Bab 07. Pregnant?

1046 Kata
Setelah mengusir majikannya dari kamar secara halus, kini kondisi Gendis semakin memburuk. "Telat makan dikit lambung, telat makan dikit drop, apa-apaan si punya badan lemah banget!" gerutu Gendis. Sudah tak terhitung berapa kali ia memuntahi isi perut ke dalam wastafel. Nasib baik, Elwin mengerti kondisinya meski sempat marah tadi. Saat ini pria itu sudah berangkat kerja dengan tanpa disiapkan olehnya. "Mual lagi!" Gendis sudah lelah karena cairannya terpaksa keluar semua. Ia benar-benar khawatir, takut ada sesuatu yang tidak baik di dalam tubuhnya. "Aku kenapa si? Capek kalau kayak gini terus, kayaknya mau gak mau aku harus periksa!" Gendis pun terburu-buru prepare, meski perutnya bergejolak, tubuhnya lemah seperti habis dibanting, belum lagi dengan kepala yang terus berdenyut seperti ditusuki. "Mbak, aku izin ke klinik ya. Gak enak badan!" Ucapan itu dilayangkan Gendis saat ia menemui sang kepala pelayan. "Lhoo kenapa gak panggil Dokter Farhan aja? Kamu beneran sakit, pucet banget!" Gendis langsung mendapat perhatian dari biang maid itu. Sejujurnya tersimpan rasa cemas, takut jika majikan mereka yang sedang keluar kota tahu kalau pembantu kesayangannya itu sakit. Semua pun tahu, mereka menganggap Gendis adalah pembantu yang tidak boleh lelah apalagi sakit, bagi mereka itu akan menyalahkan kinerja. "Enggak enak Mbak, dia kan, dokter pribadi. Lagian aku gak keburu nunggu dia datang, ini udah pusing banget. Kliniknya dekat, jadi lebih baik aku ke sana aja!" "Ya sudah, gimana nantinya aku minta kamu jangan dulu langsung lapor soal ini ke buk Bella, takut yang lain kena. Biar kita bantu kamu sembuh!" Gendis tersenyum palsu, ia mengerti kekhawatiran biang pelayan tersebut. "Tenang aja Mbak, aku bukan lagi anak baru yang apa-apa mengadu. Lagian soal kayak gini gak penting dia." "Kenyataannya gak seperti yang kamu bilang itu, Dis. Kita tau kamu yang paling disayang, meski perlakuan ibu baik, tapi perlakuannya untuk kamu jauh lebih baik." Gendis pun hanya mampu mengangguk, ia pun sadar jika itu memang benar. *** Sesampainya di sebuah klinik. Gendis tak berhenti mual disertai pusing dan batuk-batuk, bahkan sampai disaksikan pasien lain. "Kenapa Gendis?" Sudah sangat dikenal. Ya. Karena pembantu itu sudah berlangganan beberapa kali setiap dirinya sakit. "Bisa langsung periksa aja, Dok? Aku ngerasa aneh sama sakit kali ini!" Dokter cantik tersebut, memberikan senyum sebelum pengecekan tensi darah. Kemudian, Gendis diperiksa sampai keseriusannya terlihat. "Kamu masih kerja di rumah Buk Bella, kan?" Bukannya menjelaskan apa yang ia dapat setelah memeriksa, dokter itu justru melayangkan pertanyaan yang dirasa tidak penting bagi Gendis. "Dokter, apa itu penting dijawab? Aku butuh penjelasan, bukan pertanyaan!" Mood yang berantakan membuat Gendis sedikit lebih sensitif. "Iya saya paham, tapi sabar. Kita sudah kenal lama, saya tau kamu anak baik. Jadi, tolong jawab apa saja yang saya pertanyakan ya?!" Ternyata dokter tersebut jauh lebih tegas. Semua karena keakraban mereka sudah terjalin dari semenjak Gendis pertama bekerja di rumah Bella. "Kalau aku berhenti aku gak mungkin masih ada di sini," jawab Gendis. "Oh baiklah, jadi sejak kapan kamu menikah? Bisa tolong sebutkan tanggalnya? Saya cuma kaget aja." Mata Gendis mulai berkaca-kaca, ia menatap tajam penuh ancaman kepada dokter dua anak itu. Kembali gelisah, sampai perasaannya tak karuan. "Memangnya aku kenapa? Tolong jelaskan saja!" "Kamu hamil Gendis!" Seperti sebuah letupan gunung Merapi di dalam d**a, begitu dalam rasa keterkejutannya, sampai-sampai dokter tersebut bingung Gendis menangis haru atau menangis karena tidak senang. "Makanya saya tanya, kamu menikah kapan dan di tanggal berapa?" "Dokter, pasti salah ya? Aku gak mungkin hamil!" "Gendis, maksud kamu apa?" Raut dokter tersebut semakin bingung. Ia tidak menyangka dengan jawaban Gendis. "Kamu gak senang dengan kehamilan ini, atau ada sesuatu yang lain?" Gendis tidak menjawab, semua yang dikatakan dokter ia anggap sebuah kebohongan sampai akhirnya memutuskan untuk pulang tanpa berbicara apa-apa lagi. *** Saat kembali ke rumah, ia mendapati kepala pelayan menghadang dengan sesuatu yang mungkin ingin disampaikan. "Gendis, Bapak sudah pulang dia sekarang ada di kamar ka—" "Iya Mbak, nanti ya. Maaf aku buru-buru ke kamar, kepala aku masih pusing. Nanti aku bakal hampiri Bapak!" sela Gendis. Tampak begitu buru-buru sampai tidak sempat untuk mendengarkan ucapan sang kepala hingga selesai. Tadi, Gendis menyempatkan diri mampir ke minimarket untuk membeli sesuatu. Ia ingin membuktikan bahwa ucapan dokter itu benar-benar bohong. Sambil berjalan perempuan tersebut repot melihat isi testpack di tangannya, sampai memasuki kamar Gendis sudah sangat tidak sabaran, tetapi tiba-tiba dengan sigap ia menyembunyikan alat pengecek kehamilannya itu. "Ba-bapak ngapain di-di sini?" Kaget, melihat ada majikannya di dalam kamar, Gendis takut sekaligus heran kenapa pria itu bisa berada di biliknya. "Kesiniin tangan kamu!" "Gak mau! Maaf, tolong keluar dulu, nanti saya akan temui Bapak di kamar!" Posisi Gendis berpindah, ia semakin mundur karena ingin menghindari Elwin. "Apa salahnya saya tau yang kamu bawa itu!" "Salah! Karena ini privasi!" bantah Gendis. Bukannya mengalah, Elwin justru keras kepala dengan sengaja merenggut benda yang dibawa oleh Gendis, sampai pembantunya itu meringis karena mereka saling rebutan. Namun, percayalah Elwin yang memiliki tenaga lebih kuat, jadi sudah tentu tahu siapa yang menang. "Kamu sakit, tapi yang dibeli testpack, bukan obat?" Seketika ucapan itu diucapkan dengan tegas olehnya. "Ayo jelaskan, Gendis!" Gendis masih menunduk, ia enggan bercerita karena hal yang baru saja ia alami sangatlah menyakitkan. "Kamu hamil?!" Gendis menangis dengan membekap wajahnya. Elwin pun tidak tega, dan akhirnya menutup pintu kamar agar privasi mereka terjaga. Kini, pria itu menuntun pembantunya untuk duduk di ranjang. "Saya akan tanggung jawab karena itu anak saya!" Elwin memeluk Gendis, membantu menyeka air matanya. "Belum tentu Pak, saya belum mengeceknya!" sangkal Gendis. "Kalau belum dites kenapa kamu nangis? Kan, belum tentu gejala-gejala yang kamu rasain itu tanda kehamilan," balas Elwin. Padahal, ia sudah sangat menyimpulkan jika Gendis hamil, terlihat dari tangisannya yang sudah membuktikan "Karena saya sempat periksa ke dokter, jadi saya nangis. Tapi, saya gak percaya sama hasil pemeriksaan dia!" tutur Gendis dengan sangat polos. Elwin pun menghela napas dengan sabar. "Gak mungkin hasil pemeriksaan dokter itu salah, dia lebih tau!" "Tapi, saya tetep mau cek lagi!" Gendis merampas alat yang ia beli dari tangan Elwin. Kemudian, beranjak berdiri berniat ingin ke kamar mandi. "Baiklah, saya tunggu!" Namun, Gendis masih terlihat mematung, membaca-baca plastik testpack tersebut. Elwin pun bertanya, "Kenapa?" "Saya gak tau cara pakainya!" Seketika Elwin tersenyum. Sebegitu polosnya si pembantu seksinya itu, sampai di dalam kondisi seperti ini saja ia tetap terlihat lugu. Wajar, Gendis masih terbilang sangat muda, untuk menjadi dewasa saja ia belum sampai. "Biar saya temani!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN