Dua jam dilalui dengan kesunyian bak kuburan di malam hari, hanya suara kertas-kertas yang silih berganti dibolak balik untuk diinput di laptop yang sudah disediakan oleh Keenan. Serta dentingan jemari yang bermain lincah di atas tuts laptop.
Kedua orang yang berbeda jenis kelamin itu terlihat sibuk dengan masing-masing pekerjaannya, entah benaran sibuk atau sekedar pura-pura saja. Namun yang jelas buat Nailah ya serius mengerjakan, walau dirinya tidak nyaman bekerja di atas meja yang sama dengan Keenan, dengan posisi saling berhadap-hadapan. Andaikan Nailah masih anak gadis, mungkin saat ini jantungnya sudah kelojotan, panas dingin karena satu ruangan dengan sosok pria idaman para wanita. Untung saja Nailah biasa saja, dia jantungan karena yang dia hadapi adalah CEO bukan karena kegantengannya.
Padahal di sisi lain, masih di dalam ruangan Keenan yang begitu luas dan super mewah, ada sofa bisa menjadi pilihan dia untuk mengerjakan tugasnya di sana, namun Keenan melarangnya. Ingat perintah atasan harus dipatuhi! Entah maksudnya apa, Nailah tidak mau memikirkannya.
Dibalik tatapan Keenan di depan layar komputernya, diam-diam ujung ekornya netranya melirik Nailah, yang sejak tadi tidak bersuara, dan hal itu membuat Keenan agak galau, setahu dia Nailah kalau sudah bicara akan mencerocos sepanjang jalan kenangan. Ah, kenapa dia harus memikirkannya wanita itu.
Dalam kesunyian tersebut, tiba-tiba saja pintu ruangan terketuk, suara hendel pintu pun terdengar ada yang membukanya.
“Selamat sore, Sayangku ... Kak Keenan,” sapa wanita yang baru saja menyembulkan kepalanya, lalu menunjukkan dirinya dengan kecantikan yang sangat paripurna.
Keenan mendongakkan pandangan ke arah pintu, sementara Nailah yang turut mendengar suara merdu tersebut menoleh ke belakang. Wanita itu tampak mengulas senyum tipisnya bersamaan dengan langkah kaki anggunnya, namun ada sorot tidak menyukai kehadiran Nailah yang berada di ruangan Keenan.
“Maaf Kak Keenan, aku tidak tahu kalau sedang sibuk,” ucap Chintya pura-pura bersalah, saat mendekati meja lalu dia mengecup pipi Keenan di depan Nailah.
Keenan mendesah, lalu meletakkan dokumen yang dia pegang, kemudian sedikit melirik Nailah yang saat ini pura-pura tidak melihatnya.
“Aku sedang sibuk, seharusnya kalau mau ke sini kabari aku dulu,” jawab Keenan dingin.
Wanita yang dibalut dengan pakaian yang bermerek itu kembali tersenyum hangat, lalu dia meletakkan cup minuman beserta kotak kue yang dia pegang ke atas meja. “Aku bosan di mansion, jadi aku mau menemani Kak Keenan di kantor sekalian aku bawakan kopi kesukaan Kakak,” ucap Chintya lembut, lalu mengalihkan pandangannya pada wanita yang masih terlihat mengerjakan pekerjaannya.
“Mmm.” Hanya gumaman yang keluar dari mulut Keenan, padahal hatinya tidak menyukai kedatangan tunangannya.
“Kak Keenan, wanita ini siapa? Karyawan baru kah?”
Nailah mendongakkan wajahnya saat dirinya dipertanyakan.
“Ya, karyawan baru di sini.”
“Hai, kenalkan aku Chintya istrinya Kak Keenan,” sapa Chintya dengan mengulurkan tangannya, sungguh terlihat ramah. Keenan langsung menatap kesal pada Chintya, tapi tak bisa meralat pernyataan Chintya, yang sesungguhnya hanyalah tunangannya.
Nailah saat itu juga beranjak dari duduknya, lalu menyambut tangan wanita cantik itu. “Saya Nailah Bu, karyawan baru di sini,” balas Nailah ramah dan sopan.
Mengetahui wanita itu adalah istrinya Keenan, Nailah terlihat tidak terkejut, biasa saja, karena sejak awal dengan melihat raut wajah Keenan menduga pasti sudah menikah, hanya saja tidak menyangka jika istrinya masih terlihat muda, perkiraannya mungkin seumuran dengannya, sama-sama usia 25 tahun.
“Sepertinya sedang banyak pekerjaannya, silakan dilanjutkan, aku akan menunggu di sana. Dan jangan merasa terganggu,” ucap Chintya, masih menunjukkan keramahannya pada karyawan calon suaminya.
“Oh ... iya Bu Chintya, terima kasih.”
Nailah belum kembali duduk, namun melihat pekerjaannya yang masih tinggal sedikit lagi akan selesai, tapi hatinya tambah segan dengan keberadaannya di sini.
“Maaf Pak Keenan, sepertinya saya akan melanjutkannya di ruangan saja, jika sudah selesai saya akan segera memberikan laporannya,” ucap Nailah, bukankah ini kesempatan buat dia untuk keluar dari ruangan. Tangannya sudah mulai bergerak menutup binder, dan sudah mau mengangkat laptop tersebut.
Keenan memicingkan netranya pada Nailah, ingin rasanya mau menegur kasar akan tetapi tertahan dengan kehadiran Chintya. Yang ada dia hanya menunjukkan wajah tidak persetujuannya.
“Saya tidak mau mengganggu Bapak dengan Ibu,” lanjut kata Nailah.
“Duduk kembali! dan jangan pakai alasan, selesaikan!” perintah Keenan pelan namun penuh penekanan.
“Ta—“
Tidak perlu Nailah melanjutkan kalimatnya, dan sorot netra elang Keenan saja sudah tersirat jika dirinya tidak boleh membantah perintahnya. Terpaksa dia kembali menghempaskan dirinya ke tempat semula, dengan tarikan napas kecewa.
“Ck ... padahal ada istrinya di sini! Di mana-mana pasangan itu ingin berduaan jika bertemu, tidak ingin diganggu dengan kehadiran orang lain,” gerutu batin Nailah. Tapi, tiba-tiba dia teringat kejadian di saat memergoki suaminya berzina dengan Sarah. Mungkinkah Chintya merasakan hal yang sama seperti dirinya dulu? Semoga tidak! Dia di sini bekerja bukan ingin menjadi pelakor.
Nailah mengusap ujung ekor netranya yang hampir saja meneteskan buliran bening karena hal itu, dan samar-samar gerakan itu diperhatikan oleh Keenan.
Sementara itu Chintya yang sudah duduk di sofa, dia juga memperhatikan gerak gerik Nailah bersama Keenan, memang tidak terlalu banyak interaksi antara mereka berdua. Tapi buat Chintya ini hal yang aneh, hampir tidak pernah Keenan berduaan di dengan karyawan wanita di dalam ruangannya, kalau adapun itu dalam keadaan meeting dengan banyak orang, dengan sekretarisnya saja paling lama 10 menit, itu pun ada Thomas.
“Sayang, jangan lupa kopinya diminum keburu dingin,” pinta Chintya dari tempat duduknya.
“Ya,” jawab singkat Keenan, tapi tidak menggubris cup kopi tersebut.
Chintya hanya bisa menarik napas dalam ketika melihat tunangannya tidak menyentuh bawaannya, dan selalu seperti itu, tapi dia tidak pantang menyerah untuk memberikan perhatian pada Keenan agar cintanya terbalaskan oleh pria itu.
Lama berada di ruangan Keenan, tanpa disuguhkan air minum, tenggorokan Nailah berasa kering kehausan, terakhir minum saat jam istirahat. Dia kembali menatap wajah Keenan yang terlihat serius di depan layar komputer.
“Pak Keenan, saya izin ke ruangan dulu mau ambil minum,” pinta Nailah sopan.
Pria itu tidak menjawab justru mengambil gagang telepon yang ada di mejanya.
“Ambilkan minum, bawa ke sini!” perintah Keenan, entah pada siapa dia berkata saat menelepon.
Nailah jadi terpaku mendengarnya, dirinya benar-benar dibuat tidak boleh keluar dari ruangan Keenan.
“Nanti ada yang antar minum.” Sekarang Keenan berkata kepada Nailah tanpa menatap wanita itu.
“Ya Pak, terima kasih.”
Nailah mendesah, dibuat tak bisa bergerak ke mana pun, dia hanya bisa memelas dan tak sengaja dirinya saling bertemu pandang dengan Chintya, dan terlihat wanita itu tersenyum pahit ketika menatapnya.
“Duh, kalau kayak begini pasti Bu Chintya menduga yang aneh-aneh padaku. Kenapa juga si Bos kayak begini!” memelas batin Nailah.
Tanpa sepengetahuan Nailah, Keenan memang sengaja menahan Nailah agar tetap berada di ruangannya, karena dia sendiri sedang malas menanggapi Chintya, setidaknya sampai jam pulang kerja tiba masih ada Nailah di ruangannya. Kasihan Nailah jadi tumbalnya Keenan.