Tantangan

1695 Kata
Tantangan “BERIKAN saja uang buat kuliah juga bayar kos, dan jangan lupa untuk biaya hidup sehari-hari. Selama ini kan yang membiayai hidup Cika... Mama. Bayar kos juga. Awal masuk kuliah sih memang Papa kasih, meski tetap masih kurang dan terpaksa Mama jual gelang emas miliknya. Kata Mama pun, biaya hidup sehari-hari di tempat kos dibanding biaya kuliah yang hanya satu semester sekali, itu lebih besar biaya hidup dan kos. Berarti uang yang sudah dikeluarkan dari Mama lebih besar dari uang yang diberikan Papa dalam satu semester. Saban Minggu Cika pulang ke rumah, dan Mama harus siapin uang untuk makan Cika selama seminggu di rantau. Belum keperluan tak terduga lainnya. Sering Mama tak pegang uang. Cika tak tega, Kek. Cona Kakek jelaskan sama Papa biar dia mengerti dan tidak egois gitu,” ucap Cika panjang lebar pada kakeknya. Ayahnya tengah berisitirahat di ruang depan ditemani nenek juga Bahri, adik Hari Sutawijaya. “Iya Cika, Kakek jga sudah jeaskan sama ayahmu, tadi pagi waktu dia baru datang dan kamu masih di kamar mandi.” “Terus...apa kata Papa?” “Dia bilang, iya iya saja. Begitu, Cika,” ucap kakeknya dengan lembut. “Cika harus dapat uangnya hari ini juga sebab Cika harus segera kembali ke Bandung. Bayar kuliah, cari pondokan untuk menetap. Saat ini Cika belum punya kamar kos lagi lantaran tak punya uang. Mama tidak tahu dan Cika pun tak tega bikin Mama sedih kalau tahu putrinya tak jelas tempat bernaung.” “Ya, tentu saja. Tak baik juga anak gadis sembarangan menginap meski katamu di kamar temanmu yang perempuan. Kamu tetap harus punya kamar sendiri.” Terdengar Hari Sutawijaya berteriak memanggil putrinya. Cika bergegas menemui ayahnya yang tengah merokok dengan nikmat ditemani secangkir kopi yang mengepul di atas meja. Sementara Bahri, lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu pun melakukan hal yang sama. Bahri sudah beristri dan memiliki tiga orang anak. Sebelumnya, ia berbisnis kendaraan beroda dua dan sesekali mobil. Namun usahanya bangkrut kena tipu orang tak dikenal. Kini ia menganggur. Rumahnya pun sudah dijual. Istri dan ketiga ankanya tinggal di rumah kontrakan di pinggiran kota Bandung. Tak begitu jauh dari kawasan tempat Cika kuliah. “Cika, kamu segeralah siap-siap,” ucap ayahnya. Cika menautkan alis. “Bersiap-siap ke mana?” “Lho, apa kamu belum tahu?” Bahri nimbrung. “Tahu apa, Mang?” tanya Cika tak mengerti. “Kita kan mau pergi.” “Kita?” Cika semakin tak mengerti. Bahri mengangguk. “Ya! Ayahmu, kamu... juga Mamang akan ke Jawa,” jelas Bahri. Yang dimaksud Jawa itu Jawa Tengah, tempat dimana Hari Sutawijaya bermukim selama ini. Cika menatap ayahnya. Meminta kepastian. Hari Sutawijaya mengangguk sembari mengulas senyum. Cika menghela napas panjang. Ingin sekali ia menolak. Ia ingin cepat kembali ke Bandung dengan membawa uang. Sudah diungkapkan pada kakeknya. Cika pun terkadang tak mengerti mengapa lidahnya selalu kelu dan mulutnya terkunci saban ingin mengungkapkan keinginan pada ayahnya. Dan selalu saja ia meminta kakeknya yang bicara. Ia pun heran mengapa di belakang ia selalu berani dan percaya diri untuk bicara dengan ayahnya. Namun setelah berada di hadapannya, sikapnya mendadak kaku. Hal itu memang pernah juga diceritakan oleh ibunya. Konon, semasa ibunya menjadi istri ayahnya, acap bersikap seperti Cika. Ingin bicara apa yang ada dalam hati tapi ketika berhadapan dengan orangnya, menjadi diam terpaku lalu keberanian yang sebelumnya sangat kuat mendadak luntur. Begitukah orang-orang yang memiliki ilmu penakluk seperti ayahnya? Hingga banyak orang mengaku keberaniannya akan ciut dalam hitungan detik. “Tapi, Paaa... “ Cika mendadak bingung. “Kenapa?” ayahnya balik bertanya. Cika terdiam. Ia tetap tegak berdiri. Masih dirundung bingung. Bahri tertawa seperti memahmi apa penyebabnya. Bahri beranjak dari kursi lalu menepuk bahu keponakannya. Dan menegaskan bila setelah berada di Jawa Tengah, di rumah ayahnya, pasti ayahnya akan mengabulkan permohonan Cika. Cika mendesah. Ada resah dalam desahnnya yang terdengar kentara. “Kamu tennag saja, kan ada Mamang yang akan ikut meyakinkan ayahmu,” bisik Bahri di telinga Cika sesaat setelah ayahnya bangkit dari tempat duduknya menuju beranda. Bicara dengan sopir yang sudah siap untuk melaksanakan tugas dari majikan. Mendengar ucapan pamannya itu, sedikitnya hati Cika pun pada akhirnya tenang. Ia menyimpan kepercayaan pada Bahri yang bisa mempengaruhi ayahnya agar benar-benar memberikan apa yang Cika minta. “Tapi besok dan lusa Cika ada kuliah. Terus... kemarin Cika tak masuk juga, kan ke sini.” “Tak apa-apa. Satu hari ya? Tambah dua hari tak kuliah, Mamang kira tak masalah, asal kamu minta izin sama... dosenmu. Kita paling dua hari di Jawa Tengah. Kata ayahmu tadi. Dia juga hanya butuh dua hari di Jawa sebab harus kembali lagi ke Bandung untuk suatu urusan.” “Urusan apa?” “Biasa... urusan mistik. Ilmu ghaib.” “Oh...” “Gimana... siap hari ini kamu ikut ke Jawa kan?” “Mmmm, baiklah,” ucap Cika akhirnya. Yang paling penting baginya, mendapat uang. “Lagipula hari ini Sabtu, tak ada kuliah. Besok Minggu. Berarti cuma Senin yang tak masuk lagi.” “Sip!” Bahri tersenyum. “Mamang mau ganti baju dulu!” Setengah jam kemudian, Hari Sutawijaya, sopirnya, Cika, dan juga Bahri naik mobil. Meninggalkan perkampungan yang senyap. Sepanjang perjalanan, Cika tak banyak bicara meski Hari Sutawijaya duduk di sampingnya dan berusaha mengajak putrinya berbincang, bahkan sesekali mencandainya meski tak begitu ditanggapi putrinya. Seperti biasa, Hari Sutawijaya mengobral janji akan memberi Cika uang sebagaiamana yang putirnya tentukan jumlahnya. Cika berusha percaya meski terkadang terngiang-ngiang ucapan ibunya jika Cika tak boleh terlalu percata pada ayah kandungnya. Sudah sering ayahnya itu membohongi ibunya. Baik ketika mereka masih terikat suami istri maupun setelah bercerai. Namun, masih kata ibunya, Hari Sutawijaya pun tidak selamanya suka berdusta lantaran ucapannya juga terkadang banyak benarnya atau terbukti. Yang penting, Cika harus selalu berhati-hati dan ibunya mendokaan yang terbaik bagi ptrinya agar tak dibohongi Hari Sutawijaya seperti halnya lelaki itu acap mendustai Rita, ibunda Cika. “Cika, jika Papa kamu memberikan uang langsung ke tanganmu, berarti bisa kamu percaya. Tapi semisal Papa kamu masih berjanji di mulut dan belum kamu lihat uangnya dengan mata kepalamu sendiri, atau belum sampai di tanganmu sendiri... maka kamu jangan terlalu berharap. Papa kamu memang sudah tabiatnya seperti itu. Senang memberi harapan palsu,” kata Rita suatu hari dan ucapan itu terpatri selalu di benak Cika. “Sebenarnya jika Mama punya uang, Mama tak akan menyuruhmu meminta sama dia. Tapi keadaan Mama yang masih sering kesulitan uang, menyebabkan Mama terpaksa memintamu pada ayahmu. Meski Mama pun tak yakin seratus persen. Tapi, bukankah kita tetap harus berusaha?” ucap Rita lagi dan Cika hanya mampu mengiyakan tanpa banyak komentar. Di kota Wonosobo yang udaranya sejuk dan kotanya bersahabat, Cika hanya dua hari lantaran harus bersiap-siap lagi kembali ke Bandung. Ayahnya belum juga memberikan uang sebagaimana janjinya. Hati Cika resah. Ia tak mampu mengungkapkan keinginannya lagi karena mulutnya mendadak terkunci dan ciut nyalinya menghadapi lelaki yang menjadi ayah kandungnya. Lelaki yang sakti mandraguna. Memiliki banyak ilmu. Salah satunya ilmu meluluhkan lawan bicara. Atau menaklukkan orang yang berada di hadapannya. Termasuk pada putrinya sendiri. Sementara, Hari Sutawijaya anteng-anteng saja, tak memahami perasaan Cika. Sepanjang perjalanan pulang, gelisah terus mendera perasaan Cika. Ia menyesal mengikuti ajakan ayahnya jika uang yang diharapkan, tak didapatnya. Ia pun merasa sia-sia. Sudah berkorban waktu dan meninggalkan kuliah. Mobil menepi di sebuah rumah makan perbatasan kota Banjar dan Ciamis. Semua turun dari mobil. Tatkala makan bersama, Hari Sutawijaya mulai bicara yang mengarah pada permintaan Cika. Ia minta Cika ikut ke rumah Haji Jafar. “Siapa Haji Jafar?” tanya Cika. Ia sempat dengar nama itu beberapa kali disebut ayahnya dengan sopir yang membawa mobil. “Teman Papa. Lebih tepat, murid Papa.” “Untuk apa Cika ke rumah Haji Jafar?” “Kamu akan dapat uang buat kuliahmu juga keperluan lainnya dari dia.” “Kenapa dari dia?” “Jangan banyak tanya. Dia itu banyak hutang budi sama Papa. Dan uang segitu... kecil buat dia.” “Tapiiii...” “Malu?” Cika mengangguk. Ayahnya tersenyum simpul. Lalu tangan kanannya membelai rambut putrinya dengan penuh rasa sayang. “Justru... kalau Haji Jafar tak beri kamu uang... dia yang akan malu sama kamu dan Papa.” “Mmmm...” Cika berpikir sejenak. Ia harus mendapat uang. Namun arahan ayahnya aneh-aneh. Kepalanya pun terpaksa mengangguk. Meski ada rasa enggan. Berusaha disingkirkannya rasa tak nyaman itu. Perjalanan dilanjutkan. Hari hampir gelap tatkala Hari Sutawijaya dan Bahri turun di kampung Sukaresmi. Cika tidak diperbolehkan singgah meski ingin bersua kakek dan neneknya. Cika pun tak bisa menolak dan ikut melaju dalam mobil yang dikemudikan Mang Asep. Laki-laki berusia empat puluh tahun ini sopir Haji Jafar yang diperbantukan menjadi sopir Hari Sutawijaya. Mang Asep digaji Haji Jafar untuk melayani Hari Sutawijaya. Mang Asep tampak lebih segan dan takut pada Hari Sutawijaya. Mobil silver menembus malam. Tiba di perbatasan Bandung dan Cianjur. Lalu berbelok ke kanan. Masuk perkampungan. Rumah demi rumah dilintasi. Lalu kebun demi kebun. Tiba di kebun paling seram, begitu yang dirasakan Cika. Mang Asep mengajaknya turun. “Mau ke mana?” tanya Cika agak takut lantaran suasana yang sepi. Tak ada rumah di sana. Hanya pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Mang Asep bilang mau ke rumah Haji Jafar tapi harus melintasi anak bendungan Cirata. Dari mobil terparkir, ada lima belas menit perjalanan hingga tiba di tepi bendungan. “Kita akan naik rakit,” kata Mang Asep. “Rakitnya?” pandangan Cika diedarkan ke arah bendungan. Lalu ke tepinya. Tak ada rakit. Mang Asep pamit hendak mengambil dulu rakit agar nantinya bisa menyeberang bersama Cika. Lantaran mustahil Cika mau diajak berenang. Lelaki itu pun lalu menceburkan diri ke dalam danau lalu berenang. Cika mulai dibaluri rasa takut. Bukan hanya pada hantu. Namun juga pada manusia yang mungkin saja bisa berbuat jahat. Bukan tak mungkin. Melintas peristiwa buruk yang direka-rekanya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain berjongkok sembari membenamkan wajah dalam pangkuannya. Tak berani menatap danau. Ia pun tak bisa melihat lagi Mang Asep. Ketika ketakutan memuncak, Mang Asep muncul di hadapannya. Dengan pakaian basah. Bukan hanya itu! sebuah rakit sudah siap. Hati-hati sekali Cika melangkah dan menginjakkan kaki di atas rakit. Sembari tangannya memegang lengan Mang Asep. Lelaki itu pun mendayung ke tepi danau yang menghubungkan ke rumah Haji Jafar yang harus mereka lalui selama satu jam. Saking jauhnya.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN