Bab 6. Janda muda

1146 Kata
Dua bulan kemudian ... Pengadilan Agama Palu hakim sudah terketuk sampai 3x, segala proses hingga terketuknya palu hakim akhirnya telah terlewati. Status Nailah kini sudah resmi berubah menjadi seorang janda muda di usianya yang sebentar lagi memasuki angka 25 tahun. Miris jika memikirkannya. Wanita itu nampak menundukkan kepalanya saat masih duduk di bangku depan meja hakim, tarikan napasnya berulang kali dia lakukan demi upaya menahan dirinya untuk tidak menangis. Mau bagaimana pun dia pernah hidup bersama Haidar dalam keharmonisan rumah tangga, yang ternyata palsu. Sementara Haidar menatap mantan istrinya ketika dia bangkit dari duduknya, lalu langkah kakinya mendekati keberadaan Nailah. “Keinginanmu sudah terwujud! Memangnya kamu bisa hidup tanpaku? Ditambah kamu tidak punya uang untuk biaya hidupmu sehari-hari! Selama ini kebutuhan hidup kamu aku yang penuhi,” celetuk sindir Haidar pelan. Wajah yang semula menunduk sekarang mendongak, dengan netranya yang berembun dia menatap lekat wajah tampan mantan suaminya. Selama 3 tahun ini kebutuhan hidupnya memang selalu terpenuhi oleh Haidar, karena itu tanggung jawab Haidar sebagai suami. Dulu dia sempat bekerja selama 6 bulan sebelum menikah, namun di saat sudah menikah Haidar melarang keras Nailah bekerja, dan sebagai istri yang baik perintah suami dia lakukan.Tapi ternyata larangan tersebut ada maksud dibalik batu. Nailah dibuat ketergantungan pada Haidar, pikirnya jika suatu saat perselingkuhannya ketahuan Nailah tetap akan memaafkannya dan tetap menjadi istrinya. Namun, kenyataannya jauh dari ekspektasi Haidar. Wanita itu memilih bercerai darinya. “Kenapa aku harus takut hidup tanpamu, Mas! Burung saja selalu bisa makan tiap hari tanpa dipelihara, lantas kenapa aku harus khawatir dengan rezekiku. Aku bisa hidup tanpamu!” Nailah menjawab dengan tegasnya. Pria itu berdecak. “Omong kosong! Paling kamu cari pria lain untuk dijadikan suamimu!” Sontak saja Nailah berdiri menghadap mantan suaminya, salah satu tangannya sudah terkepal erat, ingin rasanya dia mengerakkan tangan ke udara, namun dia mencoba menahan. “Terima kasih atas pikiran picikmu itu Mas. Padahal dia sendiri yang mungkin akan menikah duluan. Oh ... pasti akan menikah dengan Sarah’kan yang selalu memuaskan Mas di atas ranjang!” ucap sinis Nailah, lalu dia melangkahkan kakinya. Namun, Haidar mencekal pergelangan tangan mantan istrinya, Nailah pun menolehkan wajahnya. “Aku menunggu kamu meminta kembali padaku. Aku yakin kamu tidak bisa hidup tanpaku.” Nailah memutar malas kedua bola matanya bersamaan dengan decak kesalnya, lalu dia menyentak tangan Haidar. “Mimpi saja kamu, Mas! Aku tidak akan pernah minta kembali dengan pria b***t sepertimu!” jawab Nailah tegas, lalu kembali melangkahkan kakinya secepat mungkin. “Aku yakin, kamu akan kembali padaku, Nailah!” gumam Haidar sendiri, tatapannya tetap tertuju pada mantan istrinya tersebut hingga keluar dari tempat persidangan. Di luar ruang sidang tampak Elsa dan Bu Salwa menyambut Nailah. “Akhirnya status kamu sudah berubah,” ucap Elsa sembari menggamit lengan sahabatnya. “Ya, akhirnya.” Nailah mencoba untuk tersenyum kepada Elsa dan Bu Salwa walau masih ada pergolakan hati yang berkecamuk di sanubarinya. “Kayaknya makan yang pedas-pedas enak nih, bagaimana kalau kita mampir makan bakso rusuk Bu, Elsa?” tanya Nailah yang sedang mencari pengalihan perhatian dirinya sendiri. “Ide yang cemerlang, aku juga udah lama gak makan bakso rusuk. Yukklah.” Elsa menyetujuinya, sementara Bu Salwa hanya menganggukkan ikutan saja. Jadilah mereka bertiga ke tempat bakso, namun sebelumnya Nailah harus berpamitan pada pengacaranya yang sudah banyak membantunya, apalagi dia tidak mengeluarkan biaya sedikit pun karena dia kenal pengacara tersebut dari Lembaga Bantuan Hukum. “Jika Ibu butuh bantuan kembali, saya siap membantu, kalau berminat mencari pekerjaan bisa tanyakan ke saya,” ucap Theo tulus. “Terima kasih banyak atas bantuannya selama ini Pak Theo, saya tidak akan lupa atas jasa-jasanya.” *** Resto Bakso Rusuk. “Jadi ke depannya kamu mau ngapain, Nailah?” tanya Elsa di sela-sela menikmati baskonya. Nailah yang masih ribet dengan botol saos, botol kecap dan sambal untuk memperlezat rasa baksonya, meluruskan pandangannya. “Mungkin pengen coba ngelamar kerja, kalau hidup hanya mengandalkan dari uang mut’ah pasti akan tetap habis juga. Bagaimana Bu, aku bolehkan kembali bekerja?” tanya Nailah pada ibunya. Bu Salwa menarik sendok nya yang semula ingin dia masukkan dalam mulutnya. “Ibu tidak pernah melarangmu untuk bekerja Nailah, waktu kamu lulus kuliah saja Ibu senang kok lihat kamu langsung bekerja, asal pekerjaanmu halal.” Nailah manggut-manggut sembari mencoba kuah baksonya. “Tapi cari kerja itu susah loh sekarang Nailah, apalagi kalau gak ada orang dalam. Harus sabar,” sambung Elsa. “Ya mau bagaimana lagi Elsa, yang penting usaha dulu, mencari sampai dapat. Kalau begitu besok aku coba cari lowongan dulu di jobstreet. Tapi kalau di tempat kerja kamu ada lowongan kasih tahu aku ya.” Elsa mengacungkan jempolnya, karena mulutnya sudah dengan sebutir bakso. Kehidupan baru dengan status baru, kini Nailah harus menyongsong masa depannya. Masa lalu biarlah menjadi sebuah masa lalu yang tak perlu lagi dikenang, sudah waktunya dia berubah mindsetnya. Seperti saat ini yang dia lakukan. Setelah dia mendapatkan uang mut'ah sebesar 100 juta dari Haidar. Dia mengajak Elsa ke salah satu mall terdekat, dia memasuki departemen store untuk membeli beberapa setel pakaian untuk nanti dia bekerja dengan harga yang terjangkau, dan tak lupa dia membeli beberapa produk skincare, make up. Ingat ya wanita kalau sudah patah hati atau hatinya terluka pasti akan semakin cetar membahana penampilannya. Nailah tampak menikmati memilih pakaian di rak gantung sembari menyesap ice chocolatenya yang sempat dia beli di tempat jual donut. “Elsa, kalau ada yang disukai ambil aja, nanti sekalian bayarnya sama punyaku.” Elsa melirik sahabatnya. “Yee masa uang janda aku ikutan nikmati juga sih, gak usah, kayak kamu orang kaya aja,” celetuk Elsa menolak. “Aamiin doaiin aja aku jadi orang kaya, udah pilih aja yang kamu sukai tapi harganya jangan lebih dari 500 ribu ya, anggap aja upah kamu telah temeni aku belanja,” balas Nailah sembari mengerlingkan salah satu matanya. Elsa hanya menggeleng-geleng. “Oke lah kalau begitu.” Elsa pun memisahkan diri menuju rak baju yang lain. Sedangkan Nailah kembali serius mencari kebutuhannya. Tanpa disadari oleh Nailah, pria yang 2 bulan lalu tak sengaja bertemu terlihat serius mendengar penjelasan head departemen store, keberadaannya tidak jauh dari posisi Nailah. Sembari mendengar, Keenan memperhatikan rak pajangan yang terisi dengan baju-baju wanita, hingga tak tahu jika ... BUGH! “HAH!” Nailah dan Keenan sama-sama menatap ke arah lantai di mana cup ice chocolate milik Nailah tergeletak, lalu mereka berdua sama-sama mengangkat wajahnya, kemudian sama-sama membulatkan netranya. “KAMU!” “BAPAK!” Wajah Keenan sudah kena percikan ice chocolatenya hingga turun ke jas berwarna abu-abunya tersebut. “OW ... kenapa bisa bertemu lagi,” gumam Nailah sendiri, sedikit berbisik. “Sialan! Kenapa kena siram lagi!” gerutu Keenan, dia menatap kesal sembari menghembuskan napasnya. “Ma-maaf Pak.” Dibalik melihat sorot tajam pria yang tidak dikenalnya itu, Nailah berusaha nyengir kuda. “Aarrghh!” Gregetan Keenan. Keenan mencekal pergelangan tangan Nailah, dan menariknya sekuat mungkin. “Pak, saya mau dibawa ke mana!!” teriak Nailah kebingungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN