09 | Yang Makin Bentrok

2457 Kata
Sedianya hari ini menjadi hari terakhir fitting baju kebaya yang akan Yuri kenakan saat akad nikah. Yuri berharap bisa ditemani oleh Mama Mulya, atau kalau Mama nggak bisa, tidak masalah sendirian daripada malah Eyang ikutan. “Haduh, kenapa dadanya rendah sekali itu. Tuh, belahan payudaranya aja sampai kelihatan begitu.” Komentar pertama Eyang saat tirai tinggi ruang ganti disingkap, menampakkan Yuri dalam balutan kebaya putih modern lengkap dengan bawahan kain batik tulis. “Ini nggak bisa dilonggarin lagi? Badan Yuri jadi kelihatan cungkring kalau terlalu ketat, nanti apa kata orang-orang? Dikira istri Mulya kurang gizi.” “Kok kain batiknya motif ini?” “Eyang nggak suka, ini bukan kebaya namanya.” Elvira, si perancang kebaya dan Yuri sudah tidak tahu lagi bagaimana menjawab pertanyaan Eyang. Entah bagaimana kebaya paling bagus dan benar menurut versinya. Kebaya rancangan Elvira ini sangat cantik, Elvira mewujudkan kebaya putih impian yang ada di bayangan Yuri. “Eyang, semua kebaya modern modelnya memang begini. Banyak yang lebih seksi, ini termasuk sopan sesuai permintaan Yuri dan Bu Tiwi.” Elvira menjelaskan dengan senyuman manis. “Kamu sebagai perancang harusnya tahu kebaya yang bagus seperti apa, bukan main ikuti saja maunya client. Kan kamu yang lebih paham.” “Memang tugas saja membuat baju sesuai keinginan client. Dan baju bagus itu nggak ada pakemnya, Eyang. Semua tergantung selera dan kenyamanan si pemakai.” “Loh, nggak ada pakemnya gimana? Kebaya itu bagian budaya, lho. Nggak bisa dimodifikasi sembarangan sampai melenceng seperti ini.” Yuri menatap Elvira sungkan dan sarat akan permohonan maaf. Seharusnya Yuri bilang sejak awal kalau semakin dibantah, Eyang semakin tidak mau kalah. Elvira pun nampaknya baru kali ini menghadapi client secerewet Eyang. “Eyang nggak suka lihat kamu pakai ini, ganti saja model kebayanya.” “Hah? Mana bisa Eyang, ini fitting terakhir. Mau buat kebaya baru ya nggak mungkin cukup waktunya.” “Yang suruh bikin kebaya baru siapa? Eyang ada kenalan yang bisa bikin kebaya bagus, kita cari saja yang sudah jadi di sana.” Gawat. Tidak bisa dibiarkan, Yuri tidak mau hari besar yang akan jadi momen pertama dan sekali seumur hidup rusak hanya karena harus mengikuti kemauan Eyang. “Nggak bisa, Eyang. Aku akan tetap pakai kebaya modern ini.” “Eyang nggak suka.” “Tapi aku suka.” Eyang memutar kepala menatap Yuri tajam. “Kamu membantah Eyang?” “Eyang,” Yuri menghembuskan napas frustrasi. “Toh yang akan pakai bajunya aku, bukannya yang paling penting adalah pendapat aku, ya?” “Memangnya yang akan datang ke nikahanmu kamu sendiri? Jangan egois, dong. Eyang nggak suka ya tamu-tamu Eyang melihat kamu pakai kebaya asal-asalan begini. Nanti dikiranya Eyang nggak ngajarin anak cucunya gimana berpakaian yang layak.” Yuri sungguh ingin menangis, pesta pernikahan impian sedang di ujung tanduk. Kenapa semua harus soal Eyang? Di pesta nanti juga akan datang teman-teman dan beberapa mantan pacar serta gebetan Yuri, Yuri juga tidak mau mereka mengira Yuri punya selera payah. Seandainya ada Mama atau setidaknya Tya yang ikut bersama mereka, sehingga ada penengah yang bisa membantu Yuri. Pintu butik tiba-tiba dibuka dari luar, sosok lelaki masih bersetelan kerja muncul dari balik cahaya. Baru kali ini Yuri melihat Mulya bagaikan sosok pahlawan. Yuri menggantungkan banyak harap terkait hidup dan matinya pada Mulya. “Lho, bukannya kamu bilang nggak bisa ninggalin kantor sampai sore?” tanya Eyang penasaran melihat cucunya tiba-tiba ada di sini. “Ternyata bisa, Eyang.” Jawab Mulya disertai kekehan kecil. Dasar, tadinya Mulya pasti sengaja bohong agar tidak perlu menemani Yuri. “Jadi gimana? Udah cocok semua?” Mulya menatap Yuri dari pundak hingga ke ujung kaki. Yuri sengaja berputar agar Mulya bisa melihat dari segala sisi. “Gimana?” tanya Yuri penuh harap. Mulya memegang dagu, berlagak menilai. Bukannya langsung jawab, dia malah berpaling ke Eyang. “Menurut Eyang gimana?” “Eyang nggak suka.” Detik itu rasanya Yuri ingin mati saja, biar sekalian tidak ada nikah-nikahan. Mata Yuri sudah memanas, dadanya sesak karena menahan keinginannya menangis. Ia bahkan tidak berani membuka mulut takut kelepasan. Kepala Mulya kemudian berpaling lagi pada Yuri, “kalau menurut kamu sendiri?” Ia menelan ludah serat, sebelum bercicit sangat pelan, nyaris putus asa. “Suka.” “Ya sudah, kalau begitu nggak ada masalah.” Pandangan Yuri sontak terangkat, sama bingung dengan Eyang. “Kok nggak ada masalah? Kan Eyang sudah bilang, Eyang nggak suka,” protes Eyang. Mulya menyentuh kedua pundak Eyang dari belakang, sedikit menggeser tubuh Eyang agar berhadapan lurus dengan Yuri. “Yang penting Yuri-nya suka. Lihat, Eyang, nanti kalau sudah pakai riasan dan rambutnya ditata, bukannya Yuri akan sangat cantik?” ujar Mulya dengan suara rendah di belakang Eyang. Eyang membuang muka. “Semua perempuan kalau masih muda ya cantik,” dengusnya barangkali benci cucunya bukan hanya memihak, tapi juga memuji Yuri. Mulya hanya tertawa kecil, kemudian memberitahu Elvira kalau mereka sudah cocok dengan baju ini. Saat masuk lagi ke ruang fitting untuk ganti baju, Yuri sedih yang ditahan Yuri, dikeluarkan sebagai tangis haru. Mulya terlihat sangat keren barusan, kenapa Mulya baru menunjukkan pesona itu sekarang? *** Yuri memandangi pas foto berlatar biru dirinya dan Mulya, Yuri menatanya di atas meja, kemudian dengan malu-malu ia menatap Mulya. "Mas Mul..." "Hmm..." Mulya hanya menjawab dengan gumaman lantaran serius membaca sesuatu di ponselnya. "Pinjam tangannya, dong." "Kamu punya tangan sendiri." Yuri meniup udara. "Tinggal ulurin tangan aja apa susahnya sih, Mas. Aku nggak minta Mas Mul potong tangan Mas Mul terus kasih ke aku." Mulya mengulurkan tangan kirinya. "Tangan kanan, dong." Akhirnya Mulya memberikan perhatiannya pada Yuri, ia menaruh ponselnya di atas meja dan mengulurkan tangan kanannya. Penasaran mau dipakai apa tangannya oleh Yuri. Yuri tersenyum senang, ia menggeser sedikit cangkir coffee latte-nya yang bergambar hati itu lalu memegang tangan Mulya. Saat Yuri mengangkat ponsel, barulah Mulya paham tujuan gadis itu. Hanya agar tangannya segera bebas, Mulya membantu Yuri. Mulya balas mengenggam tangan Yuri yang kontan saja membuat senyum Yuri makin lebar. "Udah." Yuri mendorong tangan Mulya, "terima kasih pinjaman tangannya, Mas Mul." "Mau pamer kalau mau nikah?" "Iya," jawab Yuri riang lantaran fotonya bagus. Letak cangkir kopi, foto, tangan mereka yang saling genggam, dan meja kayu kafe menjadikan foto itu tampakestetik. Ia langsung mengunggahnya dengan keterangan, ngopi bareng terakhir sebelum nanti ngopi bareng setiap hari #H-7. Hari ini Mama Mulya menyuruh mereka jalan-jalan berdua, sebelum sesok harus mulai dipingit. "Padahal lebih bagus lagi kalau waktu itu Mas Mul mau foto pakai ekspresi lucu-lucu. Untung biarpun kaku, Mas Mul tetap ganteng." "Buat foto di buku nikah kan mesti formal, Yul." "Iya, kita bikin yang lucu-lucu buat dipamerin di i********:. Kan lagi ngetren foto-foto lucu begitu." "Oh..." Yuri mendelik. "Jangan bilang Mas Mul belum pernah lihat." "Memang belum," jawab Mulya merasa itu bukan hal besar. Tapi respon Yuri sebaliknya, kepala Yuri geleng-geleng seolah tak habis pikir. "Mas Mul ada i********:, kan?" "Ada. Kan aku kadang cek stories-mu sama Tya yang kebanyakan joget-joget nggak jelas sama foto-foto cowok cantik Korea." Cowok cantik Korea, Mulya bilang? Mulya tidak tahu saja kalau Kim Tae Hyung tahun lalu dinobatkan jadi laki-laki paling ganteng sedunia. Meski Yuri puji Mulya ganteng, sebenarnya Mulya tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Yuri jadi ingin tahu isi explore i********: Mulya seperti apa. Yuri pinjam ponsel Mulya dan memeriksanya. Benar-benar membosankan. Kebanyakan konten informasi dari luar negeri, foto-foto pemandangan alam, dan desain-desain bangunan artistik. Tidak ada foto keluarga Rans, Freya, cuplikan Drakor, gambar lucu idol, gosip lamtur, atau video yang sedang viral-viral. Yuri menatap Mulya tak percaya, beginikah cara Mulya menjalani hidupnya? Yuri kemudian