“Diam dan dengarkan aku. Kita buat kesepakatan. Kebebasanmu akan ditentukan dari kebebasan para gadis.”
“Bicara yang jelas!”
“Jika kau berhasil membebaskan para gadis yang dikurung di lantai dasar, maka selanjutnya kau akan bebas dariku.”
“Aku tidak percaya padamu. Kau manipulatif!”
“Cih! Aku tidak pernah ingkar janji.:
“Baiklah. Aku ikuti kemauanmu, tapi sebelumnya kau berikan alat itu padaku.”
“Aku sedang mendamaikan diri untuk tidak menamparmu, Nona! Sudah kukatakan aku tidak akan ingkar janji jadi kau cukup melakukan perintahku.”
“Baiklah, aku setuju.”
“Bagus, pastikan kau tidak terbunuh.”
***
Ada desahan panjang yang mengalun keluar dari mulut seorang gadis yang sedari tadi terduduk di tepi ranjang sambil memandangi rembulan.
Suatu kenyataan yang nyaris terasa mustahil. Setahun telah berlalu sejak ia terbebas dari penjara mengerikan milik seorang lelaki yang sungguh dibencinya.
Lelaki yang telah menghancurkan hidupnya. Lelaki yang telah merenggut semua miliknya. Lelaki berdarah dingin yang telah membunuh ayah kandungnya. Satu-satunya alasan mengapa ia berhasrat untuk membunuh lelaki itu, tetapi nyatanya ....
Decihan halus pun meluncur keluar dari bibir Victoria McLean ketika ia menyadari kenyataan miris di mana dialah yang menjadi korban selanjutnya dari lelaki berdarah Van der Lyn itu.
“Cih!”
Victoria terus mendecih. Bergelut dengan pemikiran sendiri. Sebagaimana pun Victoria mau berbohong, nyatanya ... dia masih tak bisa menyingkirkan bayangan lelaki itu di setiap malam dalam tidurnya.
Hingga Victoria mulai membenci saat mentari meninggalkan bumi dan terganti dengan cepat oleh kegelapan dengan satu cahaya yang terang menyinari kamarnya.
“Argh ...!”
Victoria membenci kegelapan malam. Membenci semilir angin yang berembus menakutkan. Sebab semua itu mengingatkan dirinya oleh kejadian menyeramkan yang dia alami setahun yang lalu.
‘Tidak. Kau tidak bisa melakukan ini’
‘Tenang ... kali ini aku tidak akan hanya memberikan rasa sakit. Berbeda dari sebelumnya, aku jamin jika kali ini kau juga akan menikmati rasa sakit yang akan kuberikan.’
“Tidak, tidak. Kumohon.” Victoria mulai melirih. Kedua matanya terpejam sementara membawa kedua tangannya menutup telinga.
‘Aku suka saat-saat kau memohon juga berteriak. Tapi ... mau bagaimana lagi. Kau tahu mengapa aku membiarkanmu hidup?’
“Pergi! Pergi dari sini! Pergi ....” Victoria menggelengkan kepala sambil mengayunkan kedua tangannya ke udara.
Gadis itu berusaha keras menyingkirkan bayangan wajah lelaki kejam itu. Namun, entah mengapa tubuhnya malah terbayang jelas kini di dalam benak Victoria.
‘Aku membiarkanmu hidup agar aku bisa melampiaskan dendamku padamu.’
“TIDAK!” jeritan Victoria lalu menggema di dalam ruangan itu.
“Ini tidak adil! Kenapa tidak kau bunuh saja aku, hah?!” Victoria masih menjerit.
Dia kembali terjebak dalam kegelapan. Sulit membawa kesadarannya kembali ke permukaan. Ketika bayangan gelap itu telah mengungkung seantero kesadarannya. Victoria merasa kehilangan arah. Yang ada dalam bayangan Victoria saat ini adalah dirinya yang sedang disiksa oleh lelaki yang paling dibenci Victoria seumur hidupnya.
Terdengar bunyi berderik menggema. Seseorang tampak melesat memasuki kamar tersebut.
“VIC?!” serunya. Dia berlari dengan cepat menghampiri Victoria yang tampak kehilangan arah. Dia duduk di tepi ranjang sambil memeluk kedua kakinya.
“Kenapa tidak kau bunuh saja aku.” Suara itu terdengar gemetar, lirih, membuat siapa pun yang mendengarkannya sanggup menangkap getaran ketakutan yang terlalu besar dialami oleh wanita itu.
“VIC?!” Seseorang itu berusaha memanggil Victoria. Matanya terbelalak dan wajahnya terlihat panik.
‘Aku tidak akan membunuhmu. Kau ... kau harus benar-benar menderita untukku. Kau ... harus menderita di atas kesenanganku.’
“TIDAK!” teriak Victoria sambil mengangkat pandangannya.
Hal pertama yang dilihat Victoria adalah wajah si lelaki yang sudah melukainya. Hingga Victoria tak ragu untuk mengayunkan tangan kanannya ke udara.
BUK
Kepalan tangan yang telah mengencang sedari tadi itu lalu mendarat pada pipi seseorang. Mendorong tubuh lelaki itu hingga menyingkir dari depan tubuh Victoria lalu mendarat di atas lantai.
“Argh ....” Lelaki itu meringis.
Sementara Victoria membulatkan mata. Sepasang manik hijau abu-abu itu terbalak memandangi lelaki yang kini berada di atas lantai. Jantungnya bertalu dengan kencang. Menggedor-gedor dadanya.
Kesadaran yang dimiliki Victoria masih melayang-layang seiring dengan napasnya yang terputus-putus.
“Awh ....” Lelaki yang baru saja menerima pukulan dari Victoria itu lalu memutar wajah sambil memegangi pipinya yang mulai berkedut nyeri.
“Vic, you okay?” tanya lelaki itu.
“Larry?” gumam Victoria.
Suara tangisan seorang bayi membuat Victoria mendelik. Ia langsung melompat dari atas ranjang. Berlari menghampiri tempat tidur kecil dengan penyanggah di sekeliling.
Wajah Victoria yang tadinya tampak begitu ketakutan kini berubah, terlihat memelas. Sekalipun jantungnya masih bertalu dengan kencang, tetapi gadis itu berusaha menguatkan dirinya.
“Oh, honey ....”
Dengan hati-hati Victoria mengambil bayi perempuan yang sedang terbaring dengan posisi gelisah itu.
“Ibu membuatmu takut, hem?”
Victoria berusaha untuk memelankan suaranya. Sekalipun tubuhnya masih gemetar oleh karena ketakutan besar yang ia alami semenit yang lalu. Namun, semua itu tak berarti ketika tubuh mungil itu kini menyentuh permukaan dadanya.
“I’m sorry, I’m sorry, honey ....”
Sambil bergumam, Victoria membawa wajah bayinya menempel ke d**a bagian kanan. Semua itu dilakukannya supaya sang bayi bisa mendengarkan degup jantungnya.
“Sssshhh ... ssshhhh ....”
Wanita muda itu mendesis sambil menepuk-nepuk pelan p****t si bayi. Sementara menempelkan wajahnya di atas dahi bayi mungil itu.
“We’re safe, honey. We’re safe,” gumam Victoria terus menerus. “tak ada yang bisa menyakiti kita. Kita aman, Sayang, jangan takut, ya.”
Ada getaran dalam suara Victoria yang mengakhiri ucapannya barusan. Sepasang bulu mata lentik itu tampak gemetar, ketika kelopak matanya tertutup, dua bulir air bening pun lolos dari sana.
“We’re safe,” gumam Victoria dengan suaranya yang berubah lirih.
Lelaki yang berada tak jauh di belakang Victoria lalu mendesah berat. Ia pun mengambil langkah, menghampiri wanita itu.
“Vic,” panggilnya dengan lembut.
Terdengar samar tangisan Victoria, tetapi gadis itu berusaha untuk menyingkirkan kelemahan yang ia miliki. Dengan cepat Victoria menghapus air matanya sebelum memutar tubuhnya ke belakang.
“Maaf soal yang tadi,” ucap Victoria. Ia pun menundukkan kepalanya.
Larry tergelak. “No biggie, Vic, aku juga yang salah. Aku mengagetkanmu, jadi ....” Larry mendesah. Ia pun mendekat, memegangi kedua sisi lengan Victoria.
“Semua sudah berakhir, Vic,” ucap Larry.
Sekejap Victoria mendongakkan wajahnya. Menatap Larry selama dua detik dan kembali menundukkan wajah, mengalihkan tatapannya kepada si gadis mungil yang kini sudah terlelap kembali dalam tidurnya.
“Come,” ucap Larry sambil membawa Victoria mendekat pada sofa tunggal berwarna gelap. Ia mendudukkan wanita itu di sana lalu beranjak menuang air ke dalam gelas kristal berwarna putih.
“Minum ini,” kata Larry sambil menyodorkan gelas tersebut.
Victoria tersenyum samar. Dirasakan gadis itu, jantungnya masih bertalu dengan kencang. Terlihat dari tangannya yang gemetar hendak meraih gelas di tangan Larry.
Melihat hal itu membuat Larry mendesah. Ia akhirnya mendorong gelas tersebut hingga ke depan mulut Victoria.
“Biarkan aku membantumu,” gumam lelaki itu sambil menjaga suaranya supaya tidak mengganggu ketenangan dari bayi mungil itu.
Victoria pun mengangguk. Ia membuka mulutnya dan membiarkan Larry membantunya untuk mendapatkan air. Victoria benar-benar membutuhkan semua itu.
“Thanks,” ucapnya.
Hanya desahan yang terdengar dari mulut Larry. Lelaki itu kembali meletakkan gelas di tangannya ke atas nakas. Larry pun mengambil tempat duduk pada sofa tunggal di samping Victoria.
“Mimpi buruk lagi?” tanya Larry. Lelaki itu meletakkan siku tangannya ke atas dengkul sebelum memutar wajahnya menatap Victoria.
“Hem,” gumam Victoria. Sekilas memandang Larry lalu kembali memandang putrinya. Victoria mengelus pelan wajah bayi itu dengan punggung tangannya.
Mulut Larry terbuka melepaskan desahan panjang. Sejenak ia mendongak lalu kembali menundukkan kepala.
“It’s been a long time, Vic,” ucap Larry.
Victoria pun menoleh ke samping. Gadis itu mengulum bibir sebelum menganggukkan kepala. “Ya ...,” gumam Victoria dengan nada mendesah.
“Kamu sudah lama terjebak dalam ketakutan itu. Aku memang tidak menyaksikan apa yang kamu alami. Kamu juga tak mau menceritakannya padaku. Kamu tidak ingin berkonsultasi dengan psikiater, kamu menyimpan semua itu untuk dirimu sendiri dan semua itu melukaimu-“
“I know,” sergah Victoria. Kali ini dia benar-benar menatap Larry. Lelaki itu kembali mendesah.
“Sorry,” gumam Larry. Dia pun menjatuhkan tatapannya ke bawah.
Kali ini, giliran Victoria yang mendesah. “Aku tidak ingin membaginya dengan siapa pun karena hal itu benar-benar menyakitkan. Memalukan. Jika bisa aku ingin menyimpannya hingga mati.”
“Vic!” Larry memanggil dengan menyentak pelan nadanya. “kumohon jangan katakan itu. Kamu punya Kiara dan dia membutuhkanmu.” Ucapan Larry membuat Victoria lalu tergelak rendah dengan wajahnya yang terlihat sendu.
“Ya,” gumam gadis itu. Sekali lagi ia mengangkat pandangan, menatap Larry. “hidupku sepenuhnya hanya untuk Kiara.”
Tampak Larry memerengut bibir lalu mengedikkan kedua bahunya. “Kalau begitu, aku tidak perlu mengingatkan lagi apa yang seharusnya kamu lakukan,” ucap lelaki itu.
Kali ini, ada senyuman yang terbentuk begitu saja di wajah Victoria. Ia pun menganggukkan kepalanya. “Ya, tentu.”
Senyum yang sama pun diberikan oleh Larry. Tangannya memanjat, lantas menepuk pangkal bahu Victoria dengan gerakan pelan.
“Kamu berhak untuk bahagia, Vic. Terlepas dari masa lalumu yang mungkin sangat mengerikan, kamu pantas bahagia,” ucap Larry.
Sekali lagi membuat Victoria tergelak rendah. “Kebahagiaanku satu-satunya ada di sini,” ucap Victoria sambil membawa tatapannya ke bawah. “malaikat kecilku. Pusat kebahagiaanku.”
Larry pun menatap bayi Kiara yang kini tampak begitu tenang. Tangannya pun meraih ujung kaki mungil Kiara.
“Tak akan ada yang bisa melukai kalian,” ucap Larry. Victoria kembali menatapnya. “aku bersumpah akan melindungi kalian berdua. Sebesar apa pun kekuatan yang dimiliki oleh pria itu, dia tak akan pernah mengambil kalian dariku.”
Sudut bibir Victoria berkedut. Ia tersenyum samar lalu kembali memutar wajahnya. “I hope so,” gumam Victoria. Ia mengangkat pandangan, menatap jendela dan rembulan di depannya.
“Satu-satunya harapanku adalah dia tidak menemukanku.”
“Itu tidak akan pernah terjadi,” kata Larry dengan sangat yakin. “aku tidak akan membiarkannya.” Lanjutnya.
Victoria menanggapinya dengan senyuman. Sebab, wanita itu tahu bagaimana lelaki itu. Dia punya monster yang berdiam di dalam dirinya dan jika monster itu terlepas, maka tak ada satu manusia yang sanggup menghentikannya.
“Ya, aku percaya padamu.”
Namun, Victoria tetap harus membohongi dirinya. Sekalipun Victoria tahu bahwa Larry tak akan sanggup menghentikan lelaki itu apabila ia tahu bahwa Victoria mengandung bayinya.
Victoria tahu persis bagaimana lelaki itu membenci Benedict McLean. Dia sudah berjanji akan membalaskan dendamnya kepada keturunan McLean. Bagaimana jika dia tahu bahwa Victoria memiliki seorang putri dari hasil kelakuan bejatnya?
“Oh ya Tuhan, kumohon lindungilah kami.”
Ya. Hanya Tuhan yang bisa menolong Victoria. Semoga lelaki itu tidak menemukan keberadaannya bersama bayi perempuan yang adalah darah daging Leonard Van der Lyn ini.