Memeluk! Di depan mata melihat calon suami memeluk wanita lain, hati wanita mana yang tidak akan memanas, berulang kali sudah Chintya mengatur napas yang terasa menyesakkan sembari mengibaskan tangannya ke wajahnya. Netra yang memakai soflens abu-abu itu pun mulai tampak berair sanking membaranya melihat calon suami yang masih memeluk Nailah, sekarang kedua orang tersebut kembali masuk ke dalam ruangan. Dia tidak tahu saja jika Nailah keadaannya juga tidak nyaman dalam posisi tersebut. Ini bukan keadaan yang diinginkan oleh Nailah.
Tubuh bagian depan mereka sudah bisa dipastikan saling bersentuh dan bergesekkan, ingin rasanya Nailah membungkus kepalanya saat ini juga sangking udah malunya. Sementara itu Keenan dengan wajah dinginnya terlihat biasa saja, seperti sudah terbiasa memeluk wanita padahal hatinya sedang merutuki wanita yang mau tidak mau dipeluknya.
Thomas turut masuk ke dalam ruangan begitu pula dengan Chintya, yang sudah jelas menjaga langkah tunangannya kemana pun berada apalagi ada wanita lain.
“Pak Keenan, ada gunting?” tanya Nailah tanpa mendongakkan wajahnya, karena posisi ini terlalu intim buat Nailah, yang ada nanti tambah jadi masalah besar buat dirinya.
Keenan yang tingginya 185 cm menundukkan kepalanya, agar terlihat jelas masalah yang ada di antara kemeja mereka berdua. “Thomas, ambilkan gunting.”
Tanpa menjawab, Thomas menuju meja kerja Keenan dan meraih gunting kecil disela-sela alat tulis berada, lalu memberikannya kepada Keenan, bukan kepada Nailah. Dan tanpa bertanya, Keenan mengarahkan gunting kecil tersebut ke arah kancing kemeja mereka berdua, mau tidak mau Nailah menarik wajahnya agak lebih mundur biar tidak bersentuhan dengan wajah Keenan, bisa jadi tambah perkara besar buat istri Keenan pikir Nailah.
TIK!
“HAH!”
GLEK!
Tenggorokan Keenan tersendat salivanya tiba-tiba, ternyata gunting itu memotong kancing kemeja milik Nailah, dan berakhir bra hitam beserta isinya yang putih dan lumayan berisi terlihat jelas di netra Keenan. Lumayan dua kancing lepas dari kemeja Nailah, dan pemandangan indah itu pun membuat Keenan mendesah. Buru-buru saja Nailah yang masih terkejut memegang kemejanya yang sempat terbuka.
“Gak sopan pakai lihat-lihat!” gumam Nailah kesal, secara dia juga memergoki Keenan. Pria itu langsung memalingkan wajahnya, dan bergerak mundur dari Nailah.
“Duh, gimana mau pulang kalau bajunya kayak begini,” keluh Nailah agak bingung.
Sementara Chintya sudah mendengus kesal melihatnya. “Kalau urusannya sudah selesai, silakan keluar dari ruangan suamiku!” perintah Chintya dengan ketusnya.
Nailah juga tahu diri kalau dia harus keluar dari ruangan tersebut, tapi setidaknya tidak dalam keadaan kemeja yang terbuka lebar.
“B-baik Bu Chintya.”
Terpaksa dia keluar dari ruangan CEO dalam keadaan buruk, dengan memegang kemeja bagian depannya agar tertutup. Tapi pasti rekan kerjanya memiliki praduga yang negatif padanya.
“Tunggu dulu!” Keenan menahan wanita itu untuk tidak keluar dari ruangan, Nailah kembali berhenti melangkah.
“Ikut saya!” perintah Keenan ketika wanita itu menatap dirinya.
Sebelum mematuhi perintah Keenan, Nailah menolehkan wajahnya pada Chintya seakan minta persetujuan wanita itu, tapi yang dia dapatkan hanyalah tatapan yang tak bersahabat.
“Ikut saya, Nailah!” Kali ini intonasi Keenan sedikit meninggi karena perintah sebelumnya tidak digubris oleh Nailah.
Chintya yang ingin turut mengikuti, ditahan oleh Keenan untuk tidak mengikutinya dengan kibasan tangannya.
“Ya, Pak.” Memelas jawaban Nailah, kakinya pun lantas bergerak mengikuti langkah kaki Keenan menuju pintu yang masih berada di dalam ruang CEO. Agak tercengang tatapan Nailah saat masuk ke dalam pintu tersebut, ruangan tersebut berisikan tempat tidur, lemari dan ada pintu lagi, mungkin pintu kamar mandi.
Nailah hanya bisa berdiri di dekar bibir pintu, sembari memperhatikan Keenan bergerak di depan lemari geser.
“Ganti kemeja kamu,” pinta Keenan sembari menaruh baju blouse di atas ranjang, lalu tanpa menatap Nailah dia keluar dari kamar tersebut.
“Makasih Pak,” jawab Nailah, tapi sepertinya ucapannya tidak terdengar oleh Keenan, karena pria itu sudah keluar dari kamar pribadinya.
“Ternyata masih punya belas kasihan juga, di kiraiin enggak punya,” gumam Nailah sembari menutup pintu, lalu dia bergegas mengganti bajunya.
“Ini pasti punya Bu Chintya,” gumamnya saat sudah mengganti bajunya, kemudian dia keluar dari kamar pribadi milik Keenan.
Chintya sudah menatap nyalang di saat Nailah keluar dari pintu tersebut, jadi agak takut Nailah melihatnya. “Bu Chintya, saya pinjam dulu bajunya, terima kasih sebelumnya.” Nailah masih menjaga sopan santunnya pada istri bosnya.
Wanita itu mendekati Nailah, pandangan ke arah blouse yang dia ketahui milik kakaknya. “Aku peringati jangan sampai terulang kejadian seperti tadi, aku tidak akan segan akan meminta pada suamiku untuk memecatmu!” Suara Chintya begitu pelan, mungkin takut terdengar oleh Keenan yang saat ini sedang berdiri dekat pintu, sedang berbicara dengan Thomas.
Benar dugaan Nailah, sudah pasti Chintya akan menegurnya. Naliah pun tersenyum getir, “Saya jamin Bu Chintya, hal tersebut tidak akan terulang kembali, yang tadi hanya kecelakaan kecil. Saya permisi,” tegas Nailah, dan bergerak menuju pintu, namun sebelumnya dia melirik meja kerja Keenan, dan mengambil ponsel dia yang menyempil di antara tumpukan binder.
“Terima kasih atas pinjaman bajunya Pak, besok akan saya kembalikan, saya permisi.” Nailah berkata dengan menundukkan kepalanya, lalu keluar begitu saja tanpa menunggu sahutan dari Keenan. Pria itu mendesah melihat Nailah lewat begitu saja, dan tak menolehkan wajahnya padanya.
Selang lima menit kemudian Keenan meninggalkan ruang kerja, dan sudah pasti Chintya menyusulnya dengan wajah masamnya.
“Memeluk karyawannya saja dia mau! Sedangkan aku tidak pernah dipeluknya selama ini ...!” geram batin Chintya, sembari mencoba menyejajarkan langkah kakinya.
Nailah masih menunggu lift tiba, dan kembali tak menyangka jika pria itu kini sudah berdiri di sampingnya bersama Chintya.
“Aduh, memangnya harus ya ketemu dia lagi,” membatin Nailah, ingin rasanya meronta-ronta. Namun untung saja lift yang ditunggunya tiba, dia pun bergegas masuk lift. Tapi ...
“Sayang, kenapa masuk lift karyawan? Bukankah Kak Keenan biasa pakai lift khusus?” tanya Chintya, dengan tatapan yang semakin heran.
Keenan tidak menjawabnya saat masuk ke dalam lift, Chintya pun terpaksa masuk, sementara Nailah terpaksa merapatkan dirinya ke dinding lift, dirinya tidak mau ikutan dengan perdebatan suami istri tersebut.
Ujung ekor netra Keenan melirik ke arah Nailah, di mana wanita itu pura-pura tidak melihatnya, kenapa hatinya agak jengkel lihat sikap Nailah.
“Please, cepatlah lift ini turun, rasanya kalau di antara mereka berdua jadi gerah begini,” batin Nailah sudah tak sabaran.
Baru turun satu lantai, pintu lift itu terbuka dan masuklah sosok pria dengan gaya perlentenya. “Selamat sore Pak Keenan, Bu Chintya,” sapa pria tersebut.
Tubuh Nailah langsung menegang saat mendengar suara tersebut, suara yang selama ini yang sangat akrab di telinganya. Dia pun lantas menatap ke arah sumber suara tersebut, membeliak lah netranya saat tak sengaja saling beradu pandang, apalagi tatapannya turun ke saku kemeja pria itu yang terpajang id card perusahaan, sama seperti miliknya.
“Ya Allah, ada apalagi ini!”