Suara Merdu yang Mengikuti

1684 Kata
Suara Merdu yang Mengikuti ANGGA Febrian, mahasiswa yang menghuni sebuah pondokan hampir di ujung jalan Cibeusi. Pondokan berkamar tiga puluh enam, berinduk semang cerewet dan suka banyak mengatur para penghuni kos. Sekitar sepuluh kamar, memang kosong. Padahal pondokan itu tidak mahal-mahla banget. Fasilitasnya pun cukup lengkap. Di dalam kamar, ada kasur busa super lengkap dnegan divan, sebuah lemari berpintu satu, juga meja kecil untuk belajar lengkap dengan kursinya. Sarana air cukup baik. Jarang sekali terjadi air keran tak lancar. Kebanyakan penghuni betah meski bibir induk semang senang sekali berkicau mirip burung kenari. Terkadang nyinyir atau ucapannya bisa menusuk hati. Namun, para penghuni yang kebanyakan cowok, cuek saja dan menanggapi itu sebagai sesuatu yang biasa. Penghuni cewek yang minoritas pun tak pernah memedulikannya. Memilih diam tak mau menanggapi. Terlebih, rerata pendiam alias tak banyak omong. Akhirnya mulut si induk senang bosan sendiri nyerocos. Induk semang yang bertubuh pendek gendut itu Lince. Berusia tiga puluh dua tahun, bersuami yang pendiam. Mereka baru memiliki anak satu, laki-laki, baru berusia tiga tahun. Mereka menempati ruang paling depan, tak jauh dari pintu gerbang, Meraka bukan pemilik pondokan, hanya bertugas sebagai penjaga pondokan sekaligus mengurusi segala t***k bengeknya. Pemilik pondokan berada di Jakarta dan jarang sesekali berkunjung ke pondokan dan lebih memercayakan pada si induk semang dan suaminya yang sudah dianggapnya saudara meski tak ada hubungan darah sedikit pun. Sebenarnya, terlebih pada Lince, banyak penghuni tak simpati. Namun, mereka tak pernah menunjukkannya. Pura-pura saja. Ya, pura-pura suka padahal tidak. Mereka hanya mengambil manfaat jika di pondokan yang bernama Gasela itu, bisa menempati kamar yang layak dengan fasilitas memadai, dan tentu saja, biaya per bulannya cukup murah. Seperti halnya Angga Febrian, mahasiswa bertubuh agak jangkung tapi tidak kurus, tubunya cukup berisi. Berparas tampan dengan kulit bersih. Angga, pendatang dari kota Bogor. Sekarang, ia mau duduk di semester tiga sebuah perguruan tinggi swasta. Semenjak di awal masa perkuliahan, ia tinggal di Pondok Gasela. Ia puh cukup betah dan mampu menahan diri dari cerewetnya sang penjaga pondokan yang sok berkuasa. Belakangan, beberapa kamar tiba-tiba kosong. Para penghuni sebelumnya memutuskan pindah ke pondokan lain tanpa mau menyebutkan alasannya. Terlebih yang perempuan. Kini, pondokan Gasela kurang penghuni cewek padahal sangat diharapkan dari penghuni yang mayoritas cowok. Tak bisa cuci mata. Kehadiran makhluk-makhluk kece dan manis membuat suasana semarak dan menambah semangat terutama bagi para penghuni owok yang tengah tak punya kekasih. “Anggaaaaaaa!” terika Lince dari depan kamar nomor lima belas yang berada di lantai atas bagian utara. Angga yang tengah rebahan di atas pembaringan berseprai batik, beranjak tatkala mendengar lengkingan itu. Sebenarnya, ia lagi ingin malas-malasan dan tak mau menerima kunjungan ke kamarnya. Namun, pemilik lengkingan itu akan gusar jika lengkingannya tak digubris penghuni pondokan. Alamat ngomel sepanjang hari. Dengan malas, Angga menguakkan daun pintu. Lince langsung masuk lalu duduk di kursi. Angga mengambil tempat duduk di atas karpet sembari menyelonjorkan kedua kakinya. Siang yang tak bersahabat, di luar, terasa panas. Hingga ia pun sangat enggan keluar kamar sepulang kuliah pukul sepuluh tadi pagi. “Ko kamu kayak suntuk