Perjanjian pranikah itu akhirnya disepakati dengan tiga point utama yang ditulis oleh Mulya dan ditambahkan dengan poin milik Yuri yaitu Mulya akan mendukung karir dan keinginan Yuri, serta tidak membatasi kegiatannya.
Yuri yang semula mengira itu sudah selasai dengan tanda tangan masing-masing, ternyata baru tahu perjanjian pra nikah harus disahkan oleh notaris. Ternyata cerita di n****+ sangat mempengaruhi kehidupan nyatanya.
Yuri kira lagi, urusan perjanjian pranikah sudah selesai setelah notaris mengesahkan, ternyata Yuri dan Mulya harus menghadapi sidang terbatas keluarga di ruang tamu rumah Mulya.
“Kalian memangnya nggak percaya sampai harus membuat perjanjian pranikah segala?” tanya Mama penuh selidik layaknya hakim mencari kebenaran.
“Zaman sekarang perjanjian pranikah udah lumrah sekali, Ma. Bukannya nggak saling percaya, cuma biar jelas aja batasan-batasan dan hak-hak kita.”
“Batasan apa? Hak apa? Orang yang sudah menikah itu ya nantinya jadi satu. Nggak ada batasan lagi.”
Mama sebenarnya orang yang cukup terbuka dan fleksibel, tapi tetap saja dia seperti orangtua pada umumnya yang kadang masih kolot menyangkut beberapa hal. Mau dijelaskan bagaimana pun, kalau menurutnya sudah salah, ya salah. “Iya, Ma. Karena nantinya kami jadi satu itu, makanya perjanjian pranikah jadi penting. Bagaimana pun kami tetap dua orang berbeda, kami butuh menyepakati dulu hal-hal yang beda itu supaya nggak jadi konflik di kemudian hari. Membuat perjanjian ini bukan berarti kami nggak menganggap serius pernikahan ini, justru ini salah satu bentuk tanggung jawab kami.”
“Kamu kok ngajarin Mama yang sudah 34 tahun menikah tanpa perjanjian pranikah-pranikahan soal pernikahan sih, Ya?”
Yuri bisa mendengar helaan napas Mulya. Yuri meliriknya sekilas kasihan. Mulya sudah bicara panjang dan lebar tapi gagal meyakinkan yang diajak bicara. “Hmm... Tante, sebenarnya Yuri yang mengusulkan ini,” cicit Yuri percaya diri tidak akan ada yang tega menyalahkannya. “Kayal yang Mas Iya bilang, banyak calon pengantin yang membuat perjanjian pranikah, jadi Yuri kira nggak ada salahnya kami membuat juga.”
“Eyang mau tahu apa isi perjanjian kalian itu. Mana, Eyang baca sendiri.”
Sialan, Yuri lupa, meski semua orang di sini menyukainya, ada satu orang yang tak segan-segan selalu berusaha membantainya. Yuri melirik Mulya cemas, sebelum menjawab pertanyaan Eyang Weni. “Itu... Seperti peranjian pranikah kebanyakan Eyang, tentang pemisahan harta sebelum menikah, kan sebelum menikah sama aku Mas Mul sudah punya aset lumayan.” Dengan menyebutkan keuntungan bagi Mulya, harusnya tidak ada masalah, bukan?
“Itu saja?”
“Ada beberapa lagi, Eyang,” jawab Yuri. “Di perjanjian itu juga jelas mengatur soal warisan—“ Yuri terperanjat kaget mendengar Eyang mendecakkan lidah kencang.
Semua orang menatap Eyang penasaran. “Berani-beraninya kalian ngomongin warisan saat orangtua kalian masih sehat wal afiat?!” Eyang menunjuk-nunjuk wajah Yuri, Yuri langsung beringsut berlindung di balik lengan Mulya. “Kalian ingin orangtua kalian capat mati,ya?
“Bisa-bisanya anak muda masih pada sehat, bahas-bahas soal warisan. Orangtua kalian saja Eyang yakin belum memutuskan hartanya mau diberikan ke kalian atau mau dibawa ke kuburan. Kurang ajar sekali kalian!”
“Eyang—“
“Diam kamu!” hardik Eyang seketika membuat Mulya menciut. Wajah Mama yang tadinya paling galak, sekarang tampak menyesal membawa masalah ini ke rapat. “Eyang nggak suka ya kalian kelewat batas. Sudah melanggar pamali nikah sama tetangga, sekarang bahas-bahas warisan padahal orangtuanya masih sehat. Nanti orangtua kalian mendadak meninggal bagaimana?!”
“Astagfirullah hal adzim,” Mama mengetuk kepala dan meja kayu sebanyak tiga kali sambil melirik Papa cemas.
Yuri hanya bisa menunduk. Tahu begini Yuri tidak akan sok-sok mengusulkan perjanjian pranikah. Selain membuatnya tampak bodoh di depan Mulya, kini usahanya merebut hati Eyang Weni makin berantakan jadinya.
Sidang dibubarkan tanpa kesimpulan siapa yang salah, karena semua orang, kecuali Mulya kini merasa was-was, terdoktrin malapetaka melanggar pamali yang selama satu jam penuh dipaparkan Eyang.
Yuri pulang dengan langkah lunglai, ia jadi takut masuk ke dalam rumah karena Ayah sedang memancing di pesisir.
Bagaimana jika besok Ayah tidak pulang karena perahunya dihantam ombak di tengah laut? Lalu beberapa hari kemudian pulang terbungkus kain kafan dalam peti yang tertutup rapat lantaran tubuhnya sudah tidak utuh lagi? Tidak!
“Heh, Yul. Ngapain bengong di tengah jalan?”
Yuri mengedarkan pandang mencari di arah mana suara Mbak Rini berasal. “Mbak Rini udah mau pulang?” tanya Yuri menghampiri Mbak Rini yang baru membuka gerbang.
“Iya. Kenapa muka kamu?” tanya Mbak Rini kemudian dilanjutkan dengan berbisik, “Gara-gara Eyang Weni lagi?” Sebagai kantong pembuangan sampah keluh dan kesah Yuri, Mbak Rini mudah saja menebak isi kepala Yuri.
“Bisa iya bisa tidak.”
“Maksudnya?”
“Mbak Rini percaya sama pamali?”
“Hah?” Mbak Rini belum siap dengan lompatan topik. “Kenapa kamu tiba-tiba nanyain pamali?”
“Jawab aja Mbak Rini percaya, nggak?”
Mbak Rini mengetuk-ngetuk dagu seolah berpikir. “Ya percaya nggak percaya sih, Yul. Dulu ada tetangga di kampung Mbak yang nekat nikah padahal itung-itungan wetonnya nggak cocok, terus suaminya meninggal pas dia lagi hamil delapan bulan.”
Jantung Yuri berpacu kencang. “Suaminya meninggal?” ulang Yuri sambil membayangkan dirinya ada di posisi orang itu, sedang hamil besar tapi ditinggal Mulya meninggal. Ia jadi janda dan anaknya jadi anak yatim.
“Kan banyak tuh pamali-pamali. Ada juga saudara Mbak, udah dibilangin kalau hamil jangan potong rambut karena kata orang tua jaman dulu itu sama kayak ngurangin umur. Eh beneran dong, Yul, nggak lama dia keguguran.”
“Yang bener, Mbak?”
Mbak Rini mengangguk dramatis. “Tapi pas dibawa ke rumah sakit, dokter jelasin kalau emang kandungannya lemah. Mungkin cuma kebetulan. Sebenarnya pamali itu baik kok maksudnya, buat mencegah hal-hal buruk, tapi karena disisipi kata-kata nanti terjadi petaka begini begitu jadinya kayak seram. Kayak kamu pernah dengar pamali anak gadis nggak boleh duduk di tengah pintu?” Yuri menganggukkan kepala kuat, katanya itu bisa menjauhkan dari jodoh.
“Nah, maksud pamali itu ngingetin kalau duduk di pintu itu nggak sopan. Kalau kita nggak sopan, mana ada laki-laki baik yang mau menikahi kita. Ya, nggak?”
Yuri mengangguk lagi, kali ini merasa sedikit lega. Segala sesuatu terjadi dengan alasan masuk akal.
“Kamu tanya begini karena dengar pamali kalau orang yang rumahnya saling berhadapan nggak boleh nikah, ya?” Mbak Rini bertanya lagi, kemudian menepuk pundak Yuri. “Tenang aja, Yul, kan pintu rumahnya Mulya udah digeser. Lebihnya, serain sama Yang di atas.”
“Iya, Mbak.” Yuri mendesah. Benar, ia tidak perlu takut berlebihan untuk hal-hal yang sifatnya mungkin hanya kebetulan yang dilebih-lebihkan.
“Yaudah, Mbak pulang dulu. Tadi ayam yang kamu ungkep Mbak taruh kulkas.” Motor yang dikendarai Pak Bakti, suami Mbak Rini muncul dari kejauhan. “Oh iya, Yul, siapa yang sakit di rumah sakit?”
“Eh?”
“Pas nyuci baju Ayahmu tadi, Mbak nemu karcis parkir rumah sakit Royal di kantong kemaja Ayahmu.”
“Teman Ayah kali, Mbak.”
Mbak Rini manggut-manggut. “Oh, iya juga ya. Tapi beberapa kali tuh Mbak nemunya.” Pak Bakti sudah sampai, Mbak Rini harus segera pergi. “Mbak pulang dulu ya. Coba lebih perhatian ke Ayahmu Yul, kalau bisa jangan kasih sering-sering pergi mancing. Kalau mau mancing jauh-jauh, kalau bisa sebulan satu atau dua kali aja, ini Ayahmu pergi seminggu sekali belakangan. Mbak lihat-lihat dia makin kurus badannya, kasihan,” ujar Mbak Rini terakhir sebelum dibawa pergi oleh Pak Bakti.
Mbak Rini benar, Yuri harus lebih memperhatikan Ayah. Melarang Ayah memancing bukan berarti melarangnya bahagia, semua ini demi kesehatan Ayah. Yuri ingin Ayah hidup lebih lama agar Eyang Weni tidak besar kepala mitos yang dia percayainya terbukti terjadi.
Yuri masuk ke dalam rumah, dari sekian banyak objek, matanya pertama kali melihat buku di atas meja ruang tamu yang sampai kemarin masih Ayah baca. Judul buku itu Menghadapi Mati Dengan Happy.
Deg!
***
“Nanti kalau salah satu dari kita ada yang mati, jangan salahkan Eyang sebagai orangtua ya, karena nggak mengingatkan kalian pesan leluhur.”
Yuri meneguk banyak-banyak air putih dalam gelas, kemudian mundur-mundur menggapai kursi untuk duduk. Yuri menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Mengulang itu beberapa kali sampai akhirnya Yuri sedikit merasa tenang.
Yuri coba meruntut kejanggalan satu persatu. Pertama, buku bacaan Ayah belakangan adalah buku religi dan kesehatan. Kedua, setiap minggu Ayah pergi memancing ke pesisir, tapi tidak memberitahu letak persisnya dimana dan tidak pernah pulang bawa ikan hasil pancingannya. Ketiga, Ayah sering pergi ke rumah sakit tanpa cerita ke Yuri. Otak Yuri begitu saja mempraktekkan ilmu cocokologi. Ini pasti hanya kebetulan, kan?
Tidak mungkin Ayah diam-diam sakit parah dan sengaja menyembunyikannya dari Yuri agar Yuri tidak sedih, kan?
Kenapa kebetulan ini sangat pas dengan lamaran Mulya. Meski sudah dijawab dengan jawaban 'sayang' oleh Mulya, sekarang Yuri dibuat bertanya-tanya lagi. Apa karena Mukya sudah tahu kondisi Ayah, makanya Mulya maju menawarkan diri menjadi suami Yuri agar Ayah tidak perlu cemas meninggalkan Yuri sendirian di dunia? Itu tampaknya masuk akal, mengingat Mulya pernah mengaku tahu dimana persisnya Ayah biasa memancing.
Blak! Pintu rumah Yuri terbuka lebar, dengan wajah menahan dongkol, Mulya masuk mencari si empunya rumah yang tiba-tiba menelepon sambil menangis mengatakan hal konyol.
“Kenapa lagi sih, Yul?” desah Mulya mendapati Yuri menelungkupkan wajah di atas sampul buku Ayahnya.
Perlahan Yuri mengangkat wajah, wajah itu sudah bersimbah air mata.
“Aku nggak mau nikah Mas Mul kalau benar itu alasannya.”
Mulya mendesah panjang. "Karena itu lagi? Berapa kali aku jawab alasan aku ingin nikah sama kamu karena aku sayang sama kamu."
"Aku tahu bukan itu alasannya."
Mulya mengambil duduk di dekat Yuri. "Yaudah, cepat ngomong, aku dengerin. Kali ini apa lagi?"
“Aku nggak mau ada yang mati.”
“Jadi kamu begini karena kemakan omongan Eyang?" pekik Mulya. Yuri menggeleng-geleng, sayangnya Mulya tidak memberi Yuri kesempatan menyuarakan arti gelengannya.
"Jangan konyol ya, Yuri. Sebagian undangan udah mulai disebar, semua persiapan udah kelar tinggal nunggu hari. Gampang banget kamu ngomong mau batalin cuma gara-gara takut pamali,” lanjut Mulya dengan kesal. Ya, Mulya memahami usia Yuri masih terbilang muda. Tapi usia Yuri juga sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap, tidak lagi labil seperti anak umur belasan tahun yang sedang dalam fase galau-galaunya mencari jati diri.
“Pada akhirnya semua orang akan mati,” tendas Mulya menambahkan, berharap Yuri langsung mengerti setelah ini. “Kalaupun ada mitos atau pamali yang terbukti, aku percayanya itu cuma kejadian yang dihubung-hubungkan. Kadang orang yang dianggap ngelanggar pamali, petakanya baru datang sangat lama kemudian. Artinya apa? Bahaya, kematian bisa saja terjadi. Dalam rentang waktu selama itu mustahil manusia nggak mengalami kejadian apa-apa.”
“Tapi sepertinya Ayah akan mati beneran.” Mulya memejamkan mata sesaat sambil menyebut nama Tuhannya dalam hati, Yuri ternyata lebih parah dari ABG sedang cari jati diri.
“Aku juga akan mati beneran, Yuri. Memangnya ada orang waras main mati-matian?”
“Ih... Bukan itu maksudku.” Tangis Yuri meraung-raung. “Aku yakin Mas Mul juga tahu kalau sebenarnya Ayah sedang sakit parah sampai harus bolak balik rumah sakit, kan? Karena nggak mau aku sampai tahu, Ayah sengaja bohong pergi mancing ke pesisir padahal dia sedang pengobatan ke rumah sakit.”
“Hah?”
“Sekarang jawab terus terang aja, Mas. Ayah, kan, yang minta Mas Mul buat nikahin aku. Aku dengar kok pas Mas Mul ngomong sama Ayah di teras waktu itu. Sekarang aku paham maksudnya kenapa Ayah bilang bisa pergi dengan tenang. Terus Ayah juga bilang, setelah kita resmi menikah, tugas Ayah jagain aku selesai."
“Jelas aja tugas Ayahmu selesai. Setelah menikah, kamu jadi tanggung jawabku.”
“Kalaupun Ayah hiks...” Yuri mengambil tisu untuk mengeluarkan ingus yang memenuhi rongga hidungnya, kemudian mengusap hidungnya kuat-kuat hingga memerah seperti p****t ayam. “Kalaupun Ayah sedang sakit parah, aku bisa kok jaga Ayah sendirian. Aku nggak butuh Mas Mul atau orang lain buat ngejaga aku. Aku udah dewasa.”
Mulya meragukan klaim pribadi di kalimat terakhir Yuri. “Sebagai orang dewasa, Yul, coba dengerin aku.” Mulya menuntut perhatian penuh Yuri. “Pertama, setahuku Ayahmu memang selalu ke pesisir. Ke dua, setahuku Ayahmu sehat-sehat saja. Ke tiga, iya benar Ayahmu pernah bilang berharap aku jadi menantunya—tunggu aku belum selesai.”
6
Yuri mengatupkan bibirnya lagi setelah wajahnya diberi telapak tangan Mulya.
“Tapi, kamu anggap aku ini apa sampai mau saja menikahi seseorang cuma karena disuruh. Jadi, tidak. Aku punya pertimbangan sendiri kenapa aku ingin menikah sama kamu.”
“Apa itu?”
“Karena aku sayang sama kamu.”
Yuri menangis lagi, makin kencang. Sudah serius-serius mendengarkan, Mulya masih saja tidak serius memberi jawaban.
“Dan yang ke empat.” Tangis Yuri sedikit mereda, dijeda lebih tepatnya, ternyata masih ada lagi lanjutannya. “Daripada bingung sendiri mencurigai sesuatu, orang dewasa biasanya akan mengkonfirmasi kecurigannya itu ke orangnya langsung.”
Wajah Yuri seperti baru mendapat pencerahan. “Menurut Mas Mul aku harus tanya ke Ayah langsung?”
“Iya lah."
"Gitu, ya?"
Mulya memutar bola mata. "Kalau kamu nanya ke Mbak Rini, Tya, atau kayak gini, nangis-nangis nggak jelas ke aku, kamu nggak akan dapat jawabannya."
Seketika Yuri berdiri dari duduknya. “Kalau begitu, ayo.”
Mulya mendongak bingung. “Ke mana?”
“Tanya Ayah. Mas Mul bilang Mas Mul tahu dimana Ayah biasanya mancing.”
“Sekarang?”
"Kalau nggak sekarang, aku akan terus nangis-nangis nggak jelas ke Mas Mul."
***
Tiga jam di dalam mobil menjadi perjalanan yang sangat panjang karena Yuri ingin segera bertemu Ayahnya. Sekaligus menjadi membosankan karena wajah Mulya terus tertekuk seperti tidak ikhlas mengantar Yuri, tapi Yuri tidak peduli sebab Mulya juga punya andil dalam membuat Yuri kebingungan seperti sekarang.
Untuk melanjutkan perjalanan, mobil harus ditinggalkan di dermaga dan mereka harus menyewa perahu nelayan agar bisa menyeberang menuju sebuah pulau yang namanya baru pertama kali Yuri dengar.
“Ini aman, kan, Mas?” Yuri sedikit ngeri melihat kondisi perahu yang cukup kecil dan banyak sekali perlengkapan melaut tergeletak sembarangan.
“Ini satu-satunya perahu yang bisa antar kita sekarang juga. Kita harus udah di sini lagi sebelum malam.”
Yuri menarik tangan Mulya yang dilingkari jam tangan, sekadar memastikan jam berapa sekarang. Sudah jam 3 sore, mereka bahkan hanya sempat drive thru untuk makan siang. “Memangnya masih keburu?”
“Yang penting nanti langsung tanya pertanyaanmu, jangan pakai drama-drama. Kalau kamu nggak mau nginap di pondok tempat Ayahmu tidur.”
“Jadi nanti Mamang ini nungguin kita?”
“Nggak, perahu ini langsung melaut. Nanti kita Cuma di-drop di sana. Baliknya nanti di pulau itu ada jadwal fast boat tiap jam 5 sore.”
Yuri mengangguk, sudah terbayang situasinya. “Oke.”
Mulya turun ke perahu lebih dulu, kemudian mengulurkan tangan kanannya sebagai pegangan Yuri. Ombak laut membuat perahu terus bergoyang-goyang, Yuri takut, jika salah langkah ia bisa saja tercebur di celah sempit antara beton demaga dan moncong perahu.
Akhirnya Yuri melompat saja, keputusan bodoh karena itu membuat pijakannya tidak stabil. Untung Mulya menahan pinggangnya. Sesaat rasanya tubuh Yuri sedang melayang, wajah Mulya yang tepat sejengkal di atas wajahnya terkena bias sinar matahari dan angin laut menerbangkan rambut Mulya. Kok genteng, sih?
Sesaat itu berakhir dengan Mulya menarik tubuh Yuri berdiri tegak. Yuri segera memalingkan muka, ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba jadi malu di depan Mulya. Ia ingin mencari kaca untuk memastikam wajah dan rambutnya masih cantik.
Yuri sibuk mengipasi wajah, saat berjalan menuju tempat dimana ia bisa duduk. Ia tidak sadar sepatunya tersangkut jaring, ia hampir jatuh lagi, kalau saja Mulya tidak sigap memegangi tangannya.
“Jalan lihat-lihat dong, Yul. Udah tahu ini bukan panggung catwalk! Selain jalan pakai kaki, mata juga harus lihat ke bawah,” semprot Mulya dengan alis berkerut garang, membuat wajahnya tidak terlihat ganteng lagi.
Akhirnya Mulya yang menuntun Yuri ke arah dudukan papan yang letaknya berhadapan. Si pemilik perahu menyuruh mereka untuk duduk di sisi berseberangan agar seimbang.
Yuri membuang muka, kesal Mulya merusak fantasinya. Iya, Mulya ganteng cuma dalam fantasinya saja. Kenyataannya Mulya jelek mirip Om-om.
Perahu mulai bergerak, angin terasa makin kencang menerpa tubuh. Meski sudah diikat, rambut Yuri masih beterbangan membuat wajahnya gatal terkena ujung rambut. Yuri terkesiap ketika sebuah jaket pelampung berwarna orange dilemparkan Mulya ke dekat kakinya.
“Pakai itu.”
“Nggak perlu. Mas Mul aja nggak pakai.”
“Mereka cuma punya satu, jadi pakai aja buat jaga-jaga.”
“Terus Mas Mul nggak jaga-jaga?”
“Aku jago renang.”
Eva berdecih sinis, “bagaimana bisa kemampuan renang di kolam sedalam dua meter disombongkan di lautan.”
“Kalau kamu nggak mau pakai ya sudah.” Mulya menarik pelampung itu dan memakainya sendiri. “Kalau yang bisa renang di kolam dua meter nggak boleh sombong, gimana sama yang nggak bisa renang sama sekali.”
Yuri mendelik, Mulya mulai menyenggolnya lagi. “Jadi cowok kok penakut. Lagian lautnya cukup tenang kok, nggak mungkin perahu ini tiba-tiba terbalik."
Tepat sesaat setelah Yuri mengatakannya, ombak besar menghantam perahu hingga terguncang hebat. Yuri menjerit kaget sekaligus ketakutan. Cuaca tiba-tiba berubah. Hembusan angin selain makin kencang juga terasa makin dingin.
“Tenang ya, jangan panik. Cuaca begini sudah biasa.” Jawab salah satu nelayan ketika Mulya bertanya apa semua akan baik-baik saja.
Ya, buat mereka ini biasa. Tapi buat Yuri yang biasa hidup di darat, di pusat kota yang nyaman, wajar saja ketakutan. “Nih, pakai aja.” Tahu-tahu Mulya sudah melepas pelampungnya, diberikan kepada Yuri.
Tanpa banyak omong Yuri langsung memakainya, tapi Yuri kesulitan memasang pengakit di depan. Saat Yuri masih berusaha mengaitkan, kedua tangan Mulya mengambil alih usahanya itu. Wajah Mulya ada tepat di depan wajah Yuri, kenapa saat sedang serius begini wajah Mulya sangat ganteng? Yuri sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Hidung Mulya terlihat sempurna, cupingnya hidungnya tidak terlalu lebar dan pangkalnya cukup tinggi. Bulu mata Mulya sangat lentik, jauh lebih lentik dari milik Tya padahal Tya rajin memakai serum bulu mata. Lalu, bibir Mulya terlihat pink meski tidak merata. Sedikit tebal dan sepertinya... kenyal?