08 | Yang Makin Cocok

2328 Kata
Sebuah terpal digelar, semua makanan yang sudah dimasak ditaruh tengah-tengah. Orang-orang duduk mengelilingi sambil saling bercengkerama. Mulya diarahkan duduk bersebelahan dengan Yuri, padahal Yuri masih belum ingin dekat-dekat Mulya dulu. Masih belum bisa terima menciumnya dianggap Mulya sebagai kekhilafan. “Ayo, Nak Mulya jangan sungkan-sungkan. Di sini semua orang lomba banyak-banyakan makan,” ujar seorang lelaki sepantaran Ayah. “Iya, Dok, nggak sungkan. Tapi bingung mau makan yang mana dulu. Banyak sekali makanannya.” Dok? Mulya cepat sekali berbaur dengan warga sini. Yuri melirik isi piring Mulya, ada nasi, ikan bakar dan sayur entah apa. Tumben Mulya makan porsi preman begitu, biasanya dia sangat pemilih. Kalau makan nasi putih, pasti cuma seujung centong. Sampai-sampai mamanya harus masak dua nasi berbeda. Nasi merah atau shirataki untuk Mulya, dan nasi putih biasa untuk sisanya. Tugas Mama itu nanti akan menjadi tugas Yuri. Membayangkannya saja Yuri sudah merasa repot. “Yuri udah pernah makan lobster sebesar ini?” Yuri melebarkan mata saat seseorang mendorong piring berisi lobster bakar dengan bumbu kemerahan didekatkan ke piringnya. Daging putih lobster itu merekah menggoda. Tak enak menolak sekaligus memang tergoda, Yuri memotong sedikit daging kenyal itu. “Ayo, makan saja semuanya. Mana terasa kalau cuma segitu.” “Eh, jangan. Masa lobster sebesar ini saya makan sendirian.” “Bagi berdua sama calon suamimu. Bapak sengaja keluarin lobster itu buat anaknya Pak Rulli sama calon menantunya yang gagah itu.” Kenapa harus diakhiri dengan pujian untuk Mulya sih? Heran. Yuri melirik Ayah, Ayahnya memberi anggukan seolah menyuruh Yuri memakan bintang hidangan malam ini. Mengabaikan rasa sungkan, akhirnya Yuri mendekatkan piring lobster ke piring nasinya. Saat ia hendak memakannya dengan tangan, Yuri menyadari seluruh mata tertuju padanya. Yuri menelan ludah. Baiklah, ia tahu apa yang mesti ia lakukan. Sebelum memindahkan daging tebal lobster ke atas nasinya, Yuri mengambil potongan satunya dan menaruhnya di atas piring Mulya. Mulya menoleh padanya dengan heran. “Semua orang ngelihatin kita,” bisik Yuri, barulah Mulya sadar kalau Yuri sedang memerankan perannya sebagai calon istri yang baik. Semua orang saling bersahutan memuji betapa perhatiannya Yuri ke Mulya yang membuat Ayah tersenyum bangga. Setelah selesai pun warga tidak ada yang pergi sebelum semuanya bersih seperti semula. Setelah diberi kehormatan makan lobster jumbo, Mulya menawarkan dirinya dan Yuri mencuci piring dan semua peralatan, tanpa minta persetujuan Yuri. Yuri suka masak, tapi Yuri paling benci cuci perabotannya. Makanya ia paling semangat masak kalau di rumah sedang ada Mbak Rini saja. Mereka mencuci piring di keran depan rumah Bu Ratna. Mulya yang menyabuni semua peralatan, dan tugas Yuri membilasnya dengan air bersih. Belum selesai satu piring Yuri taruh di bak peniris, Mulya sudah menyodorkan yang lain. Yuri mendelik kesal, makin kesal ternyata pandangan Mulya meleng ke arah lain. Bukan ke perabotan yang dia sabuni. Diam-diam Yuri ikuti kemana mata Mulya memandang, tanpa sadar pandangannya juga tertambat di sana. “Nih, Yul. Yuri—“ Mulya menoleh pada Yuri lantaran piring yang ia ulurkan tidak juga diambil. Yuri melihat apa yang sedari tadi ia lihat, dan sepertinya Yuri juga memikirkan hal sama dengannya dari apa yang mereka lihat itu. “Mas Mul...” “Hmm...” “Alasan Ayah pindah ke sini nggak mungkin karena itu juga, kan?” *** Melihat seorang duda dan janda bercengkrama berdua dengan rona tak biasa, mustahil yang melihat tidak merasakan diantara mereka tidak ada apa-apa. Meski tidak terlalu negatif, kesan Yuri terhadap Bu Ratna berubah. Segala kebaikan dan perhatian yang dia berikan ke Yuri tidak lagi nampak tulus, melainkan memang harus lantaram Yuri adalah anak Pak Rulli. Pagi ini mereka akan pulang dengan menumpang perahu nelayan, Papa mengantar mereka sampai dermaga nelayan. Papa tidak ikut pulang dengan alasan masih ada yang harus dikerjakan di sini. “Pulang dulu, Om,” pamit Mulya. “Iya, hati-hati. Terima kasih udah mati direpotin Yuri.” “Salah siapa main rahasia-rahasiaan?” dengus Yuri. Kemungkinan masih adanya rahasia yang Ayah sembunyikan membuat Yuri merasa Papa tidak bisa mempercayai dirinya. “Kamu masih marah Ayah nggak ikut pulang bareng kalian?” “Kenapa aku mesti marah?” Yuri menghindari tatapannya bertemu dengan mata Ayah. “Aku Cuma masih nggak suka Ayah menyembunyikan sesuatu pakai alasan demi kebaikan aku. Meskipun belum bisa melakukan apa-apa sendiri, kalau diberi penjelasan, aku pasti bisa ngerti, kok.” Senyum Ayah menyiratkan rasa bersalah. “Ayah juga nyesel, mulai sekarang Ayah akan lebih terbuka ke kamu.” Yuri melipat tangan di d**a, sudut matanya melirik Ayah sekilas. “Benar udah nggak ada lagi yang Ayah sembunyikan?” “Nggak ada. Ayah udah cerita semua kemarin.” “Ayah yakin?” Kening Ayah berkerut bingung. Tak tahan dengan drama Yuri, Mulya menyela. “Maksud Yuri, Om—“ “Bagus lah kalau nggak ada,” potong Yuri sengaja menghentikan ucapan Mulya. “Kita pergi sekarang, aku mau nge-charge handpohone.” Yuri menyeret Mulya mendekati perahu yang akan mereka tumpangi. Mulya sudah naik perahu lebih dulu, tangannya terulur menunggu Yuri menyambutnya. Namun Yuri malah terpaku di tempat, sebelum membalikkan badan menghadap Ayah lagi. “Ayah,” panggilnya. “Ayah kalau punya keinginan, langsung cerita ke aku. Aku mungkin nggak bisa bantu banyak dan mungkin juga akan sedikit cerewet. Tapi kalau itu buat kebahagiaan Ayah, aku pasti akan dukung.” Di ujung sana, Ayah hanya memberi anggukan kepala sebanyak dua kali. Yuri melambaikan tangan dan buru-buru berbalik, Mulya bisa lihat bibir gadis itu dirapatkan dan sedikit bergetar. Setelah perahu mulai berlayar kian menjauhi dermaga, Yuri mengeluarkan tangisnya. “Minta tisu.” Mulya membuka ransel kecil Yuri dan mengeluarkan tisu kantong dari sana. “Kenapa tadi nggak tanya aja sekakian, sih? Biar jelas dan nggak perlu mikir yang enggak-enggak.” “Ayah bilang udah nggak ada yang dia sembunyikan, kok.” “Terus kenapa kamu nggak percaya?” “Aku percaya, makanya aku nggak nanya.” Mulya berdecih pelan. Siapa yang coba Yuri bohongi sebenarnya? “Kamu bukan percaya, tapi takut seandainya jawaban Ayah seperti yang kamu kira.” “Sok tau.” “Kamu nggak suka Ayahmu menikah lagi?” Yuri seperti tidak mau menjawab oertanyaan Mulya, ia sibuk berusaha menyatukan semua helai rambutnya dalam genggaman tangan sebelum diikat, tapi angin laut terlalu kencang. Yuri berdecak kesal, akhirnya menyerah, biar saja rambutnya beterbangan asalkan akarnya masih menempel di kulit kepala. Yuri terkesiap ketika tali rambutnya diambil oleh Mulya dan Mulya merapikan rambutnya dari samping, Yuri sedikit menyerong agar Mulya lebih mudah melakukannya. “Aku tuh bingung, Mas Mul,” ujar Yuri. “Kalau Ayah mau menikah lagi, kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari-dari dulu pas Ayah masih gagah dan aku masih suka iri kenapa Tya punya Mama sementara aku enggak. “Dulu-dulu aku masih sering nanya kenapa Ayah nggak mau nikah lagi, Ayah bilang kalau di dunia ini Ayah udah nggak butuh siapa-siapa lagi, kecuali aku. Makanya aku heran Ayah tiba-tiba ngedorong aku nikah muda dan mutusin tinggal berjauhan sama aku begini.” “Emang kenapa kalau Ayahmu baru ingin nikah lagi sekarang?” Mulya berhasil mengikat rambut Yuri lumayan rapi. “Ya nggak apa-apa, sih.” Yuri meluruskan lagi duduknya. “Cuma, tadinya aku sempat mikir Ayah terlalu cinta sama Bunda, jadi nggak bisa mulai hubungan baru sama perempuan lain.” Yuri sejujurnya mengagumi kesetiaan Ayah terhadap Bunda, tanpa sadar menjadikan Ayah sebagai tipe idaman pasangannya kelak. Tulus mencintai dan setia meski maut menempatkan mereka di dunia berbeda. Disaat ada banyak pasangan yang tinggal seatap, masih suka cari-cari celah pembenaran atas perselingkuhan yang dilakukan. “Ayahmu pasti punya pertimbangannya sendiri. Orang yang ditinggal pasangannya meninggal terus memutuskan buat menikah lagi, bukan berarti dia nggak setia. Agama dan norma nggak melarang itu. Yang hidup, harus melanjutkan hidupnya.” “Berati Ayah bohong, dong, bilang nggak butuh siapa-siapa lagi? Buktinya Ayah masih punya pikiran buat nikah lagi?” “Begini, Yuri. Jangan asal menyimpulkan sesuatu, apalagi itu dasarnya Cuma dari perasaan kamu. Umurku 10 tahun waktu kamu lahir, aku lihat sendiri gimana perjuangan Ayahmu saat Bundamu meninggal. Dia bisa kuat dan bertahan selama ini ya karena kamu. Kalau sekarang Ayahmu ingin menikah lagi, kayaknya akan lebih gampang kalau kita anggap Ayahmu butuh teman buat menghabiskan masa tuanya. Tapi maksudnya dia membuang kamu. "Ayahmu pernah bilang ke aku kalau dia nggak mau merepotkan kamu seandainya udah berumah tangga. Kamu perempuan, Ayahmu percaya kalau perempuan itu harus ikut kemana pun suami pergi. Ngerti?” Yuri mengangguk lemah. “Seandainya aku nggak pernah lahir, Ayah nggak akan menderita dan takut kesepian.” “Heh, ngomong apa kamu itu?!” Mulya memejamkan mata sesaat, berusaha bersabar memberi pencerahan. “Namanya kematian dan kelahiran itu bukan perkara harusnya atau kalau seandainya, kedua hal itu ada dikendali Allah. Manusia nggak bisa mencegahnya.” Ekspresi sendu Yuri mendadak jahil, membuat Mulya memundurkan kepala takut. “Iya-iya, emangnya aku sebodoh itu apa? Aku Cuma asal aja barusan.” Yuri menyengir menunjukkan deretan giginya. Yuri menolak merayakan pesta ulang tahun sejak umur 12 tahun, ketika akhirnya ia benar-benar mengerti penyebab Bundanya meninggal. Bagaimana mungkin ia berpesta di hari dimana seharusnya ia berkabung. Yuri sempat menyalahkan diri menjadi penyebab kematian Bundanya, dan sejak saat itu hingga saat ini, kalimat yang Mulya tuturkan barusan seperti menjadi templete berulang. Ayah juga pernah mengatakan persis seperti Mulya, bahwa yang hidup harus melanjutkan hidupnya. Sekarang Yuri akan menunggu sembari mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan yang bisa terjadi, seandainya Ayah lebih tenang tanpa beban untuk terbuka setelah Yuri dan Mulya resmi menikah. “Mas Mul, rumah tangga kita harus bahagia biar Ayah nggak mikirin aku lagi,” kata Yuri tiba-tiba, kemudian menepuk paha Mulya. “Ngomong-ngomong aku penasaran, deh, Mas.” “Apa?” “Kemarin abis cium aku, kenapa Mas Mul minta maaf?” Mulya berdehem. “Nggak udah dibahas lagi.” “Ih, nggak apa-apa. Lagian cuma nanya doang, nggak minta dicium lagi.” Mulya melirik Yuri sekilas, gampang sekali pikiran gadis ini teralihkan. Atau entah sebenarnya Yuri yang sengaja mengalihkannya. Tapi jika diingat-ingat, Mulya hampir tidak pernah melihat Yuri galau lama-lama, jika dibandingkan dengan Tya yang pernah sampai sakit karena putus cinta. “Takutnya kamu kaget aku cium tiba-tiba,” jawab Mulya akhirnya. “Oh...” Yuri manggut-manggut mengerti. “Padahal Mas Mul nggak perlu minta maaf segala. Kan, ciuman salah satu ungkapan perasaan, karena Mas Mul sayang sama aku.” Yuri sengaja menyenggol-nyenggol lengan Mulya lantaran lelaki itu tidak merespon ucapannya. “Iya, kan, Mas Mul?” “Iya...” *** Seolah memang sudah ditunggu, ketika mobil Mulya berhenti di pinggir jalan depan rumah mereka, gerbang rumah Mulya langsung terbuka dan Eyang Weni serta Mama dan Tya muncul dari baliknya. Ngantuk Yuri hilang, ia menarik napas panjang sambil bersiap keluar, mengambil ancang-ancang menghadapi Eyang. Mulya langsung menyalimi tangan Eyang dan Mama bergantian, Yuri ikut-ikut saja biar terlihat sopan. Mata elang Eyang menyorot tajam pada Yuri dan Mulya, pada Yuri disorotnya lebih lama. “Kalian ini apa-apaan? Belum sah kok udah main nginep-nginep di luar berdua.” “Bukan berdu—“ “Pasti Yuri ya yang maksa-maksa nggak mau pulang.” “Kok aku? Bukan—“ “Lagian semendesak apa sih masalahnya sampai Yuri nggak sabar nunggu Ayahnya pulang dan harus hari itu juga disusul?" “Eyang,” akhirnya Mulya bersuara, sementara Yuri sudah trauma ucapannya dipotong ditengah jalan terus. “Hal-hal yang Eyang cemaskan itu sama sekali nggak terjadi. Anggap aja kemarin kami short trip mumpung hari sabtu. Mana kami tahu kalau gelombangnya kemarin tinggi jadi kami nggak bisa pulang dan terpaksa nginap di tempat Ayahnya Yuri.” Penjelasan Mulya sudah sangat jelas, tapi tampaknya Eyang malah tidak puas. “Ini jadi yang terakhir kali ya kalian pergi berdua, Eyang nggak mau kalian melewati batas cuma karena udah mau nikah.” Melewati batas apaan, baru tempel bibir aja, Mulya minta maaf. Yuri tentunya hanya bisa ngegerundel dalam hati. “Sudah masuk sana. Lihat, kulit kamu jadi gosong kelamaan di laut.” Eyang membelai