Rasa Takut Itu Pasti Ada
Rasa Takut Itu Pasti Ada
SELAMA melajukan motor barunya, hati Cika diliputi rasa takut. Takut dengan hantu. Hantunya Ma Neneng. Lalu dilumuri rasa gelisah pikirannya teringat itu. Terkadang, menyelusup rasa sesal mengapa Ma Neneng yang teramat manyayanginya direnggut oleh Sang Pencipta. Di balik itu, terkadang muncul kesadaran. Awalnya, ia begitu sedih. Sedih yang tiada tara. Namun kian ke sini, hari berganti hari, kesedihan berangsur, berkurang kadarnya lantaran tertindih rasa takut. Terlebih saban ia sudah berada di dalam rumah. Tidak malam tidak siang, berkelebatan wajah Ma Neneng di pelupuk matanya. Seolah terus membayangi, tak jua beranjak dari ruang pikirnya. Apa sebatas perasaannya? Mendadak muncul pikiran seperti itu. Ia suka mendengar cerita orang-orang yang kehilangan sosok-sosok yang dicintainya. Kehilangan lantaran kematian yang merenggut. Bilamana malam, kerap terbayang sosok-sosok itu. Siang pun begitu. Dikejar-kejar bayangan. Dan bayangan itu seakan-akan hendak menakut-nakutinya. Ya, ya, ya. Mungkin itu perasaannya saja, ia kian menegaskan dalam hatinya. Tersebab menurut pengalaman orang, kebanyakan ya mengalami hal begitu. Takut pada orang yang telah meninggal dunia dan percaya arwahnya masih berkeliaran juga sebagian mengusik ketenangan manusia.
Gadis bertubuh tinggi ramping yang tengah melajukan motornya dengan pelan itu, lalu memasukkan gantungan kunci yang baru saja dibelinya ke dalam tas yang diselempangkan di bahu kirinya. Kemudian, kedua telapak tangannya cepat memegang erat setang motor matic putihnya.
Motor itu pun menepi perlahan depan rumahnya. Tepat di dekat beranda. Ia turun dari motor. Menghampiri kursi malas yang berada di beranda. Lalu duduk di situ seraya melepas lelah selama perjalanan dari sekolah dasar, tempatnya menjadi tenaga honor. Hingga tiba depan rumahnya yang asri, disesapnya keindahan yang tampak di sekitar matanya. Tanaman bunga tumbuh di halaman yang tak luas. Ibunya rajin merawat tumbuhan bunga dan rutin menyiramnya, saban pagi dan sore terkecuali di musim penghujan. Sebagian bunga-bunga cantik itu ditanam dalam pot yang berjajar di hampir sepanjang tepi teras. Aroma bebungaan menusuk hidungnya yang sedikit mancung. Rambutnya yang dibiarkan tergerai sebahu, berkibar-kibar tertiup angin siang.
Tak berapa lama, ibunya yang bernama Rita Herlina, perempuan berusia empat puluh tahun muncul dari dalam ruangan dalam. Lalu tangannya menaruh gelas berukuran tinggi, isinya jus melon yang dingin. Ia baru saja membuatnya di dapur. Tak menunggu ditawari, Cika langsung mengambil gelas itu lalu perlahan menyeruput isinya. Seolah dinikmatinya dengan penuh perasaan. Terasa segar melintasi kerongkongannya yang kering di musim panas ini. Hujan sudah sebulan tidak kunjung turun lagi padahal sebelumnya acap turun deras. Musim yang tiada kejelasan.
“Makasih ya, Ma…” Cika pun menaruh gelas itu di atas meja. Isinya tinggal setengah. Ibunya lalu duduk di sampingnya. Di kursi satunya lagi. Kedua kursi itu menghadap meja yang sama-sama terbuat dari rotan.
“Mama sudah menyiapkan makan siang untukmu. Ayo makanlah… segera ke ruang makan, di meja makan ada pepes tahu campur usus ayam, kerecek kangkung, dan pindang balado kesukaanmu. Tapi Mama tidak bikin sambal, karena ada pindang berbumbu masakan Kapau. Pindang tongkolnya besar, masih segar, pagi-pagi setelah kamu berangkat kerja, Mama beli dari Mang Agus yang suka keliling kampung menjajakan bahan untuk memasak.”
“Sebentar lagi, ya Ma. Cika masih cape nih…” tubuh Cika setengah menyandar ke kursi. Tangan kanannya merogoh kipas batik dari dalam tas hitam yang disimpan di sebelahnya. Lalu mengipas-ngipaskan ke arah wajahnya yang sedikit berkeringat. “Ma… tadi ke sekolah ada yang jualan gantungan kunci. Cika beli satu, harganya dua puluh lima ribu.”
Cika pun merogoh dari saku tas itu. Lalu ditunjukkan depan ibunya. Sebuah benda kecil. Gantungan kunci, bentuknya lonjong serupa piring lodor, agak pipih. Warnanya putih, tapi di ujungnya berwarna merah, lantaran itu bagian lampu yang bisa bercahaya tatkala menyala. Rita mengambil dari tangan anaknya. Lalu mengamati benda itu dengan saksama.
“Hemmmm, kamu iniiii… bukankah gantungan kuncimu ada beberapa buah, bagus-bagus… Papa yang beli kan, semua lucu… sengaja Papa beliin buatmu tuh, terus yang dikasih Bunda Dewi pun kan ada dua, belum pernah kamu pakai. Buat apa kamu beli gantungan kunci, apalagi yang ini mahal banget.”
“Nggak mahal, Ma. Ini cuma dua puluh lima ribu.”
“Untuk benda kecil serupa gantungan kunci, harga segitu mahal, Cika! Kamu jangan boros! Abis dong gajimu nanti kalau kamu banyak beli-beli yang tidak perlu!” ibunya tampak tak setuju. Sudah tiga bulan, Cika menjadi tenaga pendidik honorer di sekolah dasar dimana Bunda Dewi menjadi guru sekaligus wakil kepala sekolah. Bunda Dewi itu kakak sulung Rita, ibunya Cika. Nominal gaji honor yang diterima Cika saban bulan tidaklah besar, hanya tiga ratus lima puluh ribu. Itu lumayan menurut Bunda Dewi, untuk honor seperti Cika yang hanya lulusan SMA. Cika memang belum lama keluar dari SMA. Ia ingin melanjutkan kuliah tapi terkendala dengan biaya lantaran meski ayah kandungnya seorang yang kaya raya, tapi selain tinggal jauh di mata juga kurang bertanggung jawab. Bila anak perlu biaya, maka ayah kandungnya yang bernama Hari Sutawijaya senang sekali mempersulit dan ingin selalu dikunjungi. Tidak mau sadar sendiri mengirim uang pada anak. Urusan transfer-mentransfer bukan hal yang sulit di masa sekarang. Lantara hal itu pulalah yang terkadang membuat Cika malas menghubungi ayah kandungnya. Sekadar meneleponnya pun kerap enggan. Sementara ibunya sudah lama menikah dengan Dedi Gumilar. Lelaki yang kini menjadi ayah tirinya dan biasa dipanggil ‘Papa’ olehnya. Ibu dan ayah kandungnya bercerai semenjak Cika kecil, tatkala ia masih berusia empat tahun. Cika sudah terbiasa jarang bersua Hari Sutawijaya apalagi kini ayah kandungnya itu tinggal di tempat yang jauh. Sebuah kota kabupetan di provinsi lain. Bahkan,Cika sudah merasa dekat dengan ayah tirinya yang jelas-jelas kerap bersua.
“Gantungan kunci ini beda dengan yang lain, Ma.” Lalu Cika menjelaskan, bilamana gantungan kunci yang baru dibelinya itu hilang atau lupa menaruh, bisa dicari dengan cara mulut bersiul-siul, tentu saja bersiulnya mesti di tempat-tempat yang sekiranya gantungan kunci itu berada di sekitar situ. Semisal, bila gantungan kunci itu diduga ada di kolong tempat tidur, atau dekat tempat tidur, cukup mendeteksinya dengan bibir sembari mulut bersiul-siul merdu. Bila benda itu ada di kolong tempat tidur, tentu akan menyahut dengan suara yang sama persisi juga lampunya itu akan menyala, memberi kode pada kita dan meyakinkan keberadaannya. Begitu, ucap Cika sembari tersenyum. Ia berucap menirukan gaya sales-sales muda dan cantik yang pandai merayu calon pembeli.
“Bila gantungan kunci itu hilangnya di kolong lemari pakaian, gimana?” tanya ibunya.
“Ya, kita harus jongkok dekat kolong lemari itu sembari bersiul-siul,” Cika menegaskan.
“Macam-macam pula,” kata ibunya sembari tertawa renyah. “Ada-ada saja manusia bikin barang biar laku, biar banyak yang beli.”
“Kan Cika pelupa, terlebih kunci motor. Bila ada gantungan ini kan… nanti kunci motor pun otomatis bakal ketemu.”
“Jangan pelupa atuh, Cika…” kata ibunya mengingatkan.
“Pelupa itu kelebihan Cika, Ma... hehehe,” Cika terkekeh.
“Jadi… gantungan baru ini buat kunci motormu?”
“Ya, Ma. Tapi kapan-kapan.”
“Lho...”
“Buat beberapa hari ke depan, mau Cika pakai dulu, sementara buat gantungan kunci pintu kamar.”
“Tidak usah kamu kunci kalau pintu kamar, Cika!”
“Nggak mau, ah... pingin dikunci!”
“Kayak kamu ini anak kos saja!”
“Iya, Ma... kan itung-itung belajar jadi anak kos. Cika kan pingin kuliah di kota. Pingin kos... punya kamar sendiri, pintunya pun harus dikunci, biar aman... tentu harus membiasakan diri menguncinya saban keluar kamar. Benar kan, Ma?”
“Ya... kalau kamar kos. Tapi di rumah ini... kan rumah kamu sendiri! Masa pintu kamar saja dikunci! Apa kamu tidak percaya sama Mama dan takut Mama masuk?”
“Mama boleh masuk... nanti kuncinya Cika titip Mama. Tapi hanya Mama yang masuk. Atau Papa boleh lah. Yang lain nggak boleh.”
“Di rumah ini cuma kita bertiga. Papa pun seringnya tidak di rumah. Kecuali Teteh. Ya, dia. Dia paling yang berani masuk kamarmu. Nanti Teteh ke sini, tak bakalan bisa masuk kamar.”
“Kunci saja, ah... Ma. Abis biar aman, Ma kalau Pino ikut sini kan nggak bakal bisa masuk kamar Cika.”
“Lho, emang kenapa?”
“Tangannya nggak mau diem tuh!” kata Cika. Pino itu anak kakak misannya Cika yang mereka panggil ‘Teteh’ itu. Ibunya pun jadi tertawa. Cika memang suka cemberut bila mendapati kamarnya acak-acakan.
“Sini, Ma!” tubuh Cika beranjak dari tempat duduk lalu masuk ruang tamu. Ibunya mengikuti lalu memberikan gantungan kunci itu, kemudian Cika melemparnya ke kolong meja. Ia ingin berdemonstrasi depan ibunya menirukan pula tingkah sales tadi di sekolah. Cika bersiul-siul dengan riang, lalu ada suara sahutan dari kolong meja. Gantungan kunci itu menyahut. Berbunyi nyaring serupa siulan yang ditiup Cika. Rita menatap nyaris tak berkedip. Merasa takjub. Pantas anaknya tertarik ingin memiliki benda kecil itu tersebab unik, beda dengan gantungan kunci lainnya.
“Hemmmm, baiklah... gimana kamu saja, Cika,” ibunya meminta Cika bangkit dari jongkok. “Mama percaya. Sekarang, kamu segera ke kamarmu, ganti pakaianmu, solat zuhur terus ke ruang makan, nikmati makan siang, ya... tapi Mama nggak bisa menemani, maaf kalau Mama mendahuluimu makan ya, tadi tak tahan perut lapar.”
“Mama mau ke mana?”
“Mau ke luar rumah dulu, ada perlu sama Bu Husni.”
“Lama?” Cika menatapnya.
“Biasa.”
“Ah, Mama suka lama kalau ketemu sahabat,” mata Cika mendelik.
“Sebentar, ko. Ada perlu.”
“Jangan pergi, ah Ma... temani Cika di sini. Cika nggak mau sendirian di rumah. Takut.”
“Takut apa?”
Cike terdiam sesaat. Melintas di benaknya bayangan Ma Neneng yang meninggal seminggu lalu. Ia takut sekali bila arwah perempuan itu menampakkan wujudnya.
“Ko diem?”
“Mmmm, Cika takut Ma Neneng.”
“Kamu ini masih saja ketakutan!” Ibunya geleng-geleng kepala. Cika anak semata wayang. Cika yang manja meski usianya sudah delapan belas tahun. Cika yang masih kolokan sudah beberapa bulan aktif menjadi tenaga pendidik di sebuah sekolah dasar. Seharusnya bergaul dengan banyak guru membentuk pribadinya lebih kuta, tidak menjadi sosok yang selalu penakut terutama pada semua yang bertalian dengan dunia misteri. Meski terkadang ia suka menantang keberadaan hantu, tapi di sisi lain, ia terlalu berlebihan bila takut dengan sesuatu seperti halnya ketakutannya pada arwah-arwah. Atau orang-orang yang sudah meninggal yang tak mungkin hadir bagi orang yang tidak percaya. Kembali lagi pada orang-orang yang akan memilih bagaimana pendiriannya berkiblat ke rasa takut atau tidak. Juga hubungan antara percaya dan tidak percaya. Beberapa kali ibunya pernah mengingatkan itu padanya.
Sementara Ma Neneng itu termasuk saudara dekatnya. Perempuan berusia lima puluh lima tahun itu pengasuh Cika sedari bayi. Perempuan itu sangat menyayangi Cika layaknya anak sendiri. Selalu memanjanya, meladeninya dengan penuh perhatian. Namun setelah meninggal, Cika mengalami ketakutan yang sangat. Rasa kehilangan berangsur hilang berganti takut yang lagi-lagi selalu berlebihan. Menganggap arwah Ma Neneng berada di dekatnya dan hendak menakut-nakutinya.
Hampir tiap malam, Cika ingin ditemani tidur oleh ibunya. Lagi-lagi, dalih takut. Wajah Ma Neneng terbayang-bayang. Tersebab nyaris saban hari mendiang Ma Neneng acap datang ke rumahnya hingga berlama-lama, bahkan sesekali menginap dan tidur bersamanya. Setelah perempuan itu mengembuskan napas terakhirnya, perasaan Cika yang bukan hanya kehilangan dan sedih juga terus dikepung rasa takut yang luar biasa. Bila malam, ia acap mendengar suara batuk di ruang tamu, suara Ma Neneng. Cika hapal betul. Atau juga suara gayung yang disimpan di atas bak mandi, padahal malam-malam ia ketika mendengar, ibunya ada di sampingnya, menemaninya tidur. Kamar depan kosong lantaran ayah tirinya bekerja di pusat kota dan pulang seminggu sekali, saban Sabtu malam. Dan baru kembali lagi ke kota di Senin pagi.
Gantungan kunci tergelayut di gagang pintu kamar Cika. Cika pun pergi ke kamar mandi. Tubuhnya sangat gerah. Di dalam kamar mandi, mulutnya bersenandung. Usai mandi, ia keluar dari ruang sempit itu. Handuknya yang berwarna merah hati membelit tubuhnya yang putih mulus. Lalu ia pun masuk kamarnya. Mulutnya memanggil ibunya. Tak ada sahutan. Dahinya berkerut.
“Mamaaaaaaa! Mamaaaaaaaaaaaaaa!” sekali lagi, ia memanggil malah dengan suara keras. Yang dipanggil tak kunjung muncul. Mungkinkah tengah solat zuhur? pikirnya. Tapi ia tahu betul ibunya itu bila solat suka tepat waktu, tak mau terlambat semenit pun. Mendengar azan, meski tengah melakukan aktivitas lain, suka langsung meninggalkan kegiatan itu dan segera berwudlu.
Cika melangkahkan kaki, ke luar kamarnya, menuju kamar depan. Kepalanya melongok lewat ambang pintu dimana pintunya tidak tertutup rapat. Terbuka sedikit. Namun ibunya tak ada di dalam. Ia pun kembali melangkah dengan langkah yang agak cepat. Masuk ruang satu ke ruang lainnya. Semua ruangan termasuk kamar mandi, ia masuki, tapi ibunya tidak ada. Seketika, bulu kuduknya merinding di siang hari. Tubuhnya sedikit gemetar. Bukan lantaran masih terasa dingin dengan guyuran air bak, tapi teringat tubuh Ma Neneng yang terbujur kaku di hari terakhir. Terlebih Ma Neneng menghadapi sakratul maut dengan tampak tersiksa. Cika berada di dekatnya ketika itu sampai perempuan tua yang sangat disayanginya itu benar-benar mengembuskan napas terakhir, meninggalkan Cika yang langsung menjerit lantaran tak rela.
Rasa takut melumuri pikirannya. Ia sadar tengah sendiri di rumah. Ia pun sadar siang hari. Kata orang, hantu tak ada pada siang hari. Namun ia percaya bila hantu itu ada kapan saja, tak harus malam hari. Siang hari pun mungkin saja. Buktinya, rasa takut mengusiknya. Ia menyimpulkan hantu tengah ada di sekitarnya. Dengan menangguhkan rasa malu, seperti melihat bayangan Ma Neneng. Cika melangkah lagi dan mengecek ke dalam kamar depan. Ingin meyakinkan. Namun, memang ibunya tak berada di kamar depan. Rasa takut menggulungnya. Kaki-kakinya bergerak cepat menuju pintu depan. Membukanya dengan kasar. Lalu berlari ke arah timur, tapi masih sekitar teras rumah yang hampir mengitari sebagian rumahnya. Tampak dari kejauhan, Rita tengah berjalan menuju pagar rumah tetangga. Rita baru dari rumah tetangga satunya dan hendak berkunjung lagi ke rumah tetangga lainnya. Rumah Bu Husni, perempuan yang menjadi teman baik ibunya selama ini. Mulut Cika tak sadar teriak. Rita seketika menghentikan langkah. Lalu menolehkan kepalanya. Mendadak rasa kesal menjalari perasaan perempuan itu tahu anak semata wayanganya berlaku aneh-aneh dan tak wajar. Keluar rumah dengan tubuh hanya berhanduk. Seperti anak kecil saja. Anak kecil pun terkadang malu terkecuali yang belum mengerti etika. Cika kembali teriak, malah merajuk dengan memohon sangat agar ibunya membatalkan niat ke rumah Bu Husni. Cika hampir menangis dan terus memohon.
Ibunya geleng-geleng kepala. Lalumembalikkan tubuhnya, Meski sedikit menggerutu, ia kembali ke rumah. Lalu sedikit memarahi anaknya. Katanya, tak punya malu ke luar rumah dengan tubuh telanjang.
“Cika nggak telanjang, Mama!”
“Telanjang!”
“Pakai handuk!”
“Tak ada pengaruh! Orang akan menganggapmu gadis yang tak baik, Cika!”
“Maaf, tapi Cika terpaksa, Mama!”
Mereka bicara di ruang tengah. Dekat ambang pintu kamar Cika. Lalu menghampiri ibunya dan duduk di dekat perempuan itu yang masih menahan kekesalan pada anaknya.
“Apa salahnya kamu pakai baju dulu! Jangan main lari ke luar! Ada apa sih?”
“Cika takuuuut!” seru Cika.
“Lagipula… tak ada hantu di siang hari!” ibunya mendelik lalu tubuhnya berbalik dan duduk di sofa. Cika pun masuk kamar. Segera mengenakan pakaian. Atasan kaus putih dan bawahan celana jins hitam. Siang hari tak mau sendiri di rumah. Semenjak Ma Neneng meninggal dunia, tingkah Cika membuat ibunya khawatir. Terlalu mendramatisir keadaan. Ketakutannya yang terlalu berlebihan membuat ibunya kerepotan. Meski saban hari, ibunya dilarang pergi ke luar rumah meski sebentar. Diminta terus menemani.
“Cikaaaaaa… kamu ini jangan menjadi gadis yang sangat penakut!”
“Ma... bilang sama Papa... pulang saban hari,” ucap Cika tanpa memedulikan ucapan ibunya. “Biar di rumah ramai, Cika jadi tenang. Dan rumah pun tak sepi.”
“Papa cape dong kalau harus pulang-pergi. Kamu jangan aneh-aneh, minta gini-gitu sama Papa... biarin Papa kamu itu bekerja dengan tenang... jangan lantaran kamu kini ketakutan didatangi hantu... menyuruh-nyuruh orang tua kerap pulang,” Cika meski acap memanjak anak semata wayangnya tapi bila saban hari dan malam melihat Cika selalu dihinggapi rasa takut, akhirnya kesal juga.
Sudah berulangkali diingatkan agar jangan percaya pada sesuatu yang mustahil. Dijelaskan oleh ibunya, tak akan ada orang mati bangun lagi. Bila mendengar suara-suara yang menakutkan atau melihat penampakan makhluk halus, itu hanya setan yang menjelma menjadi Ma Neneng. Yang sudah meninggal, boro-boro ingin menghantui atau menakut-nakuti orang hidup, tapi tengah menghadapi persoalan di alam kubur tentunya. Namun, Cika tak memedulikan ucapan ibunya.
“Mestinya kamu... sebagai orang yang pernah paling disayang mendiang Ma Neneng, kamu mengiriminya hadiah, sering mendoakannya, baca surat Yassien saban malam Jumat. Kamu harus rajin beribadah. Iniiiii.... semenjak Ma Neneng meninggal dunia, kamu malah malas beribadah. Lalai solat alasan tak berani ke kamar mandi sendiri. Masa sih Mama harus antar terus ke kamar mandi! Kebangetan kamu ini!”
Semenjak bada Isya, Cika merajuk pada ibunya untuk segera masuk kamar. Kamar Cika. Mengurung dalam kamar. Rita menurutinya. Lalu tidur. Sementara mata Cika belum terpejam. Ia masih belum mengantuk. Matanya tertuju pada gantungan kunci. Tampak bergoyang-goyang sendiri. Cika merapatkan tubuhnya pada tubuh ibunya yang sudah terlelap semenjak dua jam ke belakang. Pikiran Cika mengembara pada yang sudah tiada. Pada Ma Neneng. Wajah perempuan tua itu terus bermain-main di pelupuk matanya. Perasaannya, masih berada di dalam rumah. Sosok itu tengah menatap ke arah kamarnya. Cika ingin turun dari pembaringan lalu mengunci pintu kamar yang belum sempat dikuncinya. Namun rasa takut menghinggapinya. Ia pun sedari tadi ingin buang air kecil tapi ditahannya, lantaran tak berani ke kamar mandi sendiri. Hendak membangunkan ibunya seperti malam-malam sebelummya, tapi semenjak siang tadi ia dimarahi, ia pun jadi tak berani mengusik ibunya. Akhirnya, ia menahannya sembari memeluk tubuh ibunya yang memunggungi.
Matanya sengaja dipejamkan, tapi susah sekali. Malah ingin membukanya. Lampu kamar sengaja tak dimatikan. Terang meski bukan lampu neon. Matanya sesaat melirik ke arah bekker di atas meja belajar. Pukul dua belas tepat. Suara daun gemerisik dari pohon samping rumah. Bulu kuduknya merinding. Kedua lengannya erat memeluk punggung ibunya yang bergeming. Cika didera rasa gelisah. Telinganya menangkap suara langkah kaki di ruang tamu lalu berhenti depan pintu kamar. Cika memejamkan mata berusaha mengusir rasa takut yang menggulungnya. Keringat mulai membasahi tubuhnya yang dibalut baju tidur tipis. Lengannya menggerayangi selimut yang menutup tubuh ibunya, ditariknya sedikit agar ikut menutupi tubuhnya yang sebelumnya tak berselimut. Ujung selimut ditarik ke atas, menutup kepalanya. Mulutnya berguman sedikit. Cika Sagita, kamu jangan penakut, gumamnya menyebut nama lengkapnya sendiri.
Suara langkah kaki terdengar lagi. Dari depan pintu kamar depan menuju ruangan belakang. Ke kamar mandi, tebak Cika. Suara langkah kaki menghilang. Namun suara pintu kamar mandi terdengar. Cika tak begitu gelisah. Namun tak berapa lama kemudian, jelas sekali terdengar olehnya, suara gayung yang ditaruh di atas bak mandi. d**a Cika berdebar keras. Kaget luar biasa. Ia menduga hantu Ma Neneng mungkin saja akan mendatangi kamarnya. Ia baru sadar kalau pintu kamarnya belum dikunci. Usai rasa gelisah menipis, tubuhnya dipaksakan bangkit. Tatapan memusat pada pintu, pada gantungan kunci baru. Matanya mendadak melotot ketika melihat benda itu bergoyang-goyang sendiri. Sekitar beberapa detik. Belum lenyap rasa keterkejutannya, jantungnya nyaris lepas ketika warna merah pada ujung benda lonjong itu menyala lalu berbunyi serupa siulan mulut.***