Setengah jam lagi jarum jam tangan Nailah sudah mendekati angka 5, input data transaksi keuangan sudah finish dan sudah rapi berbentuk laporan keuangan, untung saja hanya transaksi satu bulan, dan hanya transaksi petty cash bukan transaksi besar.
“Permisi Pak Keenan, tugas saya sudah selesai, mohon dicek kembali,” pinta Nailah, sembari mendekatkan laptop milik Keenan yang dia pakai. Tapi, kenapa wajah Keenan malah terlihat tidak senang hati melihat tugas yang diberikannya sudah selesai.
“Yakin sudah selesai semuanya!”
Kening Nailah jadi berkerut, pertanyaan barusan seakan tidak percaya padanya, bukankah selesai dengan waktu yang cepat itu tandanya mengerti akan tugasnya dan dia bekerja cepat.
“Sepertinya nih CEO gak percaya banget sama aku! Walau 3 tahun gak kerja, tapi masih paham sama alur pembukuan. Astaga bikin naik darah nih CEO. Kelak semoga gak ada urusan langsung dengan CEO ini, hari ini sudah cukup. Anggap aja ini sedang test masuk kerja, kalau gak lolos yo wiss, memang aku kurang beruntung!” batin Nailah campur aduk rasanya.
Chintya yang sudah bosan menunggu, beranjak dari duduknya kemudian mendekati Keenan, lalu tangannya menyentuh bahu calon suaminya.
“Sayang, sudah selesaikah? Sebentar lagi sudah mau jam pulang, Kak Keenan ingatkan malam ini kita ada janji makan malam sama mama dan papa?” Chintya mengingatkan janji dengan nada suara yang begitu lembut.
Kesempatan yang baik buat Nailah, ingin sekali dia mengucapkan terima kasih pada wanita itu karena sudah membantunya dari jeratan Keenan yang tidak jelas ini.
“Besok kita lanjutkan kembali, kamu bisa kembali keruangan!” perintah Keenan dengan tatapan kecewanya.
“HAH! Eh ... baik Pak, terima kasih kalau begitu saya undur diri.” Nailah bergegas bangkit dari duduknya, hatinya antara sedang terkejut ditambah lesu. Terkejut karena dia sepertinya tidak dipecat, yang kedua kenapa besok harus bertemu kembali dengan Keenan.
“Saya permisi Bu Chintya,” pamit Nailah, dan langsung tancap gas keluar dari ruangan Keenan.
“Akhirnya keluar juga dari kandang macan,” gumam Nailah sendiri, ketika dia akhirnya benar-benar keluar dari ruang CEO. Kakinya pun bergegas menuju lift, namun dia baru menyadari sesuatu jika ada barangnya yang tertinggal di meja Keenan.
“Astaga, ponselku ketinggalan!” seru Nailah sembari menepuk keningnya.
Sementara itu masih di dalam ruang CEO, Keenan agak menghempaskan dokumen ke atas meja dia dengan hentakan keras.
Pria itu menatap tajam pada adik almarhumah istrinya yang masih menyentuh bahunya tanpa seizinnya. “Sudah cukup kamu bersandiwara sebagai istriku! Kita ini belum menikah Chintya, dan aku selalu mengingatkan batasanmu, kalau kita baru tunangan saja!” sentak Keenan.
Mulai merinding Chintya, tapi dia berusaha tenang dan justru semakin membelai lembut bahu Keenan. “Tapi Kak, tiga bulan lagi kita akan menikah, apa salahnya jika aku bilang sebagai istri Kakak, bukankah sama saja bilang sekarang atau nanti,” jawab Chintya dibuat manja suaranya.
Keenan menepis tangan Chintya dengan kasarnya, lalu bangkit dari duduknya, kemudian meraih ponselnya yang berada di atas meja, pria itu pun bergerak keluar memutari meja kerjanya.
“Kak Keenan, sampai kapan Kakak akan bersikap dingin padaku Kak? Aku ini calon istri Kak, ibu sambung Aleena, dan akan menjadi ibu dari anak-anak Kak Keenan?” Chintya memberondong pertanyaan ketika Keenan melangkahkan kakinya.
Langkah besar itu pun berhenti sejenak, pria itu pun menoleh. “Aku menerima kamu sebagai calon istriku hanya demi kedua orang tuamu, bukan karena keinginanku. Kamu tahukan aku masih sangat mencintai kakakmu dan tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Sejak awal sudah aku ingatkan jika kamu merima hubungan ini, maka jangan pernah memaksakan diriku, kamu harus menerima keadaanku. Kalau kamu tidak menerimanya silakan batalkan pertunangan kita, dan tak ada pernikahan!”
