Mendekati jam 5 sore, Yuri dan Mulya sudah menunggu jadwal kapal cepat di pantai. Berhubung perasannya sudah ringan dan tenang, Yuri mengisi waktu dengan foto-foto di bibir pantai. Bermain sendirian kejar-kejaran dengan jilatan ombak.
Yuri memang belum sepenuhnya dewasa. Ketika memutuskan akan menikahi Yuri, Mulya sudah menyiapkan kesabaran ekstra untuk menghadapinya. Yuri hanya belum melihat dunia dari kaca mata lebih luas sehingga terkesan menyelepekan segala sesuatu. Tugas Mulya lah untuk menyadarkan Yuri bahwa dicubit itu sakit tanpa harus membuat Yuri dicubit dulu untuk bisa merasakan sakitnya.
Setidaknya Mulya tahu bahwa Yuri hanya sedikit kekanakan, pada dasarnya dia orang baik dan cukup menyenangkan.
“Mas Mul, fotoin aku, dong.”
Mulya mengerjapkan mata, tahu-tahu ponsel Yuri sudah terulur di depannya. “Kan tadi udah.”
“Kan tadi baru di sana, belum di situ.” Yuri menunjuk satu spot dengan pemandangan bebatuan karang. “Kayaknya di pulau ini masih ada pantai-pantai bagus, seru kali ya kalau aku sering-sering ngunjungin Ayah ke sini nanti."
Yuri tidak peduli meski wajah Mulya terang-terangan tidak ikhlas melakukannya, Yuri tetap berpose, sok asik dengan dirinya sendiri dan memberi instruksi agar Mulya mengambil angel dari sudut mana. Yuri baru bisa duduk tenang di sebelah Mulya ketika ponselnya memberi peringatan daya baterai tinggal 10 persen. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan tenang juga karena Yuri menggerutu geregetan ingin melihat hasil foto-fotonya.
“Sayang banget, padahal aku mau update instastory,” keluh Yuri entah yang keberapa kali. “Udah jam berapa sih, Mas? Kok kayaknya nggak dateng-dateng kapalnya.”
“Udah jam lima lebih, mungkin bentar lagi.”
“Mulya, Yuri!” teriak Ayah dari belakang, keduanya memutar pun memutar badan. “Pulang besok aja. Ayah dengar ombak fi tengah laut gede, kapalnya pasti nggak berani jalan.”
Kedua orang itu sontak saja berdiri panik. Mereka datang kemari cuma bawa diri, tanpa persiapan akan menginap. Terlebih jika besok ombak masih tidak bersahabat, bisa-bisa sampai senin Mulya masih terjebak di sini.
“Aduh, aku kan nggak bawa charger. Gimana dong, Mas Mul?”
Mulya melirik Yuri sebal. Ada hal lebih genting yang mesti mereka cemaskan, yang ada di kepala Yuri malah charger ponsel.
“Kita tunggu bentar lagi, Om. Siapa tahu karena ombak besar jadinya terlambat.” Mulya berpositif-thinking-ria.
Yuri mengangguk mendukung. “Bener, Yah.” Tidak terbayangkan bagaimana Yuri harus menghabiskan malam di pulau ini tanpa baju ganti, tanpa night skincare, dan tanpa ponsel.
“Ya sudah, nanti kalau sudah mau gelap dan belum datang juga, kalian balik ke pondok, ya.”
Yuri dan Mulya mengangguk bersamaan, sebelum duduk lagi dengan semangat terpangkas sebagian.
“Aku nggak mau nginep di sini, nanti aku nggak bisa streaming Kim Seon Ho oppa.”
Mulya melirik Yuri lagi dengen jengkel. Sementara pekerjaan penting Mulya dipertaruhkan, Yuri berat melewatkan jadwal tayang drama korea yang bisa ditonton kapan pun. “Yul, apa selain drakor nggak ada yang bikin kamu kepikiran apa? Kabar skripsimu gimana?”
“Nggak gimana-gimana.”
“Nggak gimana-gimana karena kamu anggurin, kamu tinggal nonton drakor, kalau nggak ngemol sama Tya. Memangnya kamu nggak pengen cepet lulus?”
“Lah kok Mas Mul marah-marah, sih?” Yuri menatap Mulya sama jengkelnya. “Kalaupun aku nggak lulus-lulus yang diejek mahasiswa abadi kan aku. Oh, iya Mas Mul pasti malu ya punya istri bego kayak aku?”
“Orang bego pun bisa kelarin skripsi asal mau ngerjain. Biarpun pinter tapi itu skripsi nggak disentuh ya nggak kelar-kelar.”
“Kok belum apa-apa Mas Mul udah main ngatur-ngatur aku, sih?”
Bibir Mulya menipis menahan geram. Tentu saja, berdebat dengan Yuri akan menghabiskan banyak tenaga. “Bukan ngatur, Yuri. Tapi ngasih saran. Bukannya bagus kalau kamu cepat lulus? Jadi bisa cari kerja terus jajan semaumu.”
“Memangnya kalau aku nggak kerja, Mas Mul nggak mau ngasih aku uang jajan?” sungut Yuri tak mau tampak salah. “Ingat Mas Mul, di perjanjian—“
“Ah, udahlah. Dasarnya kamu emang nggak mau kalah. Meskipun omonganku benar, tetap pengen kamu patahin,” potong Mulya merasa perbedatan ini sia-sia. “Sekarang coba kamu renungin, apa yang kamu dapat dari nonton drakor seharian?”
"Inspirasi style lucu sama make up."
"Ck."
“Aku jadi bisa bahasa Korea,” aku Yuri bangga pada awalnya, lalu lanjut bercicit, “dikit.”
“Oke, bagus. Terus?”
“Imajinasi aku jadi berkembang, aku jadi pengen nulis n****+ atau skenario.”
“Apa lagi?”
Yuri mengingat-ingat, awal mula dan mengapa ia masih betah menjadi drador addict seperti sekarang. “Ya namanya juga hobby, gimana sih?”
Mulya menghela napas, ia coba tatap Yuri tenang agar Yuri tidak merasa tersudutkan. “Benar, Yul, nggak ada salahnya hobby nonton drakor. Tapi kalau sampai hobby itu mengalihkan kamu dari tugas dan kewajiban utama, itu yang salah.”
Yuri sedikit menciut. Ia sadar hari demi hari terlewati tanpa ada perubahan berarti. Ia bisa menyelesaikan drakor sepanjang 16 episode hanya dalam 2-3 hari saja, belum lagi fan girl-ing idol-idol K-pop, belum lagi baca-baca n****+ di platform online. Sementara skripsinya masih mentok di bab satu, belum maju-maju.
“Setidaknya selesaikan satu tugas terakhirmu itu,” tambah Mulya dengan suara lebih rendah. “Setelah itu terserah kamu mau berkarir jadi apa. Ambil manfaat dari hobbymu, jangan cuma penyedia hobby itu yang mengambil manfaat dari kamu. Ngerti maksudku, kan?”
Kepala Yuri mengangguk kaku, meskipun benci Mulya menjadi yang terlihat benar dan keren.
Matahari kian turun, menyebarkan bias jingga di sekelilingnya dan menyebar ke sepanjang mata memandang langit. Mulya melemaskan punggungnya, sepertinya mereka benar-benar harus bermalam di sini.
“Mas Mul,” panggil Yuri setelah diam kaku beberapa lama. “Pinjam handphone, boleh?” tanyanya takut-takut, lalu telunjuknya menunjuk ke arah ujung laut lepas dimana matahari dan langit sedang cantik-cantiknya. “Sayang banget sunsetnya kalau nggak diabadikan.”
Mulya menghela napas. Yuri tetaplah Yuri, meski baru saja diberi siraman motivasi, dia tidak bisa menghilangkan jati diri. Mulya pun meminjamkan ponselnya. “Cukup lima menit, baterai aku juga udah mau habis.”
“Sip.” Dengan riang Yuri membawa ponsel Mulya berlari ke dekat bibir pantai, gadis itu berpindah-pindah posisi selfie. Kadang juga hanya memotret pemandangan.
Mulya tidak sadar lima menit sudah terlewati lima kalinya lima menit, Mulya masih membiarkan ponselnya dipakai Yuri mengabadikan tiap perubahan langit seiring kian turunnya sang surya ke peraduan. Padahal yang dilakukan Yuri hanya poret sana sini, tapi gadis itu terlihat begitu menikmati. Sesekali dia tersenyum sangat lebar, lalu saat mendapatkan gambar bagus, dia tampak makin bersemangat.
Mulya berjalan mendekati Yuri, bermaksud membantunya mengambil beberapa foto terakhir, tetapi Yuri malah menyuruhnya diam di tempat dan mengarahkan ponsel ke arahnya. Malah Yuri yang jadi memotretnya.
“Coba senyum dikit, Mas Mul.” Aba-aba Yuri. “Terus tangan kanan Mas Mul masukin kantong, berdirinya santai aja. Iya, begitu. Nah ganteng-ganteng ih. Coba jangan senyum, Mas. Senyum Mas Mul makin aneh. Muka sok cool gitu. Yaelah, malah ketawa.”
Bagaimana tawa Mulya tidak menyembur? Yuri memberi arahan lagaknya seperti fotografer handal. Mimik wajahnya benar-benar menjiwai peran dadakannya itu.
“Coba sekali lagi, ya.” Yuri mengacungkan telunjuk, sebelum mengarahkan ponsel ke depan wajahnya lagi. Mulya ini termasuk fotogenik, tipe orang-orang yang tidak perlu kerja keras untuk mendapat foto bagus. Sehingga sayang saja keberuntungan itu tidak diabadikan.
Dari layar ponsel, tawa Mulya sudah menghilang dari wajahnya. “Wow, tahan Mas. Gila cool banget Mas Mul. Iya jangan senyum, coba kerutin keingnya dikit. Dikiiit aja biar nggak kayak Jamet. Nah, eh eh diam dulu jangan gerak.” Yuri teriak-teriak lantaran Mulya berjalan maju makin dekat dengan kamera.
“Loh kok--”
Chup! Mata Yuri membulat sempurna. Seperti Kim Ji Won saat pertama kali dicium Park Seo Joon tiba-tiba. Karena ya, demi Tuhan saat ini bibir Mulya sedang menepel di atas bibir Yuri.
Mulya menjauhkan bibirnya bahkan sebelum Yuri sempat memejamkan mata. Saking kagetnya dengan ciuman itu Yuri sampai cegukan.
Mulya tampak bingung mendapati respon aneh tubuh Yuri, ia sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba mencium Yuri. Tubuhnya seolah terdorong begitu saja.
Yuri memukul dadanya sekali. Memalukan. Cegukannya tidak mau berhenti, sementara wajahnya pasti sudah semerah kepiting rebus ini. Sungguh Yuri tidak sedang berpura-pura meniru Kim Ji Won atau Yoon Eun Hye ketika ciuman sama si putra mahkota ganteng Lee Shin. Yuri memukul dadanya dua kali dan tetap masih cegukan. Akhirnya Yuri angsurkan ponsel Mulya ke d**a Mulya, sebelum lari terbirit-b***t menjauhinya.
Sialan, Yuri curiga sebenarnya Mulya ikut Tya nonton drakor. Kalau tidak, bagaimana laki-laki kaku kurang eksplorasi itu kepikiran ide cium tiba-tiba begitu. Duh.
***
Sejak balik dari pantai, Mulya dan Yuri seperti dua kutub magnet yang saling menjauhi. Mereka mendadak jadi canggung. Mulya sialan, padahal Yuri tadinya niat ingin melihat foto-foto yang diambilnya dengan ponsel Mulya itu. Kalau sudah begini, kan, Yuri jadi malu.
Sekarang Yuri hanya bisa menahan dongkol cuma bisa melihat Mulya dari kejauhan. Lelaki itu tengah mengipas-ngipas kayu bakar yang akan dipakai untuk memanggang berbagai makanan laut ini.
Saat tetangga-tetangga Ayah tahu gadis cantik dan lelaki ganteng ini anak dan calon menantu Ayah, mereka mengusulkan untuk membakar ikan bersama di halaman rumah Bu Ratna. Tanpa diminta, tiap-tiap orang membawa apa yang mereka punya di rumah. Ada ikan, udang, dan yang paling membuat Yuri takjub ada juga lobster ukuran jumbo yang jika dijual harganya pasti sangat mahal. Kalau Yuri jadi pemilik lobster itu, daripada dimasak dan dimakan ramai-ramai begini, lebih baik Yuri jual saja atau dimakan sendirian di rumah. Ayah sepertinya tidak melebih-lebihkan saat menyebut warga di sini sangat kekeluargaan.
“Yuri, udah laper, ya?”
“Eh, belum kok, Tante,” jawab Yuri pada Bu Ratna yang tengah mengulek sambel di sebelahnya. Yuri jadi penasaran banyak hal, “di sini ada berapa banyak yang tinggal, Tante?”
“Nggak banyak. Nggak sampai seratus orang. Ya kamu tahu sendiri, pulau ini sama pulau jawa kan sangat dekat. Jadi siapa sih yang mau hidup terisolir di pulau begini?”
“Tapi Tante sama Ayah mau tuh.”
“Iya juga ya.” Bu Ratna tertawa kecil. “Kalau Tante sebenarnya karena nggak ada pilihan. Dulu almarhum suami Tante yang ngajak Tante tinggal di sini. Katanya pemerintah mau bangun lokasi ini jadi tempat wisata, mereka membangun pemukiman yang nantinya bisa jadi semacam guest house. Pemukiman udah jadi, akses dari dermaga udah jelas, listrik udah masuk eh lama-lama makin nggak jelas kelanjutan rencana itu. Akhirnya sekarang jadi kampung nelayan begini deh.”
“Kenapa nggak dilanjut, Tan? Pantainya tadi bagus banget, kok, aku banyak foto-foto tadi. Kayaknya masih banyak pantai-pantai bagus juga, kan? Belum lagi terumbu karangnya, laut sekitar seinget aku tadi masih jernih banget.”
“Kamu kayak nggak tahu mental orang Indonesia aja, Yur,” Bu Ratna tidak tahu saja kalau Yuri memang tidak paham maksud mental orang Indonesia ini seperti apa, Yuri oh-oh saja pura-pura nyambung. “Seperti kita nggak kenyang kalau belum makan nasi, nah orang-orang katanya belum merasa liburan kalau perjalannnya nggak jauh. Kalau mau menyasar wisatawan daerah lain, apalagi wisata alam laut, orang-orang lebih milih ke Indonesia timur sana yang katanya masih banyak yang perawan.”
“Oh...” Yuri kali ini benar-benar sudah mengerti. “Susah juga ya, Tan.”
“Tapi nggak apa-apa, kami semua yang terlanjur tinggal di sini bersyukur. Kami beruntung bisa tinggal di tempat sebagus ini dan punya keluarga sebesar ini.”
Yuri ikut melihat ke sekeliling, pada orang-orang yang bahu membahu memasak. “Ngelihat pemandangan ini aku jadi lebih ikhlas ngebiarin Ayah pindah ke sini.”
Yuri mendadak gelagapan, mencari-cari sesuatu agar terlihat sibuk saat Mulya berjalan ke arahnya. Arah Yuri dan Bu Ratna serta dua orang warga lain di dekatnya, lebih tepatnya.
"Baranya udah jadi, Bu. Mana ikan yang mau dibakar?" Itulah tujuan Mulya ke sana.
"Oh, itu, Ya, di baskom itu. Bakar saja semua, nanti pasti habis."
Mulya segera membawa baskom yang dimaksud ke arah tempat bakaran yang terbuat seadanya. Yuri sih tidak memperhatikan ya, sungguh sama sekali tidak curi-curi lirikan. Mulya sepertinya juga tidak meliriknya sedikit pun. Kok ada sih manusia seperti itu.
“Oh, iya kamu katanya mau nikah ya sama Mulya?” Yuri hanya tersenyum kecut sambil mengangguk. “Wah, selamat ya, Yuri. Mulya sepertinya orang baik, Ayah kamu sangat percaya sama dia.”
Yuri penasaran, apakah jika Mulya bicara dengan orang lain, apa dia juga mendengar orang itu melontarkan pujian tentang Yuri. Atau malah 'beruntung banget si Yuri'. Mereka semua harus tahu Mulya tidak sesempurna itu. Setelah mencuri ciuman seorang gadis, tidak seharusnya dia jaga jarak seolah ciuman itu tidak pernah terjadi.
"Yuri, minta tolong bawa ini ke sana. Lupa tadi nggak dibawa Mulya sekalian buat wadah ikan yang sudah matang."
Karena tidak mungkin menolak, dengan berat hati namun langkah dibuat ringan, Yuri mengantarkan sebuah nampan pada Mulya yang tengah kipas-kipas ikan. Kasihan, dia sampai berkeringat dan sesekali menjauhkan wajah menghindati asap.
"Nih, buat tempat yang sudah matang."
"Oh, Oke."
Sudah begitu saja, Yuri balik badan hendak pergi. Suara pelan Mulya menahan langkahnya, "soal yang tadi..."
Wajah Yuri menghangat, pasti ini efek berada di dekat pembakaran. Seketika teringat sensasi saat bibir Mulya menempel di bibirnya. Yuri menunggu apa kiranya yang hendak Mulya katakan.
"Maaf."
"Maaf?" ulang Yuri seolah tak yakin dengan apa yang didengarnya. Sungguh Mulya tadi benar-benar minta maaf? Jadi menciumnya di pantai dengan background sunset serta diiringi suara deburan ombak itu tak lebih dari khilaf?
Mulya benar-benar... Arg!