Bab 1. Pengkhianatan suami
Tubuh wanita yang sedang hamil sembilan bulan itu tiba-tiba saja terhuyung-huyung, untung saja ada teman yang menahan tubuh wanita hamil itu agar tak jatuh ke belakang.
Hatinya amat menyesakkan apa yang dia lihat di depan matanya, padahal sejak awal dirinya sudah menguatkan hati jika melihat sesuatu yang akan ditemuinya. Nailah yang sudah memutuskan mengikuti langkah suaminya yang tak sengaja kepergok oleh Elsa sahabatnya memasuki hotel bintang empat di salah satu wilayah Jakarta Pusat.
Mata indah nan jernih itu akhirnya berderai air mata tak bisa dihentikan, keharmonisan rumah tangganya selama tiga tahun ini akhirnya hancur saat itu juga. Begitu baiknya dan terkesan sangat mencintai dirinya, ternyata dibalik sikap suaminya telah menduakan hatinya.
Ya, Haidar Aziz suami dari Nailah Kanissa terlihat buru-buru mencabut benda pusakanya yang sedang menghujam wanita yang dikungkungnya, lalu bergegas menutupi dirinya dengan selimut.
“Nailah ... kenapa kamu bisa ada di sini?” Terkejut Haidar, namun wanita yang sudah sama-sama dalam keadaan polos terlihat tidak terganggu dengan kehadiran Nailah.
“Hai Nailah, akhirnya kamu tahu juga,” sapa Sarah dengan melambaikan tangannya dari atas ranjang.
“Breng-sek lo ya Sarah! Tega banget lo jadi sahabat!” maki Elsa, yang turut memergoki perselingkuhan yang begitu apiknya. Sarah yang dimaki terlihat biasa saja, dengan santainya dia malah merebahkan bahunya ke pundak suami Nailah.
Ingin rasanya Nailah memukul kedua orang tersebut, namun apa daya perutnya yang semakin besar membuat dia susah bergerak, yang ada kini dia mencoba melangkahkan kakinya perlahan-lahan menuju ranjang laknat tersebut.
“Se-sejak kapan Mas! Sejak kapan Mas seperti ini padaku?” tanya Nailah dengan suaranya yang bergetar hebat.
Haidar memutar malas kedua bola matanya, lalu menepis kepala Sarah agar dia bisa bangkit dari atas ranjang dengan menutupi benda pusakanya dengan kemeja bekas pakainya.
“Sejak kamu belum mengenal Mas Haidar, aku lah yang terlebih dulu mengenal Mas Haidar, perlu kamu ketahui jika bukan karena perjodohan bapaknya Mas Haidar dengan bapakmu itu, maka akulah yang seharusnya menikah dengannya, bukan kamu!” sentak Sarah membongkar hal yang selama ini mereka tutupi.
Dalam deraian air matanya, Nailah membungkam mulutnya agar tidak meraung tangisannya sembari menatap suaminya yang sudah kembali memakai celana pendeknya. Pria itu terlihat berkacak pinggang dan meraup wajahnya dengan kasar, kemudian mendekati Nailah berdiri.
“Ya, aku lebih mengenal Sarah duluan ketimbang kamu, dan karena perjodohan aku terpaksa menikahimu tapi bukan berarti aku mencintaimu! Berhubung kamu ada di sini dan sudah tahu, jadi ya terimalah kalau aku berhubungan dengan sahabatmu!” timpal Haidar dengan santai dan seakan perbuatannya biasa saja.
Suara tangan menyentuh pipi terdengar nyaring. Tangan Nailah bergetar hebat setelah menampar wajah tampan suaminya, namun perbuatan itu membuat Haidar meradang.
“Berani sekali kamu menamparku, Nailah!” bentak Haidar, salah satu tangannya mendorong tubuh wanita hamil itu hingga berbenturan dengan nakas yang ada di kamar hotel itu.
“AAKKH!!” jerit Nailah kesakitan saat perutnya terbentur dengan gagang nakas tersebut.
“Nailah!” seru Elsa buru-buru menolong sahabatnya itu, lalu dia menolehkan wajahnya dengan tatapan tajam pada Haidar.
“Wah main kasar rupanya ini laki-laki! Dia yang berselingkuh tapi malah mendorong istrinya lagi hamil, biadab lo!” umpat Elsa, membuang rasa hormatnya pada Haidar.
Haidar hanya menyeringai tipis, dan menganggap lalu kemarahan sahabat istrinya itu.
“Elsa tolong, perut aku sakit banget,” pinta Nailah dengan wajah meringis kesakitan.
Elsa yang masih memegang lengan Nailah, menundukkan kepalanya dan melihat darah segar mengucur dari dalam dress hamil Nailah.
“Da-darah Nailah.” Panik Elsa, lalu dia kembali melayangkan tatapannya.kepada suami sahabatnya.
“Mas Haidar, tolong bawa Nailah sekarang juga ke rumah sakit atau aku akan berteriak orang untuk datang ke sini agar Mas Haidar di penjara karena sudah mendorong Nailah!” Elsa berteriak sekencang mungkin, sembari mengancam.
Pria itu mendengkus kesal, dan dia memang melihat banyak darah yang menempel di kedua kaki wanita itu.
“Ya, tunggu aku pakai baju dulu.”
Sangat santai sekali Haidar masuk ke kamar mandi, tidak ada rasa khawatir dengan keadaan istrinya. Padahal selama ini dia menunjukkan perhatian dan kepeduliannya pada Nailah, namun sekarang semuanya sirna dengan kepergoknya hubungan perselingkuhannya.
Nailah hanya bisa menahan rasa sakit yang mendera bagian perut bawahnya, belum lagi rasa sakit hatinya yang saat ini sudah menguasai relungnya yang paling dalam.
Sarah yang tidak tahu malu, dengan santainya mengenakan pakaiannya di hadapan sahabatnya, sebentar apa masih bisa dibilang sebagai sahabat! jika sudah menusuk dari belakang.
“Paling juga mau lahiran, jangan lebaylah, Nailah!” sindir Sarah sembari menyibak rambut panjangnya ke belakang saat melewati mereka berdua.
Semakin meradang hati Elsa yang mendengar, sedangkan Nailah sudah tak peduli karena menahan rasa sakitnya dan kepalanya sudah mulai terasa pusing.
“AKHH!” teriak Sarah ketika rambutnya dijambak, lalu di dorong tubuhnya hingga terjerembap ke lantai.
“Dasar Jalaang! Tidak punya harga diri, menusuk sahabatnya sendiri dari belakang selama ini!” maki Elsa tanpa ampun.
Nailah menggelengkan kepalanya pelan, dan semakin erat memegang salah satu tangan Elsa.
“Elsa, aku sudah gak kuat menahannya, Sa.” Begitu pelan Nailah berucap hingga akhirnya wanita hamil itu jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan Elsa.
***
Rumah Sakit Bunda
Sudah hampir dua jam, Nailah sudah berada di ruang operasi, dan belum ada satu pun perawat atau dokter yang keluar memberikan kabar tentang operasi sesar yang dilakukan pada Nailah. Dokter kandungan memutuskan untuk melakukan operasi sesar karena Nailah mengalami pendarahan hebat saat tiba di rumah sakit.
Ibu Salwa yang sudah dihubungi oleh Elsa, kini tampak menangis di dalam rangkulan bahu Elsa. Wanita paruh baya itu sangat syok mendengar cerita Elsa, ingin marah pada menantunya pun tak bisa, semuanya itu karena kesenjangan strata sosial keluarga mereka, keluarga Haidar lebih terpandang ketimbang keluarga Nailah yang hanya keluarga sederhana.
Sementara itu Haidar terlihat santai sembari menggoyangkan salah satu kakinya yang bertumpu pada kaki yang lain, padahal di dalam ruang operasi tersebut Nailah kondisinya sedang memperjuangkan hidup dan matinya keturunan Haidar, cucu pertama untuk keluarga Haidar. Miris sekali jika lihat sikap Haidar.
Dari kejauhan datanglah sosok wanita paruh baya dengan dandanan sosialitanya dari ujung kaki hingga ujung rambut memakai barang bermerek. Elsa hanya bisa memalingkan wajahnya, enggan untuk menyapa wanita paruh baya tersebut yang sangat sering berbuat kejam pada Nailah.
“Nailah oh Nailah malang sekali nasibmu, kamu bertahan hidup dengan Mas Haidar karena sikapnya yang terlihat mencintaimu dan perhatian denganmu, ternyata ada udang dibalik batu,” batin Elsa sembari menatap lampu hijau ruang operasi yang mulai mati, tandanya operasi sudah selesai.
“Haidar, jadi istrimu sekarang lagi melahirkan? Bukannya HPL-nya seminggu lagi?” tanya Mama Layla yang baru tiba dan langsung menyapa anaknya, dan pura-pura tidak melihat kehadiran besannya.
Haidar mendongakkan wajahnya. “Oh Mama udah datang. Iya, sekarang lagi ada di ruang operasi.”
“Oh begitu.” Membulat bibir Mama Layla, sembari menghempaskan bokongnya di atas bangku tunggu tersebut.
Selang 10 menit kemudian keluarlah pria yang memakai baju berwarna hijau yang biasa dipakai saat di ruang operasi.
“Keluarga Nyonya Nailah?” panggil pria itu.
Elsa dan Ibu Salwa langsung menjawab dan cepat sekali bangkit dari duduknya untuk bergegas mendekati pria tersebut, sedangkan Haidar bergerak dengan santainya.
Pria paruh baya itu tampak sendu menatap Ibu Salwa dan Elsa secara bergantian. “Adakah suaminya Nyonya Nailah,” kembali bertanya pria itu.
“Ya, saya suaminya,” jawab Haidar terdengar malas.
Pria itu melayangkan tatapannya pada Haidar. “Saya ingin menyampaikan Nyonya Nailah sudah melahirkan bayi laki-laki yang sangat tampan, tapi saya minta maaf jika kondisi bayi Bapak tidak bisa kami selamatkan karena kondisi bayi sudah meninggal di dalam kandungan, sepertinya benturannya sangat keras terkena pas di bagian perut pas organ vital bayinya.” Sang dokter menjelaskan dengan baik.
Saat itu juga Haidar membeku dalam berdirinya, sementara itu tangisan Ibu Salwa pecah. Apa yang kamu rasakan Haidar? Sedih atau bahagia telah melenyapkan anak yang akan membuat dirimu menjadi alih waris usaha Papamu? Hanya dirimu yang tahu!