Mansion Keenan.
Aleena duduk di tepi kolam renang usai pulang dari sekolah taman kanak-kanaknya. Bocah cantik itu melipat kedua tangannya di da-danya, sembari memalingkan pandangannya dari wanita yang terlihat berjalan menuju dirinya dengan membawa nampan.
“Ale sayang, Mommy bawakan makan siang nih,” ucap Chintya tersenyum manis pada keponakannya sekaligus akan menjadi anak sambungnya.
Aleena memutar malas bola matanya sembari mendengus sebal. “You're not my mommy, but aunty ... just aunty!”
Nampan yang dibawa oleh Chintya, dia letakkan di meja bundar dekat Aleena duduk, kemudian wanita itu turut duduk di kursi yang lain tanpa mengalihkan tatapannya ada keponakannya. “But, I wil be you're mommy, Ale. So, Ale harus sudah terbiasa memanggil aunty itu mommy, bukan aunty lagi, jadi mohon kerja samanya ya, Sayang,” bujuk Chintya pelan.
“Daddy oh Daddy kenapa juga sih mau tunangan sama Aunty Chintya, kayak gak ada wanita lainnya. Wajah sama hatinya gak sesuai!” gerutu Aleena dalam batinnya.
Aleena menggidikkan bahunya saat melihat wajah Chintya, seakan melihat makhluk asral.
“Susah sekali si Aleena panggil aku mommy, sudah tahu daddynya sebentar lagi akan menikahi aku. Cih ... andaikan kakak meninggal tidak memiliki anak, pasti aku tidak akan sesulit ini untuk mengambil hati Kak Keenan.” Chintya ngedumel dalam batinnya, dan hal itu samar-samar bisa didengar oleh mata batin Aleena.
Batin Aleena mendesah kecewa, lantas dia bangkit dari duduknya dan meninggalkan wanita itu begitu saja.
“Ale, kok malah pergi? Ini makanannya belum dimakan loh!” Chintya agak berteriak memanggil bocah cantik tersebut, sembari melambaikan tangannya.
“Ck ... susah benar ngurus anak satu, kalau kayak begini aku harus segera punya anak dari Kak Keenan kalau sudah menikah, biar Aleena dilupakan oleh Kak Keenan. Harusnya Aleena tuh bersyukur kalau aku menerimanya dan akan mengurusnya!” gerutu Chintya sendiri, lalu dia meneguk orange juice yang seharusnya untuk Aleena.
Aleena menghiraukan panggilan tersebut, dan tak sedikit pun menolehkan wajahnya ke belakang. Aleena bukan tidak suka dengan adik ibunya, tapi semenjak Aleena tahu jika adik ibunya menyukai dan terobsesi menjadi istri daddy-nya, lama-lama tidak begitu respon dengan Chintya.
Semua perhatian Chintya yang diberikan padanya semenjak ibunya meninggal, ada maksud tertentu, dan Aleena bisa merasakan kasih sayang Chintya palsu demi mencari perhatian daddy-nya. Tapi, mau bagaimana lagi dia hanya bocah berumur 5 tahun yang tidak bisa mengajukan komplainnya pada Keenan, apalagi dengan dorongan kakek neneknya yang beralasan agar dirinya memiliki seorang ibu dan ada yang merawatnya.
Alasan yang omong kosong! Padahal Aleena memiliki pengasuh lalu ditambah lagi para maid yang ada di mansion Keenan. Dan sekarang jadi bertambah dengan kehadiran Chintya, yang semenjak acara tunangan jadi lebih sering tinggal di mansion, dan lagaknya sudah seperti Nyonya Besar, sungguh menyebalkan bagi Aleena.
“Daddy pasti akan bertemu seorang wanita yang menyebalkan !” gumam Aleena sendiri ketika memandangi bingkai foto dirinya dengan Keenan yang terpajang di dalam kamarnya.
Kembali ke perusahaan, lebih tepatnya masih di ruang CEO.
“Tadi disuruh keluar, sekarang disuruh duduk, dasar CEO aneh,” gerutu Nailah pelan, saat dirinya sudah duduk.
“Masih gerutu dibalik saya, telinga saya masih mendengar!” tegur Keenan agak meninggi suaranya, alhasil Nailah menundukkan kepalanya sembari mendesah panjang.
Selang berapa lama, Thomas masuk kembali ke ruangan Keenan, dengan kondisi tangan yang penuh dengan beberapa binder.
“Ini berkas-berkas yang Pak Keenan minta,” ucap Thomas sembari menaruh bawaannya ke meja. Kalau melihat tumpukan binder yang dibawa oleh Thomas lumayan tinggi, pasti si Bos sedang banyak pekerjaan, duganya Nailah.
Setelah itu, Thomas undur diri kembali ke ruang kerjanya, dan kembali Keenan dan Nailah berdua.
“Buatkan laporan keuangan dari berkas-berkas yang ada di sini, jam 5 sore harus sudah selesai,” perintah Keenan dengan gaya bossynya.
GLEK!
Agak tercekat tenggorokan Nailah, ditambah netranya yang membulat melihat 5 binder dengan ukuran tebal.
“Kalau kamu tidak bisa menyelesaikan sampai jam 5, ya kamu sudah tahu bukan jawabannya!”
“HAH.”
Netranya yang sudah membulat sekarang semakin dibuat melebar dengan ancaman Keenan.
“Udah gila kali ya si CEO ini, ini binder tebal punya, disangka aku Ratu Roro Jonggrang yang punya seribu jin buat bantu bangun candi dalam semalam. Lah sekarang udah jam 2 siang, harus selesai jam 5 sore. Ampun malih, bilang aja mau pecat tapi pakai seribu alasan!” gerutu batin Nailah.
“Kenapa diam saja! Kamu masih mau kerja di sini! Atau mau keluar saja dari sini?” Keenan memberikan pilihan, dan dia sudah menganalisanya jika Nailah tetap mau bekerja di sini, gaji di perusahaan dia lumayan besar untuk level staf.
Wanita itu mendesah ketika kembali menatap tumpukan binder tersebut, jika dikerjakan dalam waktu yang singkat tetap tidak akan bisa diselesaikan tepat waktu, jadi buang waktu saja jika dikerjakan. Akhirnya Nailah beranjak dari duduknya dengan tarikan napas menyerahnya.
“Saya masih waras untuk melakukan permintaan Bapak, dan rasanya tidak masuk akal. Buat apa berkelit dan menghabiskan waktu mengerjakannya jika jawabannya sudah tahu dari awal. Terima kasih Pak, lebih baik saya keluar ... Endingnya juga tetap dikeluarkan!”
Urat leher Keenan sudah mulai tegang rasanya, apalagi melihat wanita itu mulai bergerak ingin meninggalkan kursi.
“DIAM, KEMBALI DUDUK!” sentak Keenan. Sontak saja Nailah berhenti bergerak, lalu pandangannya ke arah Keenan.
“DUDUK!” Keenan kembali memerintah dengan menunjukkan jari telunjuknya ke arah kursi.
“Ini sebenarnya dia mau apa sih, gak jelas amat!” batin Nailah bertanya-tanya, dan terpaksa dia kembali menjatuhkan bobot di atas kursi.
Keenan mengambil satu binder dari tumpukan yang lumayan tinggi tersebut lalu menyentakkan di meja pas di hadapan Nailah.
“Kerjakan yang ini, sekarang juga!”
Nailah dibuat melongo dengan perubahan perintah Keenan, apa si Bos menyerah menghadapi dirinya? Padahal tidak rugi jika kehilangan staf model Nailah, masih banyak orang yang akan menggantikan posisinya.
“Kenapa diam, cepat kerjakan! Jam 5 sore sudah selesai laporannya!”
Nailah yang masih diam terpaku, mengulurkan tangannya untuk meraih binder tersebut, padahal dia sudah menyerah jika memang akan dipecat oleh Keenan.
“Baik Pak,” jawaban yang tidak semangat dari Nailah, lalu dia kembali beringsut dari duduknya.
“Mau ke mana lagi sekarang?”
Nailah pun mengernyitkan keningnya dengan tatapan heran. “Mau kerjakan yang Bapak minta di ruangan.”
“Kerjakan di sini! Tidak usah pakai alasan balik ke ruangan!”
“HAH!”
Bagaimana ceritanya level staf yang notabene sebagai karyawan baru akan bekerja di ruangan CEO yang ganteng pula wujudnya, berarti dalam kurun waktu beberapa jam ke depan mereka akan berduaan. Astaga, Nailah rasanya ingin menghirup oksigen sebanyak-banyaknya biar da-danya kembali plong. Ya, kali Nailah mau satu ruangan dengan CEO arogannya, ya, jelas tidak mau!