Mulya baru melepas jam tangan hendak mandi ketika petugas keamanan lobby apartemennya mengatakan ada tamu yang menunggunya. Mulya langsung turun menemui tamunya itu yang tengah duduk di sofa sambil menyedot minuman yang tadi Mulya belikan.
“Kenapa nggak telepon aja kalau mau kesini?”
Yuri mendongak, mendapati Mulya masih memakai setelan kerja, minus dasi, jas, sepatu, dan jam tangan. Mulya memakai sandal jepit sementara kakinya masih terbungkus kaos kaki. Entah Mulya baru sampai atau memang begitu sampai tidak langaung ganti baju. “Itu tadi telepoon. Kalau enggak, Mas Mul mana tahu aku datang?”
Mula memutar bola mata. “Pakai handphone kamu maksudnya, Yul.”
“Oh,” seolah baru mengerti padahal sengaja bersikap t***l. “Nggak bawa HP.”
“Jadi ada apa ke sini?”
“Ada apa?!” Yuri menyentak berdiri, bisa-bisanya Mulya bertanya ada apa sedangkan ada hal gila yang sedang terjadi. “Ada apa Mas Mul bilang?”
Mulya melirik sekitar. Yuri memang terlahir dengan bakat suka bikin malu. “Kita bicara di tempatku.”
“Nggak usah bicara-bicara. Mas Mul nggak benar-benar ada niat buat nikahin aku, kan?” Suara Yuri melengking di tempat yang menuntut jaga sikap. Orang yang mendengar bisa saja salah paham dengan ucapan Yuri itu.
“Mas Mul lihat ini.” Yuri merentangkan kesepuluh jarinya yang tiga diantaranya terbebat hansaplas warna kuning dengan karakter binatang. “Tanganku tertusuk berkali-kali cuma buat ngambil hati Eyang tapi nggak dihargai sama Eyang sedikit pun. Kalau Mas Mul nggak sungguh-sungguh, jangan buat Ayah berharap banyak. Aku paham kok kenapa Eyang Eyang memandang aku remeh, aku bisa ngerti, tapi kenapa Mas Mul juga memperlakukan aku begitu?”
“Pertama, Yuri, ini bukan hutan, jangan teriak-teriak. Kedua, ayo, ayo kita naik dan bicara dengan tenang.”
Bibir Yuri mencebik ke bawah, mulanya bergetar, sebelum tangis Yuri pecah. Mulya dibuatnya makin resah. “Aku ke sini—cuma mau bilang, jangan ngasih harapan palsu ke Ayah.” Yuri mendorong gelas tinggi bobanya yang tinggal separuh, mengembalikannya pada orang yang membeli. “Aku mau pulang.” Setelah itu berlari keluar dark lobi.
Mulya memijat kening, petugas security yang sedari Yuri membuat keributan sudah mengawasi pasti menilainya yang bukan-bukan. Segera saja Mulya mengejar Yuri, dan berhasil menahan pergelangan tangannya di tempat parkir. “Jangan begini dong, Yul.”
“Terus aku mesti gimana?” Yuri mengerang. “Aku nggak ngerti sama Mas Mul. Kita ini beneran mau nikah apa enggak, sih?!”
***
Yuri masih menangis sesenggukan, karena tidak mau diajak naik ke unitnya, untung saja Mulya bisa menarik Yui sedikit minggir ke taman. Mereka duduk bersisihan di pinggiran jogging track dari susunan batu lantaran tak melihat ada bangku, dan kebetulan letaknya di bawah persis lampu penerang taman.
“Nih, minum dulu.” Mulya mengulurkan bobanya Yuri. Ia tak punya sapu tangan atau tisu untuk ditawarkan. “Udah dong, nangisnya, Yul. Belakangan ini aku sibuk banget, jadi belum sempat hubungin kamu.”
Yuri menyeka air matanya dengan lengan kaosnya. “Telepon atau chat itu bisa lho Mas dilakuin disela-sela kesibukan.” Ujar Yuri sambil berusaha menghentikan tangisnya sendiri. “Presiden aja yang ngurusin negara masih bisa main sama cucunya.”
“Iya, maaf.”
“Mas Mul coba jujur deh sama aku,” Yuri sedikit memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap Mulya. “Apa Ayah atau orangtua Mas Mul yang meminta Mas Mul menikahi aku?”
“Nggak pernah.”
“Bener ini kemauan Mas Mul sendiri?”
“Iya.”
“Dari dalam hati atau karena cuma ya udah lah sama Yuri aja, daripada sama orang asing nikahnya.”
“Kan udah aku bilang aku sayang sama kamu.”
“Mana ada orang sayang bilangnya begitu?!” Yuri kehilangan kesabaran lagi.
Mulya menghela napas. “Terus kamu maunya aku gimana?” tanyanya lemah, diambang ketidakberdayaan.
“Minimal tunjukin lah antusias Mas Mul.” Lengan baju Yuri sudah sepenuhnyan basah, ia menarik lingkar kaosnya untuk bergantian menyeka air matanya. “Aku nggak peduli niat Mas Mul sebenarnya, seenggaknya tolong tunjukin keseriusan Mas, meskipun cuma pura-pura.”
Mulya terdiam, gantian ia yang stress. Mulya melirik minuman yang masih di tangannya dan meminumnya untuk mendinginkan kepala. Kepalanya mendongak ke langit yang hitam polosan tanpa bulan dan bintang, dalam hatinya bertanya, sudah tidak ada jalan mundur lagi, bukan?
“Mana minumanku?”
Mulya mengerejap cepat, saat tangannya terangkat, gelas itu tinggal menyisakan butir-butir boba di dasar gelas. “Ih, kok dihabisin, sih?”
“Aku kira kamu udah nggak mau.”
“Minta uang kalau gitu, aku mau beli lagi sambil jalan pulang.”
Mulya tiba-tiba berdiri sambil mengibaskan kotoran yang mungkin menempel di bokongnya. “Ya udah, aku anter.”
“Aku bawa mobil.”
“Ya udah nggak apa-apa pakai mobilmu. Mana kuncinya?”
Bukannya mengulurkan kunci yang diminta, Yuri malah menatap Mulya keheraann. “Mas Mul mau nganter aku pulang pakai mobil aku padahal kita lagi di apartemen Mas Mul?”
“Ya kenapa?”
“Ya aneh lah, Mas Mul.” Yurinbangkit berdiri dengan mudah. “Udah ah, kasih aku uang aja mana.”
“Pulang sama aku aja.” Tanpa peringatan, Mulya mengambil kunci mobil yang dipegang Yuri. “Nggak mungkin aku biarin orang yang aku sayang pulang sendirian.”
Yuri menatap punggung Mulya yang kian menjauh dengan aneh, Mulyanya yang makin aneh maksudnya.
***
Berhubung mereka tidak menemukan outlet Xing Fu Xing di arah jalan pulang, akhirnya mereka membelinya di outlet merek lain. Yuri membiarkan Mulya turun untuk beli, sementara ia menunggu di mobil. Yuri memandangi Mulya dari dalam mobil. Mari singkirkan sebentar sisi menyebalkan Mulya, di luar itu, bukankah Mulya memiliki segalanya yang disebut husband material?
Mulya terbilang mapan, jelas saja karena dia bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing dan sudah memiliki satu unit apartemen di kawasan pusat kota yang memang Mulya pilih lantaran dekat dengan kantornya. Bertanggung jawab? Sudah pasti, kalau tidak, bagaimana Mulya bisa mendapatkan kesuksesan itu. Secara fisik tidak ada yang perlu diragukan lagi. Katakanlah cantik dan ganteng itu relatif, pokoknya Mulya enak dilihat. Tipe-tipe yang tidak membosankan dilihat berlama-lama. Dan kalau bicara soal setia, itu dibuktikan dengan melajangnya Mulya sejak putus dengan pacar terakhirnya semasa kuliah S1.
Tampak Mulya duduk di salah satu meja sambil menunggu minumannya jadi, Yuri tiba-tiba ingin menanyakan sesuatu padanya. “Kita jadi nikah, kan, Mas Mul?”
Pandangan Mulya terangkat dari ponsel ke wajah Yuri. “Iya, Eureka.” Jawabnya sabar.
“Kita bicarakan kalau udah di rumah, Yul.” Mulya parno Yuri membuat kehebohan lagi.
“Ih, aku Cuma mau bilang kalau kita jadi nikah, aku punya beberapa permintaan. Kalau Mas Mul punya, kita bisa membahasnya sebelum terlalu jauh.”
Mulya tampan berpikir sebentar. “Coba aku dengar permintaanmu dulu.”
Yuri memperbaiki posisi duduknya. “Pertama, aku ingin tetap tinggal sama Ayah di rumah Ayah.” Biasanya laki-laki yang egonya tinggi tidak akan menyukai usul ini.
“Oke.” Diluar dugaan Mukya menjawabnya enteng sekali dan Yuri sangat senang mendengarnya, ia tidak perlu meninggalkan Ayah setelah menikah.
“Kedua, lulus kuliah aku mau tetap cari kerja.”
“Boleh.”
“Tapi gajiku nanti jadi punyaku sendiri, dan Mas Mul harus tetap kasih nafkah aku.”
“Bagian kasih nafkah itu sudah kewajibanku, Yul.” Memangnya Mulya terlihat sekikir itu apa?!
Yuri terkekeh senang, bisa membayangkan masa depan cerah. Dimana lagi ia menemukan laki-laki yang mau tinggal di rumah orang tua si istri. “Terus bisa nggak habis nikah kita honeymoon ke negara dingin gitu?”
“Nggak bisa.”
“Kenapa?” Tanya Yuri melengking tinggi.
“Negara dingin jauh, aku nggak bisa ninggalin kerjaan lama-lama.”
“Kan Mas Mul punya hak cuti. Presiden eh DPR aja masih sering kok jalan-jalan ke luar negeri.”
“Nggak bisa deket-deket ini Yuri, kerjaanku—“ Mulya mengurungkan ucapannya. “Ah, sudahlah, aku jelasin kamu juga nggak akan ngerti.”
“Enak aja. Yang suka Mas Mul remehin ini calon sarjana tahu?!”
“Atas nama Mulya.” Panggilan itu menyelamatkan Mulya, Mulya bangkit untuk mengambil minumannya.
Mulya berjalan keluar dengan dua gelas minuman boba rasa sama seperti sebelumnya. “Yang satu buat Tya lagi?” Tanya Yuri sambil menerima gelas yang Mulya sodorkan.
“Buat aku.” Mulya menusuk penutup dengan ujung runcing sedotan dan meminumnya. “Ternyata rasanya lumayan juga.”
***
Ayah keluar ketika mendengar suara mobil Yuri, bermaksud untuk membukakan pagar, tapi ternyata Yuri sudah turun membukanya sendiri. Mobil Yuri langsung masuk ke pelataran dan Ayah menyadari kalau dibalik kemudi ada Mulya.
“Kok bisa Mulya yang nyetir, Nak?” tanya Ayah.
“Mas Mul sendiri yang maksa mau antar.”
Papa tersenyum penuh arti. “Berarti dia sangat memikirkan calon istrinya yang cantik ini.”
“Ih, Ayah apaan, sih,”
Mulya keluar setelah mobil Yuri terparkir dengan benar sambil membawa gelas boba yang sisa sedikit. Mulya menyapa Ayah, sambil tangannya diangsurkan pada Yuri, menyerahkan kunci mobilnya. “Dapat banyak mancingnya, Om?”
“Kok Mas Mul tahu Ayah habis mancing?”
“Aku bahkan tahu Ayahmu mancing dimana.”
“Aku juga tahu.”
“Dimana?” tantang Mulya.
“Persisir, kan?”
“Pesisir mana?”
Iya, benar juga. Ayah tidak memberitahu dimana persisnya Ayah memancing selama ini. “Emangnya Mas Mul tahu?” Yuri belum mah kalah.
Suara kekehan Papa menengahi. “Sudah, sudah. Kalian kalau bertengkar terus, bisa-bisa Ayah nikahkan besok pagi.”
Yuri mendengus sebal, dan balik badan masuk ke dalam rumah begitu saja. Ia masih bisa mendengsr ketika Ayah berkata, “kalau kamu mau pulang, bawa saja mobil Yuri, Ya.”
“Nggak boleh!” Sahut Yuri dari dalam. “Aku besok mau ke kampus.”
“Aku tidur di rumah Mama saja, Om. Besok berangkat ke kantor dari sini sama saja.” Mulya tiba-tiba teringat sesuatu, “hmm Om? Kapan Om akan memberitahu Yuri? Kalau diberitahu terlalu mendadak, aku khawatir Yuri syok.”
Ayah terseyum lembut. “Nanti setelah kalian resmi saja, jadi tugas Om menjaga Yuri benar-benar selesai dan Om bisa pergi dengan tenang melepaskan dia.”
Mulya menglela napas berat, ada rasa tak setuju namun tidak bisa berbuat banyak. Ayah Yuri lebih tahu apa yang terbaik untuk dirinya dan Yuri. “Kalau begitu aku pulang dulu, Om.”
***
Eyang Weni menjadi satu-satunya orang yang tidak berbahagia atas ditetapkannya tanggal pernikahan Yuri dan Mulya. Terlebih setelah mengetahui rencana Mulya tinggal di rumah orangtua Yuri setelah menikah nanti, lantaran Eyang merasa sang cucu lebih dari mampu untuk membangun rumah tangganya dan rumah hasil jerih payahnya sendiri.
Segala persiapan sudah mulai dilakukan, sebagian besar Mama Mulya dan Yuri yang mengurusnya. Sementara Mulya aman berlindung dibalik kalimat pendek, 'ngikut maunya Yuri aja' yang sukses membuat Yuri meradang di awal-awal. Memangnya Yuri akan menikah dengan tiang listrik Apa?!
Untungnya ada Mama Mulya yang selalu membantu dan menenangkan Yuri, malah bisa dibilang Mama yang mengambil sebagian besar urusan. Yuri tinggal pilih-pilih saja.
"Mas Mul yakin Cuma mengundang orang segini? Mas Mul nggak punya teman kerja? Teman kuliah? Atau kenalan gitu?"
"Aku setuju bikin resepsi bukan buat reuni dadakan, jadi aku hanya mengundang siapa aja yang ingin aku lihat di acaraku."
"Apa salahnya, sih? Hitung-hitung menyambung silaturahmi."
Mulya melirik Yuri sekilas, sebelum mengembalikan fokus ke kemudi mobil dan jalan raya di depan. "Nggak salah, Yul. Terserah kamu mau undang teman-temanmu dari TK sampai teman kampusmu."
"Aku bilang begitu bukan karena aku terlanjur mengundang semua teman-temanku ya, Mas Mul. Tapi memang nggak ada salahnya menyebarkan kabar bahagia ke sebanyak-banyaknya orang. Makin banyak orang yang datang, artinya makin banyak orang yang ngedoain pernikahan kita."
"Iya..." Mulya menutupnya dengan satu kata itu. Yuri masih sangat lugu. Di mata Mulya esensi resepsi pernikahan jauh dari itu. Mulya sebetulnya menginginkan pesta kecil yang hanya dihadiri keluarga dan teman-teman terdekat saja. Mulya tidak harus berdiri di pelaminan, menunggu para tamu antre bersalaman. Si pengantin lah yang harusnya berkeliling menyapa dan mengucapkan terima kasih pada para tamu yang sudah menyempatkan datang di tengah kesibukan. Tapi karena Mulya lebih suka mengalah daripada ribut-ribut, maka ia biarkan Yuri dan Mama menwujudkan wedding dream mereka.
Mobil Mulya akhirnya tiba di depan rumah Yuri. "Mas Mul, apa nggak sebaiknya kita bikin perjanjian pranikah?"
Mulya mengernyit, agak terkejut Yuri kepikiran hal tersebut. "Memangnya kamu tahu itu apa?"
"Ih, ngeremehin lagi kan. Gini-gini aku juga anak kuliahan kayak Mas Mul, ya. Bedanya Mas Mul udah lulus dan udah kerja, sedangkan aku belum." Yuri tersenyum pongah. "Aku mau ngelindungi hak-hak aku dan supaya ada batasan-batasan yang jelas di pernikahan kita. Sekarang Mas Mul memang kelihatan kayak laki-laki baik-baik, tapi kan manusia selalu berubah."
"Kalaupun perlu, seharusnya aku yang mengusulkan."
"Apa maksudnya itu?!" Yuri menyelak gumaman nyaris tak terdengar Mulya. "Mentang-mentang Mas Mul udah berpenghasilan, Mas Mul khawatir aku ngambil harta Mas Mul, gitu?"
"Bukan begitu-"
"Mas Mul kenapa sih selalu ngeremehin aku?" Yuri menambah huruf U pada kata selalu dengan penuh dramatis. "Aku ini anak tunggal, meskipun nggak kerja, aku masih bisa foya-foya dengan uang Ayah. Justru perjanjian ini memastikan aku nggak nyentuh harta Mas Mul, dasar pelit."
"Yul," Suara rendah dan tenang Mulya menjadi semacam penyeimbang diantara mereka. "Perjanjian pranikah itu nggak cuma menyangkut soal uang-"
"Aku tahu!"
Bibir Mulya menipis, ia menatap Yuri putus asa. Meski akan sulit, Mulya harap ia tak menyesali keputusannya menikahi gadis kekanakan ini. "Oke, karena kamu udah ngerti. Tulis aja point-point yang mau kamu masukkan, kita bahas lagi nanti."
"Ya udah, Mas Mul juga harus tulis sesuatu. Aku nggak mau terserah terserah aja. Yang cewek itu aku, kok jadi Mas Mul yang hobi banget bilang terserah."
Meski belum kelikiran apa yang harus ditulis, Mulya mengiyakan saja. Yuri mencangklong tas ranselnya sebelum turun dari mobil Mulya. Mulya tidak akan mampir ke rumah orangtuanya karena sudah cukup malam.
***
Eureka
P
P
P
Mas Mul
Calon suamiku yang ngaku sayang tapi nggak pernah nunjukin rasa sayang
Udah nulis poin perjanjian yang dimau?
Mulya melirik ponselnya di atas meja yang menampilkan pop up beruntun pesan yang Yuri kirimkan. Mulya belum berniat membalasnya karena masih sibuk dengan masalah pekerjaan yang ditangani. Lima menit kemudian, Yuri mengirim pesan lagi.
Halooo
Mas Mul nggak satu2nya orang sibuk ya!!! Aku juga sibuk!!!
Balas dong!
Menghela napas panjang, Mulya putuskan mengetik jawaban.
Iya
Jangan lupa nanti malam
Masalah penting nggak boleh ditunda2
Ok
Oke, see you later
Mulya tidak membalasnya lagi, yang penting keinginan Yuri sudah dituruti. Sayangnya Mulya selalu saja lupa kalau Yuri banyak maunya. Pesan baru kembali masuk ke ponselnya.
Dasar manusia batu
Aku bakal cantumin poin Mas Mul nggak boleh ngacangin chat aku, minimal balas pake emoticon.
Siap2 aja
Tidak, Mulya tidak bisa menyesali keputusannya di saat segala persiapan sudah dilakukan dan banyak pihak yang terlanjur bahagia. Mulya hanya perku bersabar dan beradaptasi menganggap Yuri sebagai perempuan dewasa, bukan lagi adik kecil.
Fokus Mulya buyar, angka-angka dan tulisan di layar komputernya mental menolak masuk kepala. Sejak kemarin Yuri menerornya dengan masalah ini. Hak-hak apa yang sebenarnya Yuri khawatirkan, apa Mulya terlihat seperti tidak laki-laki bertanggung jawab dan pengekang?
Mulya menatap layar komputernya lagi, hanya sesaat sebelum membuka lembar word baru dan mengetikkan kata dengan huruf capslock, ukuran diperbesar, dan ditebalkan.
"Prenuptial agreement?"Mulya berlonjak keget tahu-tahu ada orang di belakangnya, adalah Ergano, salah satu teman kerjanya. "Lo beneran mau nikah, Ya?"
"Hah? Apa? Apa?"
"Mas Mulya nikah?"
"Serius?"
"Wah, diam-diam udah langsung aja si Mas Mulya. Siapa calonnya?"
Mulya mendecakkan lidah. Kantornya didesain open space semua yang ada di ruangan besar itu bisa mendengar celetukan Erga yang sepertinya sengaja dikeraskan. Mulyanya kesal, Erganonya tertawa-tawa tanpa merasa berdosa.
Percuma Mulya mengelak, beberapa minggu lagi mereka akan menerima kartu undangan bertuliskan nama Mulya. Akhirnya Mulya ditodong membayari makan siang seluruh stafnya. Sialan.
***
Perjanjian pra nikah p.o.v Yuri
1. Harus menghormati orangtua masing-masing
2. Mas Mul tidak boleh larang Yuri berkarir di dunia kerja.
3. Mas Mul tidak boleh membatasi pergaulan Yuri dan harus mendukung semua hobby dan keinginan Yuri.
4. Segala keperluan rumah tangga ditanggung Mas Mul, kalau Yuri sudah kerja, gajinya akan sepenuhnya jadi miliknya.
5. Sampai batas waktu yang belum bisa Yuri tentukan, Mas Mul tidak boleh menyentuh Yuri dan Mas Mul nggak boleh keberatan dengan bawa-bawa agama
Mulya mendecakkan lidah, menggoyang-goyangkan selembar kertas binder warna kuning dimana Yuri menulis poin-poin itu. "Kamu sebut ini poin perjanjian?"
Di saat yang sama Yuri mengangkat wajahnya dari kertas A4 dimana Mulya mencetak tiga point panjang yang ingin dimasukkan dalam perjanjian pra nikah mereka. "Kenapa bahasanya kaku sekali? Pihak pertama siapa terus pihak kedua siapa?"
Mulya kehabisan kata-kata. Seharusnya ia tak memikirkan terlalu serius masalah ini. "Yul, itu udah ada keterangannya. Kamu nggak baca?"
Yuri menekuri kertas di depannya lagi lalu menyengir mirip kuda. "Oh... Baru kelihatan. Jadi pihak pertama Mas Mul, pihak kedua aku?" Yuri manggut-manggut mengerti. "Tapi, coba Mas Mul jelasin langsung biar aku ngerti."
Mulya kemudian menjelaskan bahwa point pertama adalah pemisahan harta benda mereka yang diperoleh sebelum menikah atau warisan keluarga. "Sudah aku duga Mas Mul menaruhnya di point pertama." Yuri tersenyum miring mencemooh.
"Itu untuk melindungi harta warisan kamu yang katanya bisa dipakai foya-foya tanpa kerja." Mulya meluruskan, meski ia tak terlalu ambil pusing Yuri selalu mengatainya pelit sebenarnya.
Kedua, kalau di tengah pernikahan terjadi perselingkuhan dan sudah ada anak, maka yang berselingkuh tidak berhak mendapat hak asuh dan pembagian harta gono-gini.
Cairan es kopi yang baru Yuri minum menyembur keluar begitu mendengar point ke dua. Percikannya mengenai wajah Mulya yang duduk tepat di depannya. "Maaf maaf Mas Mul, habisnya aku nggak nyangka Mas Mul bawa-bawa soal anak, sih."
Dengan dongkol Mulya menarik beberapa lembar tisu untuk membersihkan wajah dan percikan kopi yang mengenai kemeja biru mudanya. "Kita tinggal coret kalau memang kamu nggak mau punya anak. Kecuali kalau kamu sejak awal terpengaruh n****+-n****+ yang suka kamu dan Tya koleksi itu. Nikah kontrak atau apa pun itu, aku nggak mau jadi teman main kamu. Kita akan menikah sungguhan."
Seketika Yuri menciut di kursinya, ia hanya bisa gigit-gigit ujung sedotan lantaran tak bisa menyanggah omongan Mulya. Jujur saja ketika tiba-tiba harus menikah dengan Mulya, yang terbayang di kepala Yuri adalah situasi marriage life di n****+-n****+ yang jadi genre favoritnya sejak SMA.
Dan point ketiga sekaligus point terakhir, Mulya ingin apapun masalah yang terjadi, mereka harus saling membicarakan dan tidak boleh melakukan penilaian sepihak.
Untuk poin yang ke tiga ini Yuri merasa tidak ada yang perlu dikomentari.
Mulya mengambil kertas di tangan Yuri, menggabungkanya dengan kertas perjanjian yang ditulis Yuri, kemudian meletakkannya di tengah meja. "Lupakan masalah perjanjian ini dulu. Sebelum makin jauh, sekarang aku mau tanya sekali lagi sama kamu. Aku minta keseriusan kamu. Kali ini pikirkan dulu, semua yang keluar dari mulut kamu aku anggap itu sebagai komitmen."
"Apa sih, Mas Mul. Kita udah lamaran resmi juga."
"Kamu yakin mau nikah sama aku?"
Yuri menelan ludah, tiba-tiba mengubah posisinya jadi duduk tegak sopan.
"Menikah dengan aku, Yul, dalam artian sebenarnya. Bukan nikah dadakan ala-ala n****+. Aku nggak menjanjikan apa-apa. Yang jelas kalau kamu bisa percaya sama aku, aku akan melindungi kamu sampai kapan pun."
Yuri benar-benar mengambil jeda waktu untuk berpikir. Dunia ini bisa jadi lebih indah daripada yang dikisahkan di n****+. Mbak Rini pernah cerita pernikahannya dengan sang suami juga bukan kehendaknya. Mereka tidak saling cinta pada awalnya, karena saling memegang komitmen, lama-lama mulai terbiasa dan menikmati kebersamaan mereka. Mereka saling bergantung dan mengandalkan, hingga sekarang tak ingin dipisahkan.
Kalau Mulya bisa seyakin itu, harusnya itu cukup bagi Yuri untuk tidak meragukan keseriusannya.