Chintya bergeming, mau menjawab apalagi? Bukankah kenyataan memang seperti itu! Keenan tidak bisa melupakan almarhumah istrinya, dan Chintya harus menerima keadaan seperti itu, serta sudah dipastikan dia tidak akan membatalkan rencana pernikahannya bersama Keenan.
Usai berkata, pria itu kembali melangkah dan membuka pintu ruangannya, baru saja buka pintu ...
“Mbak, awas lantainya agak licin sedang dibersihkan!” seru petugas cleaning servicenya melihat langkah kaki Nailah begitu cepat menuju ruangan CEO.
“Eh ... iy—“
Baru aja dibilangin, tangan Nailah langsung meraih jas Keenan saat pria itu keluar dari ruangannya, tubuhnya oleng, tapak sepatu high heelsnya ternyata tak bisa menahan lantai yang masih basah itu, alhasil.
BUGH!
Nailah langsung memejamkan matanya, tubuhnya sudah terasa terhempaskan entah ke mana, tapi dia merasakan ada yang empuk-empuk dan sedikit keras. Apakah lantai marmer rasanya sekarang empuk kayak di atas kasur? Entahlah, hanya saja sekarang Nailah juga merasa ada yang hangat di pipinya, hangat dan wangi mint, belum lagi wangi maskulin peraduan wood begitu menyeruak di indra penciumannya. Tapi tunggu dulu kenapa terdengar suara detak jantung yang lumayan cepat.
“HAH!”
Nailah langsung membuka lebar netranya setelah teringat dia telah menarik jas milik Keenan. Wanita itu mendongakkan wajahnya, dan ternyata bibir Keenan lah yang menempel di pipinya dengan sempurna.
“Astagfirullah.” Wajah Nailah sudah memerah bagaikan kepiting rebus yang baru di angkat dari panci. Keenan yang ikutan menatap Nailah menghembuskan napas panjangnya lalu mendesah dengan sempurna.
“Astaga kenapa selalu sial sama nih cewek!” Keenan geram dalam batinnya.
“Sayang, Kak Keenan!” seru Chintya, suaranya agak berteriak, lalu dia meraih dan menarik tangan Nailah yang masih menindih tubuh Keenan. Sontak Nailah terkejut dan agak panik, akan tetapi saat dia mau bangkit dari atas tubuh Keenan.
“Eeh ...!” seru Nailah menahan dirinya tidak bisa bangkit dari atas tubuh Keenan.
Nailah menundukkan padangan, ternyata kancing kemeja dia terpaut dengan kancing kemeja milik Keenan.
“Eh .. mau berapa lama kamu berada di atas tubuh suami aku ... huh!Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan untuk menggoda suamiku ya!” sentak Chintya sudah terlihat cemburu dan panas hatinya.
Wanita itu mendongakkan wajahnya untuk menatap Keenan. “Pak Keenan, bagaimana ini kancing kita berdua nyangkut!” Sebenarnya Nailah bukan tipe panik kan, tapi ucapan Chintya yang membuat pikiran dia buyar untuk mengambil tindakan.
Keenan agak mengangkat kepalanya dan melihat memang benar kancing kemeja mereka saling bertautan, Nailah sudah berusaha melepaskan tapi tak bisa.
“Kak Keenan, kok diam aja! Bangun dong!” seru Chintya semakin geregetan.
“DIAM, CHINTYA!” Meninggilah suara Keenan.
Cleaning service yang berada di sana ternyata memanggil Thomas untuk membantu menghandle keadaan CEO mereka, karena dia sendiri juga takut, ini terjadi karena kesalahan dia yang tidak langsung mengeringkan lantai.
“Pak Keenan.”
Thomas langsung mendekati, dan agak terkejut melihat bosnya berada dibawah tubuh Nailah, menempel secara sempurna.
“Thomas, bantu saya berdiri,” pinta Keenan, salah satu tangannya melingkari pinggang Nailah, tangan yang lain dia ulurkan agar bisa dipegang oleh Thomas, sedangkan petugas cleaning service bantu menopang badan Keenan dari belakang agar bisa berdiri tanpa oleng.
Nailah hanya bisa memejamkan mata saat tubuhnya dipeluk erat oleh Keenan, hanya gara-gara kancing kemeja mereka saling bertautan dan tak bisa dilepaskan.
“Ya Allah, bakal terjadi apalagi ini! Kenapa jadi begini!” batin Nailah udah memelas, dengkul kakinya juga sudah lemas.