pipi cucunya tersayang. “Dih...” Yuri tidak sadar cibirannya bukan Cuma disuarakan dalam hati untuk dirinya sendiri, tapi dengan mulut dan didengar orang disekelilingnya, termasuk Eyang. Yuri baru menyadari itu ketika Eyang melotot. “Kamu bilang apa barusan?” "Eh?" “Duh,” Tya menyamber, gadis itu langsung merangsek menggandeng lengan Yuri. “Tadi aku dengar Yuri bilang duh. Duh kamu pasti capek, iya, kan, Yul?” “Hah? Oh iya iya.” Otak lemot Yuri tidak langsung terkonek dengan Tya. “Gitu maksudku tadi, Eyang. Duh capek banget.” “Masa sih? Kok tadi Eyang dengarnya nggak begitu?” “Mungkin Eyang salah dengar.” “Oh... Jadi maksud kamu saya udah budek?” Salah jika Yuri mengira Eyang bisa adem dengan kata-katanya. Karena segala sesuatu yang bersumber dari Yuri, entah perkataan atau perbuatan, selalu salah di mata Eyang. Yuri menggigit bibir, mencegah diri mengatakan apa-apa lagi. “Ibu, pengucapan Yuri tadi memang sedikit nggak jelas. Tapi dia nggak ada maksud jelek, kok.” Tya mengangguk mendukung pembelaan mamanya. “Yuri capek ya pasti, istirahat gih.” Tya menyeret Yuri ke rumah, Yuri membiarkan tubuhnya ditarik pasrah. Ini belum apa-apa, tapi Eyang Weni mencurahkan semua kemampuan nyinyirnya untuk membuat Yuri tidak nyaman. Bagaimana Yuri akan menghadapi hari-hari yang akan datang, ya Allah. *** Menjelang sore Yuri baru bangun tidur. Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak, disamping memikirkan hubungan Ayah dan Bu Ratna, juga karena kasur kapuk di rumah Bu Ratna sangat keras. Yuri turun ke dapur, berniat masak mie instan rasa kari ayam dengan dua telur, sayur, potongan cabe, dan daun bawang. Ia membuka kulkas dan menemukan satu gelas boba tanpa es batu. Ia tidak merasa membelinya kemarin. Tidak mungkin Rini, karena Mbak Rini lebih sering membelikannya Es cendol. Lalu siapa yang menaruh minuman boba Xing Fu Xing ini di sini? Apa mungkin Mulya? Tapi dalam rangka apa? Masa bodoh, Yuri langsung membuka penutup plastik agar bisa ditambahkan es batu. Ah, nikmatnya. “Udah bangun lo?” Yuri melihat Tya berjalan ke arahnya sambil menyedot minuman sama dengannya. “Lo yang beli ini?” “Iya lah." “Oh...” “Kok muka lo kayak nggak seneng gitu gue beliin boba? Biasanya aja lo nanya-nanya gue ada voucher apa enggak.” Yuri mendecakkan lidah sewot. “Jangan kayak Eyang lo gitu deh, Ya. Ekspresi wajah gue kayaknya sumber masalah banget buat keluarga kalian." Tya tertawa cekikikan. “Ya habisnya, lo nggak ada bersyukur-bersyukurnya dikasih boba gratis.” “Iya, gue bersyukur, Setyari. Terima kasih ya. Puas, kan, lo?” sunggut Yuri sebelum mulai masak mie. Di rumah seberang, Mulya sedang duduk di depan laptopnya. Ia baru saja selesai melakukan virtual meeting, ditemani segelas boba yang dipesan Tya secara online dari kedai boba itu. “Sejak kapan kamu suka minum boba kayak Tya sama Yuri?” tanya Mama menyadari ketidakbiasaan Mulya, sebab Mulya cenderung menghindari makanan atau minuman manis. “Sejak aku nyicip punya Yuri dan ternyata enak.” “Akhirnya ada satu hal dari kamu dan Yuri yang cocok.” Mulya tersenyum mendengar desahan lega Mama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN