Satu Masalah Tertuntaskan
“USIA berapa Haji Jafar itu?” tanya Rita, ibunda Cika tatkala Cika sudah dua jam berada di rumahnya siang itu.
“Tentunya lebih muda dari Papa,” jawab Cika.
“Sangat muda?”
“Tidak juga. Kata Cika kan lebih muda dari Papa. Paling beda lima atau sepuluh tahun,” jelas Cika. Ia duduk di atas tempat tidur. Ibunya duduk di tepinya.
“Tampan?” pertanyaan Rita serupa menyelidik.
Cika mendecak. “Apaan sih Mama ini, genit banget… ko pake nanya Haji Jafar tampan segala, apa Mama naksir?”
Giliran Rita yang mendecak. “Sembarangan! Mama kan punya suami, ayah tirimu yang meski berlabel ‘tiri’ tapi sangat penyayang sama kamu.”
“Abis, ko nanyain Haja Jafar… tampan,” mulut Cika tersenyum geli.
“Hemmm, Mama pikir, Haji Jafar itu naksir kamu, justru…”
Cika mengangkat bahu sembari melemparkan pandang ke arah pintu kamar yang terbuka. “Entahlah, Ma.”
“Ko entah? Berarti… kamu agak berpikir ke arah sana juga ya meski ragu?”
Cika tersenyum lagi. Teringat setelah berada di rumah Haji Jafar, ia disambut oleh istri Haji Jafar dengan tatapan penuh curiga. Sampai Mang Asep memperkenalkan padanya jika Ciika itu anak Hari Sutawijaya, barulah wajah keruh istri Haji Jafar berubah. Menjadi berseri-seri dan menyiratkan rasa hormat yang begitu dalam pada Cika sebagai anak dari orang yang sakti mandraguna. Kebetulan Haji Jafar tengah berada di luar daerah tapi dipastikan pagi-pagi akan tiba di rumah setelah mendapat perintah dari Hari Sutawijaya. Haji Jafar seorang kepala desa yang tengah naik pamornya atas bantuan Hari Sutawijaya.
Sebelum Haji Jafar tiba di rumah pagi-pagi, malamnya, istru Haji Jafar menjelaskan jika ketika Cika datang, ia sempat menduga jika Cika itu Lenny, istri muda Haji Jafar. Katanya, wajah Cika mirip dengan Lenny. Ketika pagi-pagi Haji Jafar melihat Cika, ia pun sempat kaget menduga jika Lenny berada di rumah istri tua. Hal itu pun diungkapkan pada Cika.
“Tujuan utama kamu disuruh ke rumah Haji Jafar oleh ayahmu untuk apa?” tanya Rita.
“Kalau Mang Asep membawa dua ayam cemani dari Jawa tengah pesanan Haji Jafar. Tapi ayamnya dititip warung dekat belokan ke bendungan… dan baru diambil oleh Haji Jafar waktu sama Cika lewat sana. Kan pagi setelah Cika sarapan dan bersua Haji Jafar, Cika pulang diantar Haji Jafar.”
“Kamu pulang diantar ke mana?”
“Sampai Cimareme. Sebelumnya dia ajak Cika ke pasar Ciranjang untuk menjual gelang-gelang emas.”
“Gelang emas siapa?”
“Milik istri tuanya.”
“Pa Haji Jafar alias Pak Lurah jual emas, butuh uang… pasti uangnya dia kasihkan sama kamu, ya?”
“Ko Mama tahu padahal Cika belum cerita soal uang.”
“Hemmm, sudah Mama duga. Kerjaan ayahmu memang gitu Gampang memerintah orang. Suruh seenaknya kasih uang. Dan Haji Jafarnya juga sebagai orang yang diperintah… langsung manut. Mama sudah paham karakter ayahmu. Jadi… kamu menerima uang dari Haji Jafar… hasil menjual gelang emas istrinya, dan Haji Jafar pasti memberikannya padamu dengan senang hati, ya?”
Cika diam. Lalu tak lama, menguakkan mulutnya. “Apa yang Cika terima itu… uang haram, Ma?”
“Papa kamu punya kewajiban membiayai kuliahmu. Uang itu kamu dapat secara halal… mungkin atau memang iya… Haji Jafar kehutangan budi sama ayahmu. Cuma yang Mama kurang suka cara ayahmu yang mudah memerintah orang lain.”
“Herannya orang yang diperintah Papa… selalu manut, ya Ma?”
Rita mengangguk. “Haji Jafar antar kamu, ya? Dia yang mau atau kamu yang minta?”
Cika menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak, Maaaa…. Cika justru tak mau diantar tapi dia maksa. Malah maunya… Pak Haji Jafar mengantar Cika sampai rumah ini, cuma Cika menolak keras. Akhirnya dia pun tak bisa memaksa lagi.”
“Kenapa kamu menolaknya?”
“Ingat ucapan Mama.”
“Yang mana?”
“Jangan pernah memberikan alamat kita sama kenalan atau anak buah atau murid Papa... karena bisa jadi … kita terbawa-bawa, karena… Papa acap mengakhiri kedekatan dengan orang-orang itu… dengan cara tak baik. Mereka bisa menjadi musuh Papa pada kahirnya karena merasa dirugikan. Nah, kalau smapai begitu, bukan tak mungkin… mereka akan balik mengejar Cika. Gitu kan, apa yang pernah Mama bilang smaa Cika malah ucapan Mama ini sudah berulang kali lho, semenjak Cika mau masuk SMA,” jelas Cika panjang lebar.
Rita mendesah. Lalu menganggukkan kepalanya. “Kamu benar, Ma. Kita harus selalu waspada. Papa kamu terkadang banyak masalah. Dan kita jangan sampai kena imbasnya, syukurlah kalau kini kamu memahami.”
“Cika kan sudah dewasa, Mama, alhamdulillah… uang untuk bayar kuliah sudah ada, uang buat bayar kos… ada buat dua bulan, dan ada sedikit buat makan. Jadi Cika tak bakal minta uang sama Mama untuk makan selama dua atau tiga minggu.”
“Alhamdulillah, Mama senang mendengarnya, Cika. Semoga cita-citamu bisa kauraih. Kuliahmu lancar, amiiiin.”
“Amiiiin, Mama. Terima kasih doa Mama untuk Cika.”
“Doa Mama selalu menyertaimu. Cika, kamu mau makan? Mama masak lho dari pagi buat menyambut kamu.”
“Boleh, Ma, tapi sebentar lagi, ya? Cika masih kenyang. Boleh Ciia ngobrol pengalaman Cika ke rumah Haji Jafar?”
“Oh, ayo cerita… Mama pingin dengar!”
Cika pun mulai berceloteh. Rita tampak kaget setelah mendengar cerita putrinya terutama ketika Cika menunggu Mang Asep mengambil rakit. Rita bahkan berujung marah pada mantan suaminya yang tak punya perasaan khawatir pada putrinya sendiri.
“Kurang ajar banget ayahmu, Cika! Dia tak memikirkan akibat bagaimana keselamatanmu! Kamu sendirian di pinggir danau! Bagaimana kalau ada orang jahat memperdayamu, mencelakanmu! Terus… bagaimana jika Mang Asep tak kembali!”
“Dih, Mama ko malah membayangkan yang aneh-aneh sih, Mama!”
“Bukan aneh-aneh! Tapi itu kan harus kita pikirkan dari awal!”
“Mama, mana mungkin sih Mang Asep tak kembali? Dia kan tahu danau itu dan sudah biasa menyeberang pakai rakit ataupun tidak.”
“Bagaimana kalau Mang Asep tenggelam? Apa yang akan kamu lakukan?”
Cika geleng-geleng kepala. Dia jadi menyesal menceritakan bagian itu pada ibunya. Semua itu membuat ibunya menjadi tak tenang dan banyak berhalusinasi.
“Mang Asep tak akan tenggelam, udah piawai berenang ko!” seru Cika meyakinkan ibunya yang masih tampak tak tenang juga mendadak geilsah. Padahal kejadian menunggu Mang Asep sudah berlalu.
“Mama tetap tak suka dengan Papa kamu!”
Cika beranjak dari tempat tidur. “Cika mau makan sekarang ah!”
Rita mengangkat bahu. “Baiklah.” Ia pun ikut beranjak. Lalu beriringan menuju ruang belakang. Usai makan, Cika mengalihkan pembicaraan mengenai pondokan yang akan dihuninya lantaran ia kurang betah tinggal di tempat kos model rumah-rumah biasa yang jika masuk kamar harus melewati terlebih dahulu ruangan-ruangan yang ditempati pemilik rumah.
“Mama terserahmu saja, yang penting niatmu pindah ke pomdokan buka karena ingin bebas.”
“Ya, tidak lah, Ma… kan di pondokan juga ada induk senangnya, ada satpamnya, ada penjaganya…”
“Oh, syukurlah.”
Esok pagi, sebelum Cika pamit kembali ke kampusnya, ibunya terlebih dahulu mengajaknya melayat orang yang meninggal dunia. Masih tetangga meski rumahnya tidak dekat, terhalang belasan rumah lainnya. Cika menolak. Seperti biasa, ia anti pergi melayat. Ia paling takut melayat orang yang meninggal, siapa pun yang akan dilayatnya. Ia takut terbayang-bayang dengan wajah orang meninggal itu. Bahkan lebih jauh terpikir, takut dihantui takut didatangi arwahnya.
“Kebiasaan buruk,” desis Rita sembari geleng-geleng kepala.
“Maaf, Mama…”
“Kita juga bakal mati, Cika.”
“Cika tahu, Mama.”
“Harusnya kamu sadar.”
“Cika sadar, tapi Cika masih merasa ketakutan kalau melayat orang meninggal, Mama. Pahamilah…”
“Sampai kapan, Cika? Jangan kekanak-kanakan. Kamu kan sudah dewasa, katamu juga… sudah mahasiswi… coba perlihatkan sikap sosok seorang mahasiswi sekaligus pribadi muslimah. Kita itu wajib melayat orang sakit dan meninggal.”
“Kalau melayat orang sakit, hayu saja. Tapi melayat orang meninggal, maaf… Cika tak bisa dan tak mau. Saat ini belum siap. Kalau esok lusa, mungkin siap.”
“Mama tak percaya.”
Cika tak menanggapi lagi omelan ibunya dan membiarkan perempuan yang pernah mengandungnya itu pun berlalu untuk melayat. Cika di rumah sendirian. Ia sudah bersiap-siap untuk pergi. Namun harus menunggu sampai ibunya kembali. Telepon selularnya berdering.
“Hai, Cikaaaaa!” seru suara penelepon, terdengar ramah dan hangat.
“Hallo, Widi,” sapa Cika. Hubungan pertemanan mereka telah membaik setelah Hari Sutawijata membujuk Cika untuk berbaikan dengan Widi. Dan Widi memang pandai merajuk pada Hari Sutawijaya agar meluluhkan hati Cika. Upaya Widi berhasil. Bujukan Hari Sutawijaya pun sukses. Cika dan Widi berteleponan semenjak di Jawa Tengah.
“Cikaaaa!” Widi seperti biasa mengeluarkan jurus rengek manjanya. Ia minta Cika kembali satu kamar dengannya.
“Entahlah,” Cika berusaha mencari cara untuk menolaknya.
“Elang sudah tidak kos di sini, Cik.”
“Oh ya?”
“Ya, dia tinggal di rumah saudara ayahnya yang kebetulan tak terlalu jauh dari kampus. Dalam rangka penghematan, katanya. Jadi, tak ada biaya kos,” jelas Widi.
“Ouhhh…”
“Cika, mau ya satu kamar lagi denganku di sini? Aku tau lho kalau kamu belum punya kamar kos lagi.”
“Tadinya aku berniat tinggal di pondokan. Baru hari ini mau ke sana. Aku sudah siap-siap mau pergi, ko.”
“Cikaaaa, jangan mau lho tinggal di pondokan.”
“Kenapa?”
“Kata yang pernah menempati pondokan… pondokan itu banyak hantu, lho,” Widi bercanda.
“Kalau soal hantu… jangankan di pondokan, di kamar kos kamu saja kan ada.”
“Hehehehehe,” Widi terkekeh.
“Atau… kamu saja yang pindah ke pondokan. Banyak lho pondokan yang berkamar kosong.”
“Mmmmm… bisa kupertimbangkan ke depannya, tapi kali ini, aku mau di sini dulu. Sebaiknya, kamu pertimbangkan dulu tawaranku untuk kembali di sini, cobain lagi beberapa bulan, mumpuuuuung…”
“Mumpung apa?” dahi Cika mengernyit.
“Ibu kos di sini kan kamu tahu sendiri, baik banget, meski janda… dia suka nawarin kita makan gratis meski seadanya… dia juga bukan tipikal ibu kos yang cerewet seperti kebanyakan. Nah… kamu tahu tidak, dia sama ku memberi tumpangan gratis…”
“Maksud tumpangan gratis?” Cika memotong ucapan Widi yang menggantung.
“Yaaa, dia membebaskanku untuk tak bayar kos, dia anggap aku saudaranya. Dia peduli sama aku. Yaaa, aku senang saja ada kamar kos gratis. Intinya, ibu kos tidak komersil lagi, begitu Cika…”
Mendengar penuturan Widi, sesaat Cika termenung. Membayangkan Widi yang punya uang lebih karena uang kos yang didapatnya saban bulan dari orangtuanya tak akan dibayarkan. Tipikal Widi agak suka membohongi orang tuanya. Cika yakin dengan akal bulus temannya itu. Cika juga membayangkan seandainya dirinya sama seperti Widi, mendapat tumpangan gratis.
“Widi… tawaranmu masih berlaku kan?”
“Soal satu kamar denganku?”
“Ya.”
“Masih laaaaaah!”
“Hmmm, tapi… ibu kos kalau sama aku… gratis juga tidak?”
“Ya iyalah, Cika… makanya aku ajak kamu karena dia juga bilang ke aku suruh ajak kamu.”
“Yang benar?” Cika ingin meyakinkan.
“Kalau tak percaya, silakan telepon ibu kos. Dia pasti senang ko kamu telepon.”
Cika berpikir sesaat lalu berucap, “Oke. Aku terima. Tapi ada tapiya lho, Widiiii…”
“Apa?”
“Kamu… jangan pacaran sama Rio, ya? Kalau mau pacaran sama cowok lain yang bukan mantanku,” ucap Cika serius.
“Hemmm, aku janji deh sama kamu, Cika. Sekali lagi, aku minta maaf… aku tak akan ulangi kesalahanmu. Aku juga sudah tak kontak sama Rio,” ucap Widi dan terdengar sungguh-sungguh.***