Prolog | Tragedi Kuda-kudaan
“Tya... Main yuk.”
Seorang gadis cilik berteriak di depan sebuah rumah yang pagarnya memang tidak pernah dikunci, kecuali benar-benar sedang tidak ada orang sama sekali di dalam. Bocah itu memakai singlet putih dan rok merah seragam sekolah dasar, rambut kuncir duanya sudah acak-acakan setelah dua jam tidur siang. Belum juga dapat sahutan, bocah itu berteriak memanggil lagi sambil menjilat lollipop kesukaannya. “Tya... Tya... Yul datang, nih."
“Tyanya nggak ada!”
Sahut suara keras dan sedikit serak. Itu suara Kakaknya Tia, sudah kelas 3 SMP. Orangnya jelek, pemarah dan suka bego-begoin Yuri dan Tya.
Yuri mengerutkan kening tak yakin, lantaran sepulang sekolah tadi, dirinya dan Tya sudah janjian mau main masak-masakan bareng di rumah Tia. Sayangnya ia ketiduran sehabis makan, makanya baru bisa datang saat hari menjelang sore seperti ini. Ia bahkan belum mandi dan ganti baju seperti yang disuruh Mbak Rini.
Tapi kalaupun Tya tidak ada, tidak apa-apa. Ia bisa main sama Kakaknya Tya. Galak-galak begitu, dia lucu. Tanpa sungkan, Yuri yang sudah biasa keluar masuk rumah Tya pun masuk tanpa assalamualaikum.
Ruang tamu kosong, Yuri pun beralih ke ruang keluarga tempat TV berada. Biasanya ia dan Tya menonton kartun berbahasa Inggris di sana, lagunya enak-enak, meskipun belibetan kalau dinyanyikan.
Bocah itu berjalan pelan, ada Kakaknya Tya sedang serius nonton sesuatu. Yuri tidak bisa lihat jelas apa yang sedang ditonton karena tertutup badan kerempeng kakaknya Tya. Penasaran, bocah itu terus mengendap-endap sampai berdiri tepat di belakang kakaknya Tya.
“Ih, kok orang gede sama orang gede main kuda-kudaan?”
“Yul!”
Saking kagetnya lelaki tanggung itu terjengklang, menatap horor seolah-olah gadis cilik cemong itu adalah jelmaan penyihir menakutkan. Buru-buru dia berdiri dan berusaha menutup layar cembung itu dengan tubuhnya.
“Mas Mul lagi apa?” Tanya bocah itu polos. Matanya berkedip-kedip berusaha memahami mengapa Mul yang tadinya asyik nonton sekarang pura-pura jadi cicak neplok di TV. “Yul boleh ikut nonton?”
“Nggak boleh!” Mul, atau panjangnya Mulya itu berteriak panik. Bisa bahaya Yuri yang suaranya sebising tong kosong ini melihat lebih banyak apa yang ditontonnya barusan. “Lagian ngapain sih masuk segala. Udah dibilangin Tyanya nggak ada juga! Udah pulang sana.”
“Kata Ayah nggak boleh pelit, Mas Mul. TV kan cuma ditonton, nggak akan habis kalau ditonton bareng-bareng. Malah lebih seru."
“Bodo amat. Itu kata Ayah lo, bukan Ayah gue.”
Yuri cemberut tidak terima. “Emang kenapa sih?”
“Kalau orang gede bilang nggak boleh ya nggak boleh. Anak kecil nggak boleh cerewet nanti rambutmu keriting seumur hidup. Mau?”
Sontak saja Yuri memegang rambutnya yang memang ikal cenderung keriting itu. Sebenarnya ia ingin punya rambut lurus panjang seperti Tya, tapi kata Mbak Rini kalau ia sudah besar, rambutnya nanti bisa diluruskan. Jadi sebenarnya siapa yang bohong, Mas Mul atau Mbak Rini? Tapi Mbak Rini sering bohong juga. Dia bilang disuntik itu seperti digigit semut, faktanya Mas Mul benar, suntik itu sakit sekali sampai membuat Yul demam besoknya.
“Beneran Mas Mul?”Tanya Yul terkecoh.
“Iya, makanya nurut sama aku.” Jawab Mulya cepat. “Sekarang pulang ya, biar nanti rambutnya bisa bagus kayak Cinderella.”
“Yang rambutnya bagus itu Rapunzel, Mas Mul.”
“Iya iya, mau Cinderella kek, Rapunzel kek, Snow White kek. Pokoknya kamu mesti pulang sekarang.”
“Eurika... Pulang! Mandi dulu baru main lagi.”
Mata Mulya berbinar mendegar suara Mbak Rini, pengasuhnya Yuri, sementara bocah yang belum bisa menyebut namanya dengan benar itu mengaduh kesal.
“Tuh, dipanggil Mbak Rini tuh.”
“Eurika, Mbak hitung sampai tiga ya. Kalau nggak keluar, Mbak Rini bilang ke Ayah kalau kamu tadi tidur tanpa cuci kaki.”
“Iya Mbak, bentar.” Jawab Yuri berteriak. Gawat, Ayah benci Yuri naik ke tempat tidur dengan kaki kotor.
Mulya mendesah lega.
Eurika mendongak sebal pada Mulya. “Yaudah deh, ntar Yul minta beliin ke Ayah aja. Mas Mul pelit.” Yul menjulurkan lidah mengejek.
“Minta beliin apa?” Mulya menarik rok Yuri, menahannya untuk meluruskan sesuatu yang janggal.
“Minta beliin kaset film orang gede main kuda-kudaan dong kayak yang Mas Mul lagi tonton.”
Mulya belingsatan lagi sambil mempertahankan posisi menutupi TV, otaknya yang biasanya encer baru terpikirkan untuk memencet tombol power sehingga layar TV seketika menghitam mati. Mul mendesah lega. “Yul, dengar.” Mulya berjongkok menyamakan posisi tubuhnya dengan Yuri, berusaha bicara dari hati ke hati siapa tau bocah ini bisa mengerti. “Yang aku tonton barusan itu bukan orang gede main kuda-kudaan, tapi pelajaran biologi soal anatomi dan reproduksi manusia.”
Jelas saja bocah SD kelas 1 itu tidak ngerti. Mulya berdecak kesal, memikirkan cara lain. “Ya itu bukan pelajaran anak SD makanya aku nggak mau ngasih tau. Gini deh, kalau kamu nggak bilang ke siapa-siapa soal film pelajaran biologi tadi, aku beliin permen.”
“Bener?”
“Iya bener. Tapi jangan bilang-bilang Tya, nanti dia minta juga.”
Muka polos itu sok-sokan berpikir. “Ehm, oke deh.”
“Oke apa?” Mulya memperjelas.
“Oke Yul nggak akan minta Ayah beliin kaset orang gede main kuda-kudaan. Tapi Mas Mul beneran ya, beliin Yul lollipop. Yul mau 3.” Yul mengacungkan dua jari membentuk V yang sebenarnya simbol angka 2 di depan wajah Mulya.
Mulya nyengir terpaksa sambil menyingkirkan tangan Yuri dari depan wajahnya. “Iya iya. Besok ya, sekarang mandi dulu sana. Nanti nggak diajak ke pasar malam lho.”
“Yuriii... Mbak tinggal, ya.”
“Tunggu Mbak...” Yuri lari terbirit-b***t. “Dadah Mas Mul, Yuli pulang dulu.”
Saat Yuri sudah menghilang dari hadapannya, Mulya baru bisa benar-benar lega. Ia hanya perlu membelikan sebuah lollipop, jaga-jaga kalau bocah itu menagih. Syukur-syukur kalau tidak, artinya Yuri lupa dan Mulya tentu tidak akan meningatkannya.
Kedamaian Mulya tidak bertahan lama, saat tiba-tiba terdengar suara rintik hujan. Bukan gerimis kecil-kecil seperti intro hujan biasanya, tapi langsung hujan besar. Teringat pesan mamanya sebelum pergi tadi untuk mengangkat jemuran kalau hujan. Mulya berlari menaiki tangga menuju tempat mamanya menjemur pakaian, kemudian memindahkannya ke sisi berpelindung.
Beres sama urusan jemuran, Mulya lari turun ke depan rumah teringat sepedanya masih di pelataran. Di pelataran Mul melihat jendela kamarnya masih terbuka dan gordennya berkibar-kibar tertiup angin. Mengamankan sepeda ke dalam garasi, Mul naik lagi ke lantai dua, memastikan semua jendela di rumahnya tertutup.
Usai memastikan semua aman, Mulya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia capek sekali, lari-larian kesana kemari, naik turun tangga lagi. Mulya memejamkan mata, sejuk sekali udaranya. Perlahan, Mulya yang awalnya cuma berniat rebahan, jadi ketiduran.
Entah berapa lama Mulya tidur, yang jelas tidurnya pulas sekali. Ia dibangunkan oleh lengkingan suara mamanya. Seketika Mulya tersentak kaget, teringat kaset ‘pelajaran biologi’ masih tertinggal di DVD player.
Detik selanjutnya, Mulya tergopoh-gopoh lari menuju ruang keluarga. Ia sempat terasandung kakinya sendiri dan nyaris menggelinding dari atas tangga.
Terlambat. Saat Mulya sampai di sana, seluruh pasang mata perputar ke arahnya. Kecuali mata Tha yang ditutup oleh telapak tangan milik Mama. Layar cembung itu tengah menampilkan lanjutan yang ia tonton sebelumnya.
Sial.