Bab 10. Maksudnya dipecatkan!?

1090 Kata
Langkah kaki Nailah semakin berat, andaikan boleh ingin rasanya dia memutar balik tubuhnya, dan mengurungkan hati untuk menemui sang CEO, terserahlah mau disindir kayak apa yang jelas ingin melarikan diri, namun sepertinya tidak akan bisa, Thomas si asisten pribadi Keenan sudah seperti penjaga pintu saat Nailah melirik ke belakang. Keenan yang sudah duduk di kursi kebesarannya menjatuhkan buku tebalnya di atas meja, hingga menimbulkan bunyi yang begitu kencang. “Astaga, jantung rasanya mau copot!” Nailah berjengit, dan kembali meluruskan pandangannya ke depan bersamaan dirinya sudah berdiri di depan meja kayu oak yang begitu mengkilap serta kokoh, lalu menggigit bibir bawahnya. Keenan memindai wanita yang sekarang berdiri di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung kepala, dan hal itu membuat Nailah semakin risih. “Apa tujuanmu bekerja di sini?” “Cari duit, Pak.” spontan Nailah menjawabnya, namun dia merutuki dirinya, setelah mulutnya berkata. “Haduh, harusnya jawabnya bukan begitu, harusnya yang lebih elegan seperti saat diwawancara kerja!” rutuk batin Nailah. Suara decakan amat terdengar jelas keluar dari mulut Keenan, tatapan seakan mengejek dirinya juga terlihat sekali. Nailah hanya bisa mendesah pelan. “Oh cari duit! Memangnya di sini gudangnya duit, sampai kamu cari di sini!” sindir Keenan, menatap remeh. “Tuhkan benar kena sindir! Mampus deh! Lagian ini juga bibir langsung jawab aja,” membatin Nailah dengan rasa sesalnya. “Bukannya begitu maksudnya Pak, di sini saya bekerja untuk memberikan kontribusi dengan pengalaman dan ilmu yang saya miliki, selain ujung-ujungnya mengharapkan gaji juga sih,” ralat Nailah, tanpa berani menatap mata elang Keenan. Keenan merogoh saku dalam jasnya, lalu mengeluarkan dompet berwarna hitam, kemudian mengambil 3 lembar uang berwarna merah dan dia menyentakkan uang tersebut ke atas mejanya hingga menimbulkan bunyi yang kencang. Nailah bergeming dan mengamati samar-samar. “Kamu cari duitkan di sini! Ini duitnya, ambil!” Suara Keenan agak naik 1 oktaf. Nailah agak kebingungan atas perintah Keenan, sampai-sampai dia masih terdiam dalam posisi berdirinya. “Hey, ambil duitnya! Saya tidak butuh uang yang kamu berikan waktu itu. Setelah dapat duitnya keluarlah!” seru Keenan, agak jengkel melihat wanita itu masih saja terdiam. “Hiks ... ternyata benar, aku dipecat juga,” memelas batin Nailah, dugaannya benar. “Saya tidak butuh karyawan yang hanya mencari duit di perusahaan saya tanpa memberikan kinerja kerja yang baik, jadi sebaiknya ambil uang ini dan keluarlah!” Keenan kembali memerintah. Nailah menarik napasnya dalam-dalam, lalu menatap tajam ke arah pria yang begitu tampan tersebut. “Bagaimana Bapak bisa menilai saya memiliki kinerja yang tidak baik di perusahaan Bapak, sedangkan saya baru setengah hari bekerja di sini, dan baru meraba apa yang akan menjadi tugas saya. Kecuali Bapak berkata seperti itu setelah masa kerja saya sudah sebulan, saya akan menerima penilaiannya baik dan buruknya. Lagi pula bagian HRD juga sudah menginformasikan jika akan ada evaluasi di jenjang 1 bulan hingga 3 bulan ke depan sesuai dengan surat kontrak kerja,” tutur Nailah dengan intonasi suaranya yang sangat teratur. “Dan bukannya di surat perjanjian kerja juga tercantum jika pihak pemberi kerja memutuskan kesepakatan kerja dengan alasan yang tidak masuk akal, maka pekerja akan mendapatkan kompensasi 6 bulan gaji, jadi uang 300 ribu sepertinya kurang Pak kalau ingin memecat saya hari ini juga.” Jawaban yang sangat menohok buat Keenan, tapi pria itu justru hanya menyeringai tipis saat menatap Nailah, dan kedua alis tebalnya saling bertautan. “Memangnya saya ada kata memecat saat berbicara denganmu?” Nailah memicingkan netranya hingga keningnya berkerut, kembali mengingat kalimat Keenan. “Tadi Bapak bilang keluar! Bukankah sama saja memecat saya?” “Ck ... kayak begini kalau isi kepalanya hanya duit saja, sampai tidak bisa menelaah kalimat yang diucapkan, sepertinya divisi HRD sudah salah memilih staf keuangan untuk bekerja di perusahaan saya,” gerutu Keenan kesal. Nailah sudah agak meradang dan hatinya sebenarnya agak memanas, ketika mendapatkan dirinya direndahkan secara terbuka semenjak di ruang rapat hingga di ruang CEO sendiri. Mau melawan dengan kasar, dia juga yang akan rugi, tapi dirinya juga tidak tahan diperlakukan seperti itu, untuk menunjukkan power dalam bekerja juga tidak bisa. “Memang susah bersilat lidah dengan penguasa, dirinya yang selalu tampak sempurna, sampai-sampai merendahkan rakyat jelata. Memangnya dia tidak berpikir, kalau tidak ada karyawan mana ada perusahaannya berkembang, yang ada bakal mandek!” gerutu Nailah pelan, hatinya udah gak bisa berdiam begitu saja, suaminya yang ketahuan berselingkuh dia langsung minta cerai, apalagi ini hanya seorang CEO, walau itu atasannya. “Ya sudahlah, mending cari perusahaan lain saja, memangnya perusahaan ini aja yang hanya menerima karyawan!” kembali lagi Nailah cerocos sendiri, dan agak pelan, terserah kalau sampai terdengar di telinga Keenan. “Apa tadi kamu bilang! Coba ulangi lagi!” sentak Keenan sembari beringsut dari kursi kebesarannya. Nailah mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk. “Saya gak ngomong apa-apa kok Pak, mungkin Bapak salah dengar saja. Kalau begitu biar waktu Bapak tidak terbuang karena menghadapi saya. Sebaiknya saya keluar dari sini, dan untuk uangnya diambil aja, kalau memang Bapak tidak membutuhkannya kasih saja sama pengemis di jalanan, uang sebanyak itu sangat berharga buat mereka, ketimbang buat Bapak yang gak ada harganya. Dan terima kasih sudah diberikan kesempatan menginjak perusahaan Bapak,” tutur Nailah sangat sopan, walau menyindir. “Baiklah memang tidak bisa bekerja di perusahaan ini, selama berjuang mencari kembali Nailah,” batin Nailah menyemangati dirinya sendiri. Sementara Keenan yang merasa tersindir agak geram melihatnya, di mana-mana karyawannya sangat takut untuk mengeluarkan kata-kata saat bertemu dengan Keenan, lebih banyak diam dan jawab singkat jika ditanya oleh Keenan, tidak seperti Nailah yang bisa sepanjang kereta api. Nailah membungkukkan punggungnya sebagai tanda hormatnya, lalu bergerak memutar balik badannya. “Kamu mau ke mana?” tanya Keenan saat melihat postur tubuh bagian belakang Nailah yang terlihat ramping pinggangnya dan seksi itu. Langkah kaki Nailah berhenti bergerak, kepalanya pun menoleh ke belakang. “Tadi Bapak minta saya keluar, ya saya keluar!” Keenan mengetatkan rahang yang menunjukkan raut tegasnya. “Duduk!” perintah Keenan menunjukkan kursi yang ada di hadapan meja kerja yang terbuat dari kayu oak. Nailah belum melaksanakan perintah Keenan, justru dia menatap heran. “Apa kamu tidak punya telinga? Saya suruh kamu duduk!” “Saya punya telinga kok Pak, dan tidak tuli, maka dari itu saya mematuhi perintah Bapak untuk keluar, ya saya keluar. Terus kenapa jadi di suruh duduk, apakah Bapak mengalami amnesia seketika?” balik bertanya Nailah. Oh, Keenan tampak meradang dibuatnya sama karyawan barunya. Dengan wajah garangnya dia memutari meja kerjanya, lalu meraih pergelangan tangan Nailah, kemudian mendudukkan wanita itu ke atas kursi. Nailah sampai terkesiap dibuatnya. “Astaga, CEO-nya memang galak!” batin Nailah, membenarkan kata Luis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN