2 jam bagaikan 24 jam bagi Nailah yang turut berada di dalam ruang meeting, rasa dingin yang menyeruak dari air conditioner terasa panas bagi Nailah, ingin rasanya meeting ini cepat berakhir agar dia bisa bernapas lega.
Berbeda hal dengan Keenan selaku pimpinan menunjukkan pamornya saat memimpin rapatnya, dan hal itu membuat Nailah semakin tercekik sendiri. Bagaimana bisa seorang CEO dia perlakukan semena-mena saat mereka pernah bertemu, Nailah hanya bisa mendesah pasrah, entah masa depan apa yang akan menantinya di sini.
“Saya harap kalian bekerja secara profesional, apalagi divisi keuangan adalah divisi yang paling penting di perusahaan ini, jika ada salah satu karyawan yang melakukan korupsi atau manipulasi data, maka saya tidak akan segan-segan memecatnya saat itu juga. Jadi mohon kerjasamanya termasuk karyawan yang baru bergabung, saya harap bukan hanya berniat ingin menerima gaji buta saja di sini tapi kinerjanya nol, karena saya tidak suka dengan karyawan yang tidak berkompeten bekerja di perusahaan saya!” tutur Keenan penuh penekanan, namun tatapannya tidak tertuju pada Nailah. Akan tetapi Nailah merasa tersindir.
Jelas sekali Nailah yang lebih banyak menunduk, menyimak, mencatat hal-hal yang penting di notebooknya selama meeting, mengangkat wajahnya lalu membulatkan kedua netranya sebulat-bulatnya.
“Apa! Aku dibilang hanya ingin terima gaji saja di sini! Astaga Pak CEO begitu banyak prosedur tes kerja biar lolos diterima kerja di sini! Catat ya! Aku gak pakai orang dalam biar ke terima di sini!” seru Nailah dalam batin saja, gila aja kalau dia berucap di depan orang.
Nailah memberanikan diri untuk menatap tajam pria tampan, ya ... Nailah akui CEO-nya sangat tampan melebih mantan suaminya, tapi entah kenapa rasanya dia ingin menenggelamkan pria itu kelautan saja. Sekilas pria itu melirik ke arah tempat Nailah duduk, sontak saja Nailah langsung memalingkan wajahnya takut ketahuan.
“Iish ....”Nailah hanya bisa mendesis, padahal batinnya sudah banyak kata-kata yang ingin dilontarkan.
“Ah sudahlah terserah apa kata dia saja, suka-suka hatinya sajalah mau nyindir apa!” gerutu batin Nailah.
“Baiklah rapat bulanan ini saya akhiri sampai di sini, untuk selanjutnya saya tunggu laporan keuangan dari masing-masing bagian.” Keenan mengakhiri meeting, Nailah pun bernapas lega, seakan ada ronggang yang begitu lebar untuk dia bernapas sejenak.
“Pak Martin, setelah jam istirahat selesai saya minta untuk staf keuangan yang baru untuk menghadap saya ke ruangan,” perintah Keenan, sebelum dia keluar meninggalkan ruang meeting.
“Hah!”
Telinga Nailah mendengar jelas dari tempat dia duduk, walau pria itu ada di ujung sana, apalagi sepertinya suara Keenan memang terdengar sangat jelas dan agak naik satu oktaf.
“Baik Pak Keenan, akan saya sampaikan pada staf baru,” jawab Martin patuh.
Pria itu lantas kembali melangkahkan kakinya menuju pintu diikuti oleh asistennya tanpa melihat Nailah. Kini tinggal Nailah yang mulai tampak galau, untuk apa dia harus menghadap CEO, bukankah dia hanya staf biasa yang tidak ada interaksi langsung dengan CEO, cukup hanya pada manajer keuangannya saja!
“Thomas ambilkan CV staf keuangan terbaru itu!” pinta Keenan saat mereka sudah keluar dari ruang meeting.
“Baik Pak, saya akan segera minta ke divisi HRD.”
***
Kantin Karyawan.
Selera makan sebenarnya sudah hilang, tapi perut butuh diisi biar maagnya tidak kambuh. Luis dan Utami mengajak Nailah untuk sama-sama makan siang di kantin karyawan yang ada di lantai basemant.
Banyak pilihan makanan di sana, tapi tetap saja Nailah tidak tergugah, pikiran sudah melayang ke mana-mana menuju jam 1 siang.
“Nai, kamu jadinya mau pesan apa?” tegur Luis melihat Nailah masih melamun.
“Eh ....” Lamunan Nailah buyar, dan kembali melirik ke semua arah.
“Pesan gado-gado aja, lagi gak mood makan,” jawab Nailah lesu, sembari melambaikan tangan pada salah satu mbak penjualnya. Lalu segera memesan makanan.
Sambil menunggu pesanan jadi, Nailah melirik rekan kerjanya yang baru dia kenal.
“Mbak Louis, Mbak Utami memangnya karyawan baru itu harus menghadap CEO kah? Bukankah cukup dengan pihak HRD lalu dengan manajer langsung, tidak perlu ke CEO?”
Louis yang baru saja meneguk es teh manisnya langsung memperhatikan Nailah yang duduk di seberangnya. “Sebenarnya memang karyawan yang berada di level staf jarang sekali bertemu atau berinteraksi dengan CEO, kecuali office boy yang berada di lantai 10. Sebenarnya saya juga heran, kenapa kamu harus menghadap Pak Keenan padahal kamu hanya staf keuangan bukan selevel manajer.”
“Mungkin gak sih kalau sekarang staf bisa sering dipanggil sama Pak Keenan, saya juga kepengen dipanggil sama pak CEO yang ganteng itu, lumayan bisa cuci mata setelah melihat angka-angka di komputer,” timpal Utami dengan wajahnya yang berseri-seri.
Nailah justru tergidik membayangkannya. “Andaikan bisa tukaran, saya mau kok Mbak Utami yang gantiin saya menghadap Pak Keenan. Jujur saya takut, apalagi saya belum punya bahan pekerjaan yang akan dilaporkan kepada beliau,” keluh Nailah, lalu dia meneguk air mineral yang dia sempat ambil di lemari stokist.
“Hadapi ajalah dulu Nai, jika memang menyangkut pekerjaan ya jawab semampu kamu. Cuma saya ingatkan bertingkah sewajarnya, Pak Keenan tidak suka melihat karyawannya genit padanya, bisa ditendang dari perusahaan.” Luis kembali mengingatkan berbarengan dengan kedatangan pesanan makan siang mereka bertiga.
“Benar Nai, kalau kita suka diam-diam aja, beliau udah ada yang punya. Yang punya-nya pencemburu berat, jadi harus hati-hati juga di sini,” sambung Utami.
Nailah hanya bisa pasrah kalau begini, jika pada akhirnya harus tetap menghadapinya, tapi untuk masalah genit atau menggoda atasannya itu jelas tidak ada di kamus hidupnya. Sudah terlalu sakit dia dikhianati oleh mantan suaminya, dan sudah cukup berurusan dengan kata cinta dan rumah tangga. Konsentrasi dia dalam bekerja adalah untuk mengobati rasa sakitnya tersebut, dengan menyibukkan dirinya, walau hatinya sebenarnya sangat rapuh karena kehilangan buah hatinya, bukan hanya sekedar diselingkuhi.
Jarum menit terus berjalan, tak terasa mengobrol sambil makan siang membuat lupa waktu, dilihatlah jam sudah mendekati pukul 1 siang, Nailah bergegas mengekori Luis dan Utami yang terlebih dahulu menuju mushallah untuk menunaikan sholat dzuhur, setelah itu baru kembali ke ruangan.
Sementara itu di ruang CEO, Keenan baru saja menyelesaikan makan siangnya di ruangannya sembari membaca CV milik Nailah Kanissa.
“Usia 25 tahun, status janda ... What!” Agak tercengang Keenan membaca profilnya.
“Masih muda sudah menikah dan sudah jadi janda ... ck!” Ini antara memiliki praduga positif atau negatif. Lanjut Keenan membuka lampiran berikutnya yang terdapat fotocopy ijazah S1-nya.
“Lulusan fakultas ekonomi – jurusan Akuntansi ... Universitas Negeri ... mmm lumayan,” gumam Keenan sendiri, sembari membaca nilai-nilai yang diperoleh Nailah selama kuliahnya.
Tak lama, pintu ruangan CEO terketuk, dan terlihat Thomas membuka pintu ruangan bosnya.
“Permisi Pak Keenan, Nailah sudah datang ingin menemui Bapak. Di suruh menunggu dulu atau langsung diminta masuk?” tanya Thomas.
Keenan melirik sejenak dan terlihat di bibir pintu pas di belakang keberadaan Thomas, ada Nailah yang menundukkan kepalanya.
“Suruh masuk!” perintah Keenan sembari melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan waktu 13:10 wib.
Mendengar dirinya sudah disuruh masuk, jantung Nailah semakin kencang degup jantungnya serasa mau masuk ke kandang macan, apalagi dia melihat Keenan dengan wajah angkuhnya berpindah tempat dari meja makan menuju kursi kebesarannya.
“Ya Allah lindungilah aku, semoga aku tidak diterkamnya,” doa Nailah dalam batinnya, bersamaan kakinya melangkah masuk ke ruang CEO yang begitu LUX.