasari kita mengatakan hal itu?” tanya Rose.
Sungguh, ia merasa bagai seorang guru yang sedang mengajar seorang murid yang polos. Astaga! Seketika Rose tergelitik oleh tingkahnya sendiri. Mungkinkah ini sebuah pernyataan cinta? Mengapa lebih terkesan Rose sedang menuntut.
Apakah benar semua ini hanya soal –mengalihkan pikiran Axel?
Atau ... sebenarnya Rose juga sedang memperjelas perasaannya?
“Ayo, beri aku satu jawaban,” tuntut Rose.
Jantung Axel semakin berdetak meningkat. Gelenyar panas mengaliri tubuhnya, lantas berhenti di tengkuk. Lelaki itu menelan saliva.
Memanglah benar, Axel sudah lama ingin menyatakan perasaannya pada Rose. Tapi apa benar caranya seperti ini?
Axel sudah sering melihat di TV bagaimana para lelaki menyatakan perasaan mereka pada wanita yang disukainya.
Setidaknya ada lilin, di ruangan redup dan tenang, hidangan mewah dan sebotol anggur mewah. Axel sudah menyiapkan semua itu. Dia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, tetapi Axel pun bingung bagaimana dia harus keluar dari situasi ini.
Sialan. Rose benar-benar menjebaknya. Dari senyum dan gidikkan alis yang kini ia perlihatkan, semua itu menandakan bahwa Rose tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan jawabannya.
Maka Axel tak memiliki pilihan lain.
Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat.
“Well,” Lelaki itu mengedikkan kedua alisnya. Sejurus kemudian, Axel pun terkekeh. Pipinya mengembang saat ia melepaskan desahan napasnya dari sana.
Sekali lagi Axel menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan degup jantung yang kian meningkat di setiap detiknya.
Lelaki muda itu menundukkan wajah, menatap kedua tangan Rose yang terbiar. Kedua tangannya pun mulai bergerak, secara perlahan meraih tangan Rose lalu menggenggamnya erat-erat.
“Rosaline,” panggilnya.
Tampak bibir Rose melebar, memerengut sambil mengedikkan kedua alisnya. Suara Axel terdengar berat. Terdengar lelaki dan sungguh menggetarkan jantungnya.
Semilir angin berembus dari dagu ke wajah Rose, pertanda seseorang yang sedari tadi menundukkan wajahnya kini tengah menatapnya.
“Aku tahu, aku bukan pria yang pantas disandingkan dengan dirimu. Aku ini bukan siapa-siapa. Hanya sesuatu yang datang mengejutkan hidupmu. Aku hanya beban yang selalu merepotkanmu.”
Mendengar ucapan Axel lantas membuat Rose mengerutkan dahi. Ia pun menundukkan wajahnya, memandang Axel dengan kening mengerut.
“Kenapa-“
“Kumohon jangan potong ucapanku,” sergah Axel dengan cepat.
Sempat Rose mendengkus, tetapi akhirnya ia pun menganggukkan kepala. Salahnya sendiri mendesak Axel.
Lelaki itu tersenyum samar sebelum menjatuhkan tatapannya ke bawah. Ia pun terkekeh untuk ke sekian kalinya sebelum kembali menatap Rose.
“Ini benar-benar aneh, Rose,” ucap Axel sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Rose pun tergelak. “Ya,” ucapnya. “kita terlihat seperti anak di bawah umur yang malu-malu mengakui perasaan.” Lanjut Rose tanpa malu. Sekalipun Rose menyadari bahwa situasi mereka benar-benar terasa sangat aneh. Namun, ia sudah terlanjur penasaran dengan apa yang dipikirkan Axel.
Lelaki muda itu terus saja terkekeh. Wajahnya yang menawan itu tampak memerah. Secara perlahan hingga menjadi merah padam.
Sungguh, ekspresi Axel saat ini tampak begitu menggemaskan. Namun, Rose menyukainya. Ia pun sadar bahwa detak jantung yang memicu dengan tekanan meningkat ini adalah luapan perasaan yang sesungguhnya kepada Axel.
“Axe, apakah kamu tahu bahwa kita sudah bersama selama setahun?”
Seketika Axel mendelik. Mengerjap sekali lalu mendongak. “Really?” tanya Axel tak percaya.
Rose pun tersenyum. Sambil mematri tatapan pada sepasang manik hazel di depannya, ia pun membawa tubuhnya mulai terduduk hingga mendarat di atas pasir.
“Ya, Axe, hari ini tepat setahun,” ucapnya. Ada senyum yang menyertai gerakan kepala Rose, meneleng ke samping. “kita sudah bersama selama setahun.” Lanjut Rose.
Axel mengentak napasnya hingga dadanya bergetar, menahan luapan besar di sana. Ia tersenyum lebar, tertawa samar lalu secara alamiah ia menarik tubuh Rose dan membawa ke dalam pelukannya.
“Oh, astaga! Aku tidak menyangka kamu mengingatnya, Rose,” ucap Axel dengan antusias.
Rose bisa merasakan degup jantung Axel yang berdetak dengan cepat, bagai bertabrakan dengan degup jantungnya. Rose pun tersenyum.
“Ya, ini sudah setahun,” ucapnya sekali lagi.
Dengan begitu, Axel menarik tubuh. Wajahnya mengukir senyum haru. Ia juga tak pernah menghitung hari. Pikirannya sibuk memikirkan bagaimana caranya membalas kebaikan Rose.
Sekali lagi lelaki itu mendongak dan kembali meraih satu tangan Rose. Menumpuknya dengan tangannya sendiri.
“Terima kasih,” ucap Axel.
Rose menggeleng singkat. “Tidak ada kalimat terima kasih,” ucapnya. Axel terkekeh.
“Tidak, aku ingin bilang terima kasih pada Tuhan,” kata Axel. Dilihatnya, bibir Rose melebar, menahan senyum geli. Lelaki itu terkekeh sebentar lalu menarik napasnya dalam-dalam.
“Ya, Rose,” ucap Axel. “terima kasih pada Tuhan yang sudah membawa aku padamu. Aku tak menyangka jika sebelum ini aku telah melewati kejadian mengerikan. Saat mengingat semuanya, kupikir apa yang terjadi padaku saat ini adalah mukjizat,” ujar Axel. Rose tertawa rikuh.
Axel menyambutnya dengan tawa yang sama. “Ya, Rose. Aku telah mengingat semuanya. Well, tidak semuanya. Aku masih tidak mengetahui dengan jelas identitasku, selain kata Lenox dan selain sebutan ibu,” ujarnya.
Rose terdiam. Menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum di wajah. Ia pun menepuk-nepuk punggung tangan Axel yang tengah membungkus satu tangannya.
“It’s okay,” ucap Rose akhirnya. “aku di sini dan siap berbagi apa pun denganmu. Apa pun yang kamu butuhkan. Baik buruk masa lalumu, aku selalu siap mendengarkannya. Kuharap kamu mau membaginya denganku.”
“Ya, Rose,” jawab Axel dengan cepat. “itu pasti.” Lanjutnya sambil tetap memandang wajah Rose. “tapi aku memerlukan waktu.”
Rose pun mengangguk. “Take your time,” ucapnya.
Untuk sejenak, Axel kembali menundukkan wajah, melepaskan napas yang terasa berat. Ia pun menutupi setitik perasan yang menggelitik hati dengan menyunggingkan senyuman.
“Rosaline.” Panggilan itu selalu berhasil menggelitik rungu Rose dan membuatnya tergelak.
“Oh ... berhenti memanggilku seperti itu ...,” protes Rose dengan nada manja.
“Aku ingin memilikimu,” kata Axel. Rose yang tadinya memalingkan wajah lalu dengan cepat menatap Axel. “namun, tidak untuk saat ini.”
Rose pun mengerutkan dahi, memandang Axel dengan tatapan bingung. Lelaki itu tersenyum samar sebelum melanjutkan, “Karena untuk saat ini aku tidak punya apa-apa. Aku ingin menjadi sesuatu yang bisa melindungimu. Sesuatu yang berarti. Hingga saat itu tiba, kumohon, jangan menerima cinta yang lain.”
Ucapan Axel membuat Rose terkekeh sinis. “Astaga! Ucapan macam apa itu!” Rose menggelengkan kepala lalu memalingkan wajah. Hatinya berkedut. Sialan! Ini pertama kalinya Rose terbawa perasaan oleh ucapan seorang lelaki. Lagi pula apa juga maksud perkataan Axel barusan.
“Rosaline,” panggilnya. Kali ini Rose mengarahkan pandangan sinis pada Axel. “aku mencintaimu.”
DEG
Jantung Rose berhenti berdetak selama beberapa detik. Ini bukan kali pertama Rose mendengar kalimat cinta. Dia sudah pernah mendengarnya dari Danny, tetapi mengapa untuk kali ini rasanya berbeda.
Senyum Axel ... ya Tuhan, mengapa wajah lelaki itu tampak begitu menawan? Dia sungguh membuat detak jantung Rose datang dengan tekanan meningkat.
“Aku mencintaimu, Rosaline. Sekalipun aku tahu kalau aku tidak pantas-“
“Aku juga mencintaimu!” ucap Rose. Dadanya naik turun dan seketika membuat napasnya berembus kasar. “aku mencintaimu, Axel!” ucap Rose sekali lagi.
Untuk sekelebat, Axel terdiam. Menatap Rose dengan degup jantung yang datang dengan tekanan kuat. Lelaki itu lalu menarik sudut bibirnya dan membentuk senyum di wajah.
“Wow ... it’s to fast, hah?”
“I don’t care!” tandas Rose sambil menggoyangkan kepala. Axel tergelak. Ia pun menjatuhkan tatapannya.
Lelaki itu tengah berusaha menahan debar-debar di d**a yang menyuruhnya untuk melompat, menjerit dan mengatakan pada lautan di depannya bahwa dia sedang jatuh cinta. Mungkin jantungnya akan melompat sebentar lagi lalu pergi meninggalkan Axel.
Ada sesuatu yang menggetarkan d**a, seperti meluap-luap di sana dan Axel mungkin tak bisa membendungnya lebih lama lagi. Maka ia pun tergelak.
Lelaki muda itu mengangkat pandangan sekaligus membuka kedua tangan. Rose langsung mendekat dan melempar wajahnya hingga mendarat ke depan d**a Axel.
“Thank you,” gumam Axel. Ia merangkul tubuh Rose erat-erat. Meletakkan wajahnya di atas kepala Rose. Menutup mata lalu menarik napas dalam-dalam di sana.
Sementara Rose menutup mata. Menikmati kehangatan yang kian membuat jantungnya berdebar-debar penuh tekanan.
Rose sendiri tak pernah menyangka bahwa ditembak seorang lelaki rasanya akan mendebarkan seperti ini.
Kisah cintanya bersama Danny terlalu monoton sehingga Rose berpikir bahwa dia tak pernah merasa berdebar-debar seperti ini saat dipeluk lelaki itu.
“Thank you, Rosaline,” gumam Axel.
“No ...,” balas Rose bergumam. Ia pun menarik wajah lalu mendongak. “aku yang seharusnya berucap terima kasih.”
“No.” Axel menggelengkan kepala lalu mengusap puncak kepala Rose.
“Terima kasih sudah datang di hidupku yang terlalu membosankan ini,” ujar Rose.
Ada senyum yang kembali membingkai wajah tampan nan menawan itu. “Terima kasih pada Tuhan yang sudah membawaku padamu. Mengenalmu adalah hal terindah dalam hidupku,” kata Axel dengan tulus.
Rose pun tersenyum. Seberkas cairan bening menutupi netra cokelatnya. Gadis itu tertawa singkat lalu kembali memeluk Axel.
“Mengenalmu mengubah hidupku,” ucap Rose.
Inilah kali pertama Rose merasakan sebuah hubungan yang sesungguhnya. Sebuah tatapan yang tulus dan sebuah kalimat yang tak hanya sekadar kata.
Hati Rose pun tersentuh mendengar perkataan Axel. Rose tahu bahwa lelaki itu tak mau sekadar berkata. Dia sedang berusaha membentuk hidupnya.
Rose juga tidak buta. Selama ini dia melihat bagaimana Axel berusaha bangkit. Lelaki itu tak mau dikasihani, sama seperti prinsip hidupnya.
Untuk itulah Axel berusaha untuk bangkit dari keterpurukan. Dia tak pernah ingin menyerah. Dan Rose tahu bahwa semua yang dilakukan Axel hanya untuk membuktikan bahwa dia tidak membutuhkan belas kasihan.
Rose kerap kali mendengar bagaimana Axel berkomunikasi dengan Karina dan berjanji jika suatu saat Axel akan mengganti semua yang diberikan Karina padanya. Dia bahkan bekerja di sela-sela kesibukannya bersekolah.
Mendapatkan Axel bagai mendapatkan sebuah anugerah yang dikirimkan Tuhan khusus untuk Rose. Lelaki itu telah membawa perubahan dalam diri Rose dan Rose pun berjanji bahwa dirinya akan berusaha sebaik mungkin dan memberikan yang terbaik untuk Axel.