gitu?” tatapan mata Lince menghujam bagi Angga. “Nggak, Tan,” kata Angga. Llau bibirnya segera membentuk sebuah senyuman. Meski pura-pura. Lince tau penduli dengan senyum Angga dan tak berminat membalas senyuman itu. Kedua tangan dilipat di atas dadanya. Lalu kembali menatap Angga. “Kamu mau bantu Tante kan?” “Bantu apa, Tan?” Angga balik bertanya. “Cariin penghuni baru...” “Buat di pondokan ini?” tanya Angga. “Bukan! Buat pondokan sebelah!” suara Lince meninggi sembari mendelikkan kedua matanya. Angga ngeri melihat wajah di depannya. Namun itu sudah menjadi santapan sehari-hari. Selain galak, perempuan gendut di hadapannya itu mudah marah. Dan tak boleh jika lawan bicara salah berucap meski maksudnya untuk bercanda. Sering menanggapi serius saban ucapan seseorang. Susah sekali diajak bercanda tapi ia sendiri suka bicara seenaknya. “Berapa orang yang Tante butuhkan?” tanya Angga dengan gaya menantang jika ia sanggup mencari yang diinginkan penguasa pondokan. Padahal itu hanya basa-basi. Namun jika harus menjadi keharusan, maka ia pun harus gerak cepat. “Sebanyak kamar yang kosong.” “Berapa pastinya?” “Sepulah kamar!” “Oh, sepuluh orang, ya?” “Ya!” “Eh, Tan... semisal ada yang mau satu kamar berdua, bisa kan ya?” Lince cepat menggeleng. “Tidak! Tidak boleh!” “Harus sendiri?” “Ya!” “Meski bayarannya tetap sesuai tarif?” “Iya Angaaaaaa!” tubuh Lince beranjak dari tempat duduk. Lalu berdiri. “Aturan di pondokan ini, satu kamar ya satu orang! Mengerti? Apa harus kuulangi lagi? Rasanya, Tante sudah sering bilang begitu!” Angga tersenyum renyah. “Iya, Tante! Maaf... Angga pelupaaaa!” “Kebiasaan!” “Eh, Tan.. maunya, penghuni cewek apa cowok?” “Mau kamu... cewek kan?” “Hehehehe,” Angga terkekeh. “Tante ngerti saja sama Angga!” “Ya iyalah, kamu kan jomlo dari dulu!” “Dih, Tante...” “Emang kan?” “Iya sih, Tan, memang Angga itu cowok nggak laku!” ucap Angga pura-pura serius. Wajahnya menunduk. Lince mendekat dan menyentuh bahu Angga, dengan rasa iba, ia bicara pelan. “Padahal kamu itu tampan, rapi juga penampilanmu, cuma sikapmu kadang kayak anak kecil. Mungkin itu yang membuat cewek-cewek yang kamu dekatin, malas jadi pacarmu.” “Iya Tanteee.” “Soal penghuni, bebas. Mau cowok atau cewek. Toh pondokan ini bukan asrama putra atau asrama putri. Pondokan bebas. Maksud bebas, cewek dan cowok ada di sini. Pokoknya, tugas kamu, mencari lalu mempengaruhi mahasiswa mana saja agar mau kos di sini. Kamu yang piawai promosi ya? Bilang yang baik-baik tentang pondokan ini. Jangan ungkit yang buruknya. Tenang... jika kamu udah dapat calon penghuni baru, dan penghuni baru itu sudah bayar, maka komisi sepuluh persen ada buatmu. Jadi, kamu bisa bayar utang di kantin Tante. Utangmu kan kayak kereta api, panjaaaaang. Bulan lalu belum dibayar eh udah manjangin kagi bon,” ucap Lince lalu membalikkan tubuhnya yang gemuk pendek. Tanpa menutup pintu kamar dan meninggalkan Angga yang langsung mengelus d**a. Dalam beberapa hari, Angga mencari informasi dari beberapa teman kuliahnya. Hingga Diandra, salah kenalannya tapi berbeda kampus, merekomendasikan nomor seorang mahasiswi yang berniat mencari pondokan yang murah tapi fasilitas lengkap. Tak menunggu hitungan jam, Angga langsung menelepon nomor asing itu. awalnya tak tersambung. Namun setelah tiga kali dicoba lagi, akhirnya terhubung. Pemilik nomor asing itu amboi, di telinga Angga terdengar sangat merdu. Mendayu-dayu. Cowok itu nyaris melambung ke udara. Ia merasa baru pertama kali mendengar suara cewek semerdu itu. seperti suara biduanita. “Maaf, kalau aku ganggu kamu, ya?” kata Angga. “Tidak sama sekali. Kamu ini siapa dan tahu nomorku... dari siapa?” “Aku Angga. Lengkapnya, Angga Febrian. Aku kos di Pondok Gasela.” “Pondok Gasela?” “Ya. Kamu pernah dengar?” “Tidak, hanya namanya seperti familiar gitu.” “Pasaran ya?” “Tidak, tapi aku sepertinya pernah mendegar nama pondokan itu tapi lupa. Mungkin aku dengar ketika aku mau cari pondokan.” “Oh, ya... nama kamu Cika Sagita kan?” Angga bertanya. “Ya, ko tahu?” “Ya, tahu, makanya telepon kamu.” “Jadi... bukan salah sambung ya?” “Hehehe, bukan. Aku sengaja meneleponmu. Aku tahu nomormu dari Diandra.” “Diandra yang kos di Pondok Buana?” “Betul. Cika, bisakah kita bersua?” “Bersua? Di mana? Dan ada keperluan apa, ya Angga?” “Tapi.. mau kan?” “Kapan?” “Sekarang.” “Kalau sekarang... aku nggak bisa.” “Kalau besok?” “Belum tentu bisa.” “Kalau besoknya lagi?” Angga jadi geregetan. “Maaf, dalam beberapa hari ni aku lagi sibuk.” “Jadi... nggak bisa?” Angga sedikit menyesal padahal selain ingin mencari calon penghuni baru buat pondok Gasela, ia pun ingin melihat wujud cewek pemilik suara merdu itu. Jadi, sambil menyelam minum air. “Nggak, mungkin lain kali.” “Ah.” “Bicara saja dulu di telepon sekarang.” “Oke. Cika, kata Diandara, benarkah kamu tengah mencari pondokan?” “Diandra bilang gitu ya? Ya, beberapa bulan lalu, tepatnya tiga bulan lalu, aku memang mencari pondokan. Tapi, sekarang tidak, Angga.” “Kamu sekarang kos di mana?” “Tempat kos aku kan di pondokan. Tapi di sebuah rumah yang pemiliknya sudah kuanggap saudara sendiri. Dan aku tak enak jika harus pindah sementara pemilik rumah sangat baik padaku. Makanya kubatalkan mencari pondokan. Begitu, Angga,” jelas Cika. “Oh, gitu ya? Sayang sekali, ya?” “Ya, begitu. Kenapa gitu?” “Mmm, tidak apa-apa, Cuma tadinya... aku mau menawarimu untuk tinggal di Pondok Gasela.” “Kamu pemilik pondokan?” “Bukan.” “Atau mau over kamar?” “Tidak juga.” “Lalu?” “Nggak, Cik. Hehehehe. Ya udah, kalau kamu nggak minta kos di Pondokan Gasela, teleponnya sudah dulu, ya?’ “Oh, iya...” “Tapi aku minta izin untuk simpan nomormu, ya?” “Silakan.” Perbincangan di telepon selular pun berakhir. Angga melangkah lesu masuk ke dalam kamarnya. Hari mulai diselimuti gelap. Angga menelungkup di atas pembaringan. Ia tak pergi ke kamar mandi untuk berwudlu. Tak juga solat maghrib. Matanya terpejam dan dijemput kantuk yang tiba-tiba menyerang kedua mataya. Ruang kamar gelap. Ia pun tertidur lelap. Terbangun sekitar pukul dua puluh satu. Di luar terdengar sepi. Tak ada suara-suara. Kesenyapan terpecah tatkala sebuah suara dari luar kamar memanggil namanya. Suara cewek. Dadanya terperanjat lantaran merasa kenal dengan suara itu. Suara itu... sepertinya ia pernah mendengarnya meski baru satu kali. Ia mencoba mengingat-ngingat. Ya, ia baru sadar jika suara itu sama dengan suara yang diteleponnya tadi sore. Suara Cika Sagita. Kini, suara itu masih memanggil-manggil namanya. Lembut dan merdu. Tubuh Angga menuju pintu kamar. Tak dihiraukannya lampu kamar yang masih gelap. Di teras depan kamarnya pun gelap. lampunya mendadak mati. Mata Angga mencari-cari di sekitar teras. Tak ada sesiapa pun. Apalagi orang yang baru saja memanggil-mamangil namanya. Tak ada cewek itu. Tak ada Cika. Lalu tadi... suara siapa? Dan dari mana? Tersebab ia sangat yakin pendengarannya tidak salah. “Siapa, ya?” tanya Angga. Tak ada sahutan. Senyap. Suara tadi pun benar-benar lenyap dan tak berbekas.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN