Bab 08. Tidur Berdua

1033 Kata
Di dalam kamar, Elwin terus mondar-mandir sambil menunggu keluarnya garis dari testpack yang digunakan Gendis tadi. Ia sengaja membawanya karena saat ini pembantu itu sedang istirahat di kamarnya. Perasaan resah, sudah pasti ada. Ia memang mengaku akan tanggung jawab jika kenyataannya Gendis benar-benar hamil, tetapi tak bisa dipungkiri ini berat baginya. Jujur, Elwin merasa bingung dan gelisah. "Oh, astaga, benar hamil!" Ketika garis dua muncul di alat tersebut, Elwin terduduk lemas. "Faktanya memang sudah terlanjur seperti ini, kau mau berharap apa El? Astaga ... bagaimana caranya aku bertanggung jawab!" Elwin, mengusap wajahnya dengan gusar. Seketika ia mengingat bayang-bayang beberapa waktu silam saat di mana, ia baru merasakan lagi kenikmatan dunia dari seorang wanita. "Aku akan memiliki anak lagi, baiklah semua akan baik-baik saja!" Percayalah Elwin sedang menyakini dirinya, mencoba untuk setenang mungkin, agar pikiran dan hatinya berdamai. *** Makan malam sudah terhidang. Satu keluarga tanpa ibu atau istri telah kumpul menikmati sajian. "Bibik Didis ana?" tanya Ninu, seharian tadi anak itu belum mendapati pengasuh tersayangnya keluar dari kamar. "Maaf Nona kecil, Bik Gendis masih sakit. Mungkin beberapa hari ini dia tidak bisa merawatmu, nanti akan digantikan dengan Bik Caca!" ucap kepala pelayan, sebut saja namanya Ratih. "Ga au, Ninyu au sama bibik Didis!" "Anak Papah gak boleh gitu, bibik mana pun sama aja, okay?" Elwin memberikan senyuman agar putri bungsunya itu mengerti, meski masih terlihat raut wajah cemberutnya. Ia pun kembali pada Ratih. "Jangan biarkan Gendis bekerja dulu!" "Baik, Pak!" "Perhatian banget!" celetuk Amora. "Kenapa gak dipulangin aja dia ke kampung? Takutnya dia sakitnya itu bikin nular. Teman aku banyak teman pembantunya yang butuh pekerjaan!" "Justru yang Papa takutkan sifat dengkimu yang akan menular untuk orang lain!" balas Elwin, mampu membungkam mulut anaknya. Kini mereka sudah selesai mengisi perut sebelum bekerja dengan yang Amora sudah berangkat ke sekolahnya, sedangkan si adek sudah diajak bermain oleh pembantu lain. Tinggal Elwin yang bergegas untuk ke kantor. Namun, sebelum pergi ia menyempatkan diri untuk menengok keadaan Gendis di kamar. "Minum obatnya!" Gendis langsung menanggapi beberapa keping obat di tangan Elwin. Perempuan itu tampak terpaksa bangun karena melihat kedatangan majikannya. "Obat pereda mual!" Setelah meminumnya, Gendis menatap wajah Elwin dengan hati-hati. "Gimana hasilnya, Pak? Positif ya?" "Hmm, kamu tenang aja, saya bakal tanggung jawab nanti!" "Kalau seandainya Bapak gak mau anak ini lahir, saya akan gugurkan!" ungkap Gendis dengan lemah. Sontak Elwin terkejut. "Jangan gila kamu, saya bukan pembunuh, apalagi itu anak saya sendiri!" "Terus Bapak mau saya bekerja dalam kondisi hamil seperti ini? Lalu rawat anak itu sampai besar, setelah besar Bapak ambil, begitu?" Gendis mulai tersulut emosi. "Bukan begitu planing saya Gendis, saya gak sepicik yang kamu bayangkan!" Gendis menghela napas, ia mulai merasa mual lagi. Namun, masih bisa ia tahan karena pagi ini sudah terlalu banyak mengeluarkan muntah. "Habisnya saya lihat ekspresi Bapak seolah-olah gak bisa terima." "Saya cuma gak nyangka, satu malam itu benar-benar menghadirkan janin di perut kamu. It's okay, jujur saya kaget, tapi bukan berarti saya gak terima!" balas Elwin, seberusaha mungkin berhati-hati mengucapkannya. "Bapak mau saya harus gimana?" "Kita menikah!" "Dengan jujur dan mengaku sama buk Bella? Enggak! Saya gak kuat Pak, ibu Bella terlalu baik, saya akan selalu merutuki diri saya karena sudah mengkhianati dia!" tandas Gendis, ekspresinya sudah sangat menunjukkan ia menolak keras. "Saya cuma belum siap dibenci beliau." "Secara diam-diam, saya sudah atur sampai kedepannya. Tolong kamu ikuti saja ya. Kita akan menikah di kampung!" "Maksudnya?" *** Pulang-pulang, Amora dibuat kesal karena sekolah barunya sangat tidak menyenangkan. Selama satu bulan sejak pindahnya ke sekolah lain, gadis itu jadi malas belajar, terkadang harus dibujuk dulu. Ya, Amora menahan-nahan sabar agar tetap bertahan di sekolah barunya. "Gara-gara pembantu itu, aku jadi seperti anak orang miskin. Sekolah kumuh, gak berkualitas, isinya anak-anak rendah semua!" gerutunya. Tiba-tiba ada yang menghampiri, ia pun dibuat bertanya, "Tumben Papa ada di rumah jam segini?" "Gak ada pekerjaan yang terlalu penting, Papa juga gak enak badan tadi!" Amora manggut-manggut, tidak mengucapkan apa-apa yang biasa ia lontarkan untuk memancing emosi. Entahlah suasana hatinya yang buruk dan terus menerus menyalahkan Gendis seperti tadi, tiba-tiba hilang saat berhadapan dengan sang ayah. "Hmm, malam ini kamu bisa menginap dulu di rumah omah, sekalian ajak adik? Papa ada urusan di luar, takut nanti gak ada yang jaga." Seketika Amora berkerut. "Tumben? Terus Ninu-nya ke mana sekarang?" "Ada, sama bik Gendis!" "Okelah, aku emang niat mau ke rumah omah nanti sore. Bilangin aja sama bibik, siapin semua keperluan Ninu aku gak mau dia bawel!" Lagi-lagi anak itu tidak banyak pertanyaan-pertanyaan aneh yang seakan menuding, tidak seperti biasa. Elwin pun merasa aman. "Baiklah princess, terima kasih. Papa mencintaimu!" "Kalau di rumah omah, aku bisa sepuasnya main sama teman-teman aku, bahkan gak sekolah dan gak belajar pun gak masalah," batinnya. *** Malam hari Gendis bertanya kepada majikannya, mereka bertemu di dapur saat suasana sedang sepi. "Tuan, kenapa nona kecil dipaksa ikut kakaknya ke rumah nyonya Sania? Padahal tadi dia nangis-nangis gak mau ke sana," tanya Gendis. "Perintah dari saya karena malam ini saya mau nemenin kamu tidur di kamar," balas Elwin. Sontak saja Gendis merasa kaget. "Maksudnya gimana? Kita tidur berdua? Kan, belum jadi suami istri, Pak!" "Kan, sudah calon Gendis. Tenang aja saya gak bermaksud apa-apa, saya cuma khawatir kamu mual-muntah, drop atau segalanya yang biasa dirasakan ibu hamil, yaaa barangkali saja kamu butuh bantuan. Saya tau bagaimana di kondisi itu sangat sulit saat kita sendiri karena saya pernah merasakan dulu bersama Bella. Tidak ada penolakan ya!" Gendis menggaruk-garuk kepalanya serasa bingung. "Padahal saya biasa aja, kalau mual tinggal muntah, kalau mulas tinggal buang air, kalau capek yaa tidur." "Kalau ada keinginan sesuatu yang mungkin belum bisa kamu dapat karena kamu gak mampu wujudkannya, bagaimana?" Pertanyaan yang menelisik itu membuat Gendis tidak berkutik lagi. "Percayalah, saya perduli karena itu anak saya!" "Baik Pak, tapi kenapa harus ungsikan anak-anak?" "Kalau ada Ninu kamu gak bisa leluasa. Kita juga gak akan bisa berdua," ungkap Elwin. Seketika Gendis mengerti, tetapi entah kenapa perbuatan seperti ini adalah suatu kesalahan. Ya, Gendis selalu mengingat kebaikan majikan perempuannya. "Aku benar-benar merasa seperti simpanan, tapi kalau dipikir-pikir aku ini memang selingkuhan. Maafkan Gendis buk Bella," batin Gendis. "Ayo Gendis, kamu jalan duluan ke kamar. Cari kamar tamu saja karena di kamar saya gak mungkin, apalagi kamar kamu yang sempit!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN