Menjadi suatu penyesalan bagi seorang Gendis yang ceroboh tidak mengunci pintu, semua bermula karena pintunya terbuka hingga dimasuki manusia tak berperasaan yang hanya ingin menyalurkan nafsu bejatnya.
"Bagaimana nanti bilangnya sama budhe aku sudah dirusak begini?!"
Sudah dini hari, Gendis masih menangis di bawah selimut yang menjadi pelindung badan polosnya. Ia meringkuk memunggungi pria yang telah puas menjamah dan merasakan tubuhnya. Malam ini adalah terakhir Gendis menjadi anak perawan.
Perlawanannya semalam tidak dapat mempertahankan kesucian. Tubuhnya yang kecil tak sebanding dengan badan besar Elwin yang memiliki tenaga jauh lebih kuat, terlebih saat menyadari jika pria itu ternyata sedang mabuk. Gendis pun pasrah, kesadarannya hilang di saat Elwin masih menggagahinya.
"Maafin Gendis, budhe. Aku jadi korban nafsu majikan yang sedang mabuk. Kalau begini jadinya, Gendis malu untuk pulang!"
Takdir sudah tidak bisa dihindari, mau bagaimana pun kenyataannya gadis itu bukan lagi seorang gadis.
***
Keesokan pagi, Bella pulang dalam kondisi kesal tak karuan. Ia ingin segera mengamuk, tetapi saat melihat pembantunya ia meredup dan justru tersenyum hangat.
"Gendis ...."
"Ibu!" Gendis langsung memeluk perempuan itu sekencang mungkin, tanpa pikir lagi jika ia adalah seorang pembantu.
Gendis menangis, sampai Bella begitu erat membalas pelukannya. "Hei ... kenapa?"
"Maafin Gendis ya Buk, Gendis gak sopan peluk ibu kayak gini!" Perempuan itu melepaskan rengkuhannya, ia menyadari perbuatannya salah. "Gendis mau pamit pulang!"
"Kamu kenapa? Ayo cepat cerita, apa ada yang menyakitimu? Atau, karena lelah bekerja?"
"Untuk pengunduran diri Gendis minta maaf gak bisa lama jadi pembantu Ibu, tolong beri izin!"
Bella menggeleng seakan tidak setuju dan menentang kuat permintaan pembantunya tersebut. Ia menahan agar perempuan itu tetap berada di posisinya.
"Saya akan kumpulkan semua pekerja kalau kamu gak mau cerita. Tolong, tolong sekali, jangan seperti ini. Saya gak mau kamu pergi!"
"Gak ada apa-apa sama mereka Buk, Gendis cuma mau pulang. Gendis mau menikah di kampung!"
"Saya bisa hubungi budhe kamu untuk mengundurkan waktu pernikahan!" Ya, hanya Bella yang diwajarkan Gendis bisa mengatur seperti itu. Karena Bella orang yang paling peduli melebihi orang tua. "Saya masih butuh kamu, tolong jangan pulang dulu ya, Sayang!"
"Andai ibu tau, bagaimana perasaannya nanti? Orang sebaik dia aku khianati hanya karena perbuatan suami biadabnya," batin Gendis.
"Gendis ayo pikirkan baik-baik lagi, kamu masih terlalu muda untuk berumah tangga. Aku pasti yakin keluargamu di kampung bisa kubujuk kalau seandainya aku datangi mereka. Aku bisa bayar berapa pun mereka demi kamu bertahan di sini!"
Lagi-lagi Gendis hanya bisa menunduk dengan air mata yang tak henti-henti berjatuhan. Sampai pundaknya direngkuh, Gendis melemah dalam pelukan majikannya.
"Ibu Bella terlalu baik, aku malu mengingat bagaimana perbuatan suaminya. Kalau aku bertahan aku trauma lihat pak Elwin, tapi kalau pergi bagaimana menjelaskannya dengan budhe? Budhe selalu tau apa yang aku rasakan, meski cuma melihat wajahku," batin Gendis.
"Saya bisa saja cari pengganti kamu Dis, bahkan sekarang juga, tapi saya gak sepenuhnya percaya kalau orang baru bisa seperti kamu! Saya juga gak yakin bakal dapat yang kayak kamu lagi. Tetap di sini ya Dis, biar nanti saya yang berkunjung ke kampung!"
"Jangan Buk, jangan repot-repot ke kampung, Gendis masih mau kerja di sini kok, tapi ... Gendis minta pindah kamar ya, apa boleh?"
Seketika Bella tersenyum dan berpikir, "Kayaknya kamu cuma bermasalah di kamar ya? Kenapa gak bilang kalau gak nyaman, hmm? Mau pindah di mana pun kamu bebas Gendis, saya selalu beri fasilitas pekerja saya sesuai kenyamanannya!"
"Makasih ya Buk, cuma Ibu Bella Gendis seperti punya kakak atau bahkan orang tua!"
Akhirnya Bella memeluk pembantunya itu. Ia merasa kata-kata dan ajakannya tadi telah berhasil meluluhkan Gendis. "Karena kamu yatim-piatu Gendis, yang menjadi alasan saya kenapa saya memperlakukan kamu berbeda dari yang lain."
***
Malam hari ketika makan malam berlangsung, Gendis sudah merasa jika dirinya menjadi cecaran mata sang majikan. Namun, sebaik mungkin ia menjaga kenormalan demi keadaan, bertingkah seakan tidak terjadi apa-apa.
"Aku gak lihat Amora, ke mana dia? Semalam pun aku kabari kalau aku mau pulang, tapi gak dapat respon. Kenapa ya? Apa dia marah sama aku?"
Elwin sampai menurunkan sendoknya. Ia menatap sang istri dengan sayu. "Kamu tau? Apa saja yang terjadi di rumah karena kamu, Bella!"
"Ada apa, Mas? Kenapa aku?"
"Amora dapat permintaan dari pihak sekolah agar orang tuanya datang untuk rapat, sementara orang tuanya sendiri malah sibuk masing-masing. Apa kita gak ngerasa gagal jadi orang tua?"
Ucapan suaminya itu membuat Bella menunduk dan merasa sadar. "Maafkan aku, Mas!"
"Baiklah untuk urusan itu okay, aku anggap kecil, tapi asal kamu tau aku dan Gendis yang menjadi perwakilan, dan bahkan Gendis juga yang menjadi sasaran amukan anakmu itu! Sudah dibantu justru dimaki, cuma karena Gendis dianggap istri keduaku sama teman-temannya! Setidaknya walaupun sama bawahan, dia harus menghargai yang lebih tua. Anakmu keterlaluan Bella, itu semua akibat gak ada dukungan dari seorang ibu. Andai kita yang datang bukan Gendis, gak akan kayak gini jadinya!"
Tutur dari Elwin membuat Bella kaget, sampai ia menatap pembantunya dengan rasa tidak enak. "Gendis jadi ini alasan kamu menangis tadi? Tolong maafkan Amora, tapi saya yang bersalah, jadi tolong maafkan saya juga sampai terjadi seperti ini!"
"Gak apa-apa, Buk. Namanya juga anak-anak!"
Bella benar-benar merasa tidak enak, tetapi ia juga marah atas apa yang diperbuat oleh putrinya. "Di mana anak itu, sekarang?"
"Rumah mama kamu, ke mana lagi?" sahut Elwin dengan sinis. "Jangan marahi anaknya, tapi marahi diri kamu sendiri. Seharusnya sadar kalau pekerjaan itu sudah semestinya ditinggal, fokus saja sama mereka!"
Bella menunduk, merasa lemah dan tidak punya perlawanan. "Maafin aku Mas, aku gak bisa!"
Kemudian wanita tersebut membawa kunci mobil yang tergeletak di samping, ia memisahkan diri lalu pergi. Sudah dipastikan jika Bella akan menjemput putrinya.
Kini meninggalkan Elwin dan Gendis yang sudah waktunya mencuci piring bekas makan mereka. Namun, saat itu Elwin justru mencari keadaan sebagai celah mendekati pembantunya. Beruntung tidak ada siapa-siapa di sini.
"Gendis maafkan saya!" Elwin menahan tangan Gendis yang ingin memindahkan piring kotor ke dapur. "Semalam saya mabuk, saya minta jangan katakan semuanya dengan Bella!"
Gendis menatap marah, lalu ia tepis tangan Elwin yang berusaha merengkuhnya. "Saya juga gak mau ibu tau tentang kebejatan Bapak. Tanpa diingatkan saya sudah paham!"
"Bukan begitu Gendis, saya cuma takut kamu yang disalahkan. Bagaimana kedepannya nanti saya akan tanggung jawab. Kamu bisa katakan berapa yang harus saya bayar untuk perbuatan semalam?"
"Kurang ajar, Bapak pikir keperawanan saya layak dibayar dengan uang?" Gendis sampai menjatuhkan piring yang dipegang demi bisa menampar wajah Elwin.