Bab 06. Tidak Enak Badan

1070 Kata
Ini sudah yang ke satu bulan, telah terlewati masa di mana Gendis frustrasi akan hilangnya sesuatu yang berharga di dalam tubuh karena seorang yang sangat ia percaya. Namun, ia masih mampu menjalani kehidupan seperti biasa, dengan cara melupakan dan mencoba menerima dengan ikhlas. "Dis, saya ke luar kota malam ini. Nanti suami saya pulang dari London kamu siapkan semua keperluannya ya, seperti biasa!" "Baik Buk. Kira-kira sampai berapa hari Ibu pergi?" balas Gendis dengan gagang sapu di tangannya. "Cuma seminggu. Kamu baik-baik ya!" "Iya Buk, hati-hati!" Berselang kepergian sang majikan perempuan itu, kini bergantian dengan majikan laki-lakinya. "Mobil Bapak sudah di bagasi. Kenapa aku takut begini kalau ibu pergi," gumam Gendis. Waktu sebulan lamanya, Gendis berangsur-angsur memulihkan perasaan kecewa dan marah, demi pekerjaan tetap berlanjut. Meski yang hilang adalah sesuatu yang paling berharga, ia mampu menerima. Semua karena hati dan pikirannya sudah berdamai dan mencoba menjalani hidup seperti biasa. "Semoga selama satu bulan berlalu kejadian itu, kita seperti biasa lagi. Aku harus profesional!" Gendis menguatkan hatinya. Kini, wajah pria yang berhasil merenggut hak suaminya sudah di depan mata. Langkahnya yang begitu elegan tampak gagah dengan tas yang ia pegang. Dengan kaku Gendis menyambut sembari menunduk. Mendadak jantungnya berdegup. "Pak ...." Kini tatapan teduhnya tersorot untuk wajah Gendis yang masih enggan mendongak. Perempuan tersebut merasakan tatapan itu begitu kuat, hingga akhirnya ia balas melihat. "Hmm!" Tak disangka respon singkat tak berkalimat itu yang didapat oleh Gendis. "Ibu pergi ke luar kota, katanya selama satu Minggu. Mau mandi, air hangat sudah saya siapkan, mau makan di meja sudah tersedia, butuh bantuan bisa panggil saya!" Ucapan Gendis yang melayani dengan formal seperti itu membuat Elwin menatapnya semakin dalam, tetapi terlihat begitu sayu. "Saya mau tanya kamu aja, bagaimana?" Gendis kembali menunduk, tidak ingin merespons. Sampai, Elwin kembali berbicara dengan mendekatinya. "Kamu sudah tidak marah dengan saya, Gendis?" Sapuan napasnya begitu terasa, d**a Gendis bergelayar mendengar bisikan yang membuat kikuk itu. "Maafkan saya!" *** Keesokan pagi. Sesosok gadis remaja dengan adiknya sedang menunggu sang papa hadir di meja makan. "Bik, jangan karena dienakin mama, Bibik sesuka hati duduk di bangku bareng kita. Nanti kalau papa suruh temani kayak biasa, ditolak aja. Gak etis diliatnya pembantu sama majikan satu meja!" Ujaran yang terdengar ketus itu menjadi peringatan bagi Gendis, bahwa di rumah ini tidak semua orang-orangnya baik. "Saya lebih dewasa, untuk hal seperti itu gak mungkin saya gak paham!" balas Gendis dengan lembut. "Semakin dewasa, semakin gencar menggoda. Setau aku begitu cara orang miskin cari uang." Begitu santainya Mora memainkan ponsel saat ia berbalas kata-katanya jahatnya kepada Gendis. "Tantangan mentalku cuma ada di anak ini, tapi aku punya sabar dan senyum yang banyak," batin Gendis. Tak lama kemudian, Elwin datang dengan pakaian kerjanya. Pertama-tama ia menghampiri sang putri kedua untuk mencium, lalu bergantian dengan anak sulungnya. "Morning, sayang-sayangku!" Dengan sumringah Elwin menyapa. "Molning Papah!" balas Ninu yang saat itu tengah asik menyedot selai di ibu jarinya. "Kok sayang-sayangku, si? Berarti sama Bibik dong!" Berbeda dengan respon Mora, ia sengaja memancing ekspresi Gendis untuk dilihat. "Sayang itu untuk semua, jadi yaaa gak apa-apa lah!" balas Elwin sedang memandangi wajah pembantunya yang tengah menyiapkan roti. "Majikan sayang pembantu keren juga. Mungkin, besok bisa saja majikan cinta pembantu, ah atau, pembantu menggoda majikan!" Seketika Elwin menatap putrinya. "Papa baru pulang, bisa bahas yang penting-penting saja?" "Okey ... aku berangkat sekarang, biar kalian ada waktu berdua!" Setelah menenggak s**u, Mora benar-benar melangkah keluar rumah. Kini tinggal Elwin yang merasa tidak enak dengan pembantunya. "Tolong jang—" "Santai Pak, gak apa-apa!" sela Gendis. "Terima kasih!" Elwin berusaha mengusap tangan Gendis seperti biasa saat ia tersenyum untuk meminta maaf. Namun, kali ini belum sempat ia menyentuh, Gendis sudah lebih dulu pergi. Meski hubungan antara keduanya baik-baik saja, tapi mereka telah berubah. "Kamu bilang sudah tidak marah, tapi aku rasa kemarahan kamu masih ada. Aku sadar, tidak mungkin mudah dimaafkan dari wanita yang sudah kurenggut paksa kesuciannya," batin Elwin. *** Malam hari. Gendis mendengar kabar kalau pria yang dulu dijodohkan dengannya, pagi tadi sudah melangsungkan pernikahan. Cukup lega karena tidak ada tuntutan setelah ia resmi membatalkan. Ia hanya takut jika semua keputusannya berimbas pada sang budhe di kampung. "Aku rindu budhe, semoga ada izin pulang setelah ibu kembali nanti," gumam Gendis. Ia sedang memandangi foto satu keluarga yang ia tempel di dinding sana. Di sela keasikan itu, tiba-tiba Gendis merasa sesuatu yang keluar dari organ intinya, ia menyadari sesuatu hingga menyempatkan diri untuk melihat kalender yang terpajang di samping album keluarga. "Ah, akhirnya aku menstruasi, sudah telat banget!" Karena sudah malam, Gendis bersiap menggosok gigi dan treatment sebelum tidur, sekaligus ia mengecek apakah ia benar-benar menstruasi. Namun, sebelum kegiatan itu ia lakukan Gendis lebih dulu mengeceknya sekalian ia buang air kecil. "Lohh bukan haid ternyata, cuma keputihan. Astaga ... ini udah telat banget, aku takut penyakit," gumam Gendis. Seketika rasa panik di hatinya tercipta. Seberusaha mungkin ia buat suasana hatinya tenang. "Okey ... sabar ... ini hal biasa, kalau sampai awal bulan aku belum juga mens, aku bakal periksa nanti!" Sudah seperti itu, ia tetap tidur meski pikiran negatif di kepalanya tidak nyaman. Sampai di keesokan pagi. Pagi-pagi Elwin terheran, pasalnya di saat bangun pagi yang seharusnya disediakan air hangat, pakaian kerja, dan kebutuhan lain seperti biasa, hari ini tidak ada sama sekali. "Marah ya marah, tapi pekerjaan tetap pekerjaan. Aku tidak dilayani seperti ini, sama saja tidak punya pembantu!" Elwin kesal lantaran ia mengira Gendis tidak mau bekerja karena kemarahannya. Alhasil pria itu keluar kamar dengan masih menggunakan lilitan handuk di pinggang. Jelas menjadi pusat perhatian orang-orang rumah. "Pak, ada apa?" tanya kepala pelayan saat melihat majikannya berjalan dengan aura kekesalan. "Di mana Gendis? Apa dia telat bangun?" "Memangnya ada apa, Pak? Apa dia buat kesalahan?" "Ini sudah jam berapa? Saya belum disiapkan apa-apa!" gertak Elwin. "Astaga, maaf Pak saya kira dia sudah bangun. Baiklah biar saya hampiri dia!" Baru ingin kepala pelayan tersebut bertindak, Elwin tiba-tiba menyela langkahnya. "Biar aku saja!" Elwin berjalan menuju kamar Gendis, ia ingin melihat secara langsung sedang apa maid itu sampai kewajibannya sebagai pekerja tidak dilakukan. Sudah jalan terburu-buru, membuka pintu pun dengan kasar, tiba-tiba ia merasa bersalah karena melihat Gendis sedang batuk-batuk di sisi ranjang. Gendis pun kaget ada seseorang membuka pintu kamarnya dengan sangat keras. "Bapak?" "Kamu kenapa?" Elwin menghampiri tanpa merasa canggung karena kondisi tubuhnya. Ia langsung memegang tangan Gendis yang saat itu sedang mengusap-usap d**a. "Cuma gak enak badan, Pak!" "Muntah-muntah?" tanya Elwin dengan ekspresi ragu disertai rasa takut. "Iya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN