Jiwa Penghianat

1767 Kata
Jiwa Penghianat “DIANDRA...” ucap Cika di telepon selularnya. “Ya, Cik...” “Kamu di kampus?” “Nggak, Cik. Aku di pondokanku. Di kamarku. Kenapa?” “Aku lagi bete dan pusing pikiranku juga.” “Kamu kenapa? Ada masalah?” Cika terdiam. “Cika, kamu... lagi di kosan kamu?” “Ya, Diandra. Hari ini aku lagi nggak ada jadwal kuliah. Aku mau pulang kampung, tanggung, cuma sehari. Mau berdiam diri di kosan juga, malas. Bosan, Diandra.” “Mmmm, teman satu kamarmu itu?” “Widi?” “Ya.” “Ada. Lagi di kamar mandi. Mungkin mau siap-siap pergi.” “Jadi, kamu malas karena tak ada teman di kamarmu?” “Bukan itu! Aku nggak peduli kalau. Sendirian atau tanpa dia. Justru yang bikin aku bete, aku malas lihat dia.” “Lho, dia nanti kan pergi dan kamu nggak akan lihat.” “Tapi nanti dia datang lagi dan aku pasti mual lagi liat dia. Males bicara sama dia.” “Hemmm, musuhan lagi? Pasti masalah cowok nih,” ucap Diandra mencoba menebak. Ia dan Cika berteman baik dalam beberapa bulan ini meski mereka tidak satu kampus. Mereka bersua di sebuah pondokan lain tanpa sengaja ketika keduanya sama-sama tengah mengunjugi teman kuliah masing-masing yang kebetulan menghuni pondokan itu. lalu Cika dan Diandra berkenalan, saling bertukar nomor HP, akhirnya mereka cukup akrab. Bahkan saling menyimpan kepercayaan hingga acap saling berbagi cerita atau menceritakan masalah-masalah masing-masing yang tengah menimpa mereka. Cika bungkam. Ia ingin segera pergi dari kamar. Namun masih bingung harus ke mana. Ia pun sebenarnya ingin curhat pada orang yang tepat seperti Diandra tapi tak mau mengganggu kesibukan Diandra yang akan pergi kuliah. “Oke, sepertinya...saat ini, kamu butuh teman bicara,” ucap Diandra akhirnya. “Begitulah...” “Dan orang yang tepat menurutmu saat ini, sepertinya... aku kan?” Cika mendesah. “Kamu benar, Diandra.” “Kamu mau curhat kan?” “Ya.” “Kalau begitu, kamu datang saja ke kamarku, karena kalau aku nggak mungkin ke rumah kos kamu. Aku risih kalau harus ketuk dulu pintu dan ibu kos kamu yang buka. Lalu aku harus lewat ruang tengah, ruang lain lagi, ketemu pemilik rumah, anak-anaknya, saudara-saudaranya yang mungkin kebetulan tengah ada di situ. Kemudian... setelah banyak berbasa-basi, aku baru bisa sampai ke kamarmu. Nanti pas mau pulang... melewati lagi ruang demi ruang, ketemu orang-orang di rumah itu lagi. Basa-basi lagi, pamit lagi. Ah, malas benar. Jadi, sebaiknya, kamu saja yang ke sini, oke?” “Justru begitu, aku yang ingin ke pondokanmu. Tapi... kamu kan mau kuliah, aku tahu jadwal kuliahmu di hari Rabu, ya pukul sebelas apa dua belas.” “Pukul sebelas tepatnya, dan sekarang baru pukul delapan. Kamu mau sarapan?” “Nggak. Aku sudah sarapan di sini.” “Oke, kalau begitu tutup HP-mu, kamu cepat naik angkot dan ke pondokanku.” “Kamu nggak akan pergi kuliah?” “Sekarang kan baru pukul delapan, aku kuliahnya masih tiga jam lagi. Masih ada waktu kalau kamu mau ngobrol dan curhat sama aku. Ayo cepat!” “Baiklah!” tubuh Cika yang sebelumnya menelungkup dengan tangan kiri memegang telepon selular dan ditempel di telinga kiri, segera bangkit. Penampilannya sudah rapi karena ia sudah mandi semenjak pukul enam pagi. Ia pun tak perlu sisiran lagi. Dengan cepat, ia keluar kamar sekaligus menghindari pertemuan dengan Widi yang sebentar lagi mau keluar dari kamar mandi. Lima menit kemudian, Cika sudah berada di luar rumah. Lalu berjalan menyusuri gang, tiba di jalan besar. Mencegat angkot, sepuluh menit kemudian sudah tiba depan pondokan Diandra yang beraad di pinggir jalan utama. Masuk pekarangan. Melempar sedikit senyuman pada satpam di situ. Kaki-kaki Cika menaiki tangga dan tibalah depan pintu kamar Diandra. “Mukamu kayak setrikaan,” ucapan Diandra menyambut kedatangan sahabatnya pagi itu. Cika duduk lesu di pinggir tempat tidur. Diandra di sebelahnya. Cika pun langsung mengungkapkan kekesalan juga sakit hatinya akan sikap Widi. Diandra dengan santai menanggapinya. Yang membuat hati Cika merasa tak nyaman lanaaran Widi yang bermuka dua lagi. Di depan seolah tak ada urusan dengan Dandi, tapi di belakang sembunyi-sembunyi. Janjian berdua dengan cowok itu. Cowok yang pernah menjadi pacar Cika di masa SMA. “Sebenarnya kamu nggak punya hak melarang Widi berpacaran sama siapa pun, tapi dalam hal ini... aku tak menyalahkanmu. Justru, aku pun sependapat denganmu jika yang dilakukan Widi itu salah besar. Cowok itu banyak. Dan kamu juga tahu, Widi bisa pacaran dengan cowok yang dia suka atau menyukai dia, katanya lumayan banyak cowok yang suka Widi. Tapi tidak dengan Dandi, mantan kamu,” ucap Diandra. Sesaat Cika diam. “Ko Widi gitu terus sih kelakuannya? Sebelumnya ada main sama... siapa tuh yang mantan kamu itu, yang katamu orangnya ganteng banget itu, yang satu kampung denganmu, yang juga satu sekolah denganmu itu.” “Rio Dewantara,” jawab Cika. “Nah itu!” “Tapi mereka tak jadi pacaran. Hanya sempat janjian tapi tak sampai jadian. Aku langsung gercep dan Rio pun pada akhirnya sadar jika sikapnya itu telah melukai perasaanku. Lagipula, yang mulai suka itu Widi ke Rio, bukannya Rio ke Widi. Namanya cowok, ada cewek agresif ya main sambar.” “Hey hey hey, tak semua cowok begitu, Cik! No no no! Nggak semua cowok suka main samber meski ceweknya yang agresif duluan! Contohnya... cowokku, dia super setia dan tahan godaan meski cewek pengganggunya sepuluh kali lipat cakepnya dariku, hehehehe...” Cika cemberut. Mukanya melengos. Hatinya memang tengah terbakar karena Widi yang bermain di belakang bersama Dandi. Teringat Dandi, Cika jadi menyesal memberi peluang datang ke kamar kos-nya. Dan bersua Widi. Cowok itu mendapat nomor kontak Cika dari saudara Cika di Garut. Lalu mengirim pesan pada Cika. Dandi kuliah di Bandung dan kos juga. Ia ingin main ke tempat kos Cika dan Cika tanpa berpikir panjang mengizinkan. Lalu ketika Dandi datang, ada Widi. Mereka pun berkenalan. Terlebih merasa satu kampung halaman juga dari Garut, dari kota kecamatan yang sama. Jadinya, mereka tak memerlukan waktu lama, bisa akrab. Di lain waktu, tanpa sepengetahuan Cika, Dandi datang ke kamar kos Cika dan Widi ketika Cika tak berada di sana. Dandi dan Widi berdua saja. Merasa mendapat kesempatan. Pertemuan demi pertemuan pun terjalin di luar rumah Bu Iis. Sudah menjadi jiwa penghianat, Widi tetap penghianat. Namun penghianat itu tak selamanya bisa mewujudkan keinginannya apalagi dengan mengelabui orang. Anak remaja Bu Iis memergoki Dandi dan Widi lagi jalan berduaan di beberapa tempat di kota kembang. Lalu melapor pada Cika. Dari situ, terbongkar penghianatan Widi selama ini. “Sudahlah Cik, Widi itu bukan tipikal teman sekamar yang baik. Begitu menurutku.” “Ya, Diandra. Setelah kesalahannya tempo hari dan dia minta maaf juga berjanji nggak akan mengulangi kesalahannya lagi, tapi ternyata sekarang dia mengulang lagi, kesalahan yang sama. Meski pada cowok yang berbeda.” “Justru pada cowok yang berbeda, kita jadi lebih mengenal karakter Widi yang saban ada cowok yang dekat sama kamu, dia embat... nanti dia kana gitu terus, Cika.” “Prinsip dia, katanya... toh bukan pacar aku, tapi status mantan. Baik Rio maupun Dandi.” “Menurutku, Widi tetap salah. Karena dia tak menghargai pertemanan kalian. Meski semisal si Rio atu si Dandi memang cinta sama Widi, tapi nggak seharusnya Widi menerimanya.” “Buruknya, Rio dan Dandi juga tipikal cowok yang suka menyakiti hati cewek baik cewek itu masih menjadi pacar atau pun sekadar mantan. Ya, apalagi mantan, mungkin bagi Rio dan Dandi pun... aku hanya mantan. Jadi dia bisa bebas berbuat sesuka hati dan begitu saja pacaran dengan cewek yang disukainya. Kalau sama cewek lain, yang tak kukenal.. atau kukenal tapi cewek itu bukan temanku sih, aku tak masalah... tapi Widi itu teman sekamarku dan kuanggap juga sahabatku,” tutur Cika terus berusaha menumpahkan kekesalan dan berharap dengan curhat pada Diandra, rasa sakit hatinya pun akan sembuh, minimalnya berkurang. “Ya, aku mengerti. Cika, boleh aku kasih saran lagi sama kamu?” Cika mengangguk. “Kamu jauhi saja Widi. Dan jangan beri peluang lagi mendekatimu.” Cika mendesah. “Ya, Diandra. Tapi bagaimana aku bisa jauhi dia kalau kami masih satu kamar.” “Kalian pisah kamar,” saran Diandra. “Di rumah Bu Iis, tak ada kamar lain lagi yang kosong. Lagipula, kamu tahu sendiri... aku dan Widi diberi tumpangan gratis atas permintaan Bu Iis.” “Hemmm, bingung kalau begitu. Berarti kamu tergantung juga sama Bu Iis. Kecuali si Widi yang pindah.” “Widi nggak ada gelagat pingin pindah. Ada atau pun nggak ada masalah denganku.” “Dih... bagaimana jadinya kalau begitu? Masa sih kamu yang harus pindah kos.” “Aku sih mau pindah kos, Diandra. Tapi masalahnya... uangnya darimana kalau aku kos? Kalau aku ada uang buat kos... sudah dari beberapa bulan lalu aku pindah ke pondokan. Aku sudah cari-cari kan waktu itu juga. Malah kamu juga suka rekomendasikan pondokan yang mana.” “Cika... semisal, aku pinjamin kamu uang buat bayar sewa kamar, kamu... mau?” tanya Diandra hati-hati. Diandra memang anak orang kaya. Di Jakarta, usaha ayahnya terbilang sukses. Namun Diandra bukan gadis yang sombong. Ia mau berteman dengan siapa saja termasuk dengan Cika yang acap mengalami kesulitan keuangan. Kepala Cika menggeleng. “Nggak dulu, Diandra. Aku memang ingin pindah. Aku juga belum punya uang, tapi aku harus cari uang agar bisa pindah dari rumah Bu Iis.” “Kamu mau minta uang sama ayahmu? Katamu, ayahmu mulai tak ada meneleponmu lagi?” Cika mengangguk. “Benar. Tapi aku mau ke rumah kakek dan nenekku saja. Semoga ada kabar Papa dan dia mau menemuiku lalu kasih uang untuk bayar kos. Selain itu, awal semester baru tinggal sebulan lagi. Sekalian, aku mau minta biaya untuk bayar kuliah.” “Okelah kalau begitu,” Diandra memegang lengan Cika sembari menatapnya. “Kalau kamu mulai nggak nyaman sekamar dengan Widi kamu bisa menginap di sini.” Cika diam. “Malam ini. Mau ya? Biar aku juga ada teman ngobrol, Cik.” “Baiklah, Diandra,” bibir Cika mengulas senyum. Sekitar pukul setengah sebelas, Diandra pergi ke kampus. Meninggalkan Cika sendirian di dalam kamarnya. Sore hari, Diandra baru pulang dan membawa nasi bungkus juga jus jeruk buat Cika. Usai Cika makan, Diandra pergi lagi. Alasan mau mengerjakan tugas kelompok di pondokan teman sekelasnya. Hingga pukul sembilan malam, Diandra belum kembali. Cika mendadak resah. Ia merasakan aura lain di kamar temannya itu. Seperti ada sosok makhluk halus yang tengah menatapnya dari pojok kamar. Bulu kuduk Cika pun sedikit-sedikit merinding. Tiupan angin yang entah dari mana datangnya, menerpa wajah dan tubuhnya. Bahkan di tengkuknya, ia merasakan tiupan yang berbeda. Yang membuat bulu kuduknya kian merinding. Tetiba, lampu kamar mendadak mati. Kamar gelap. Dan sosok di sutu kamar itu....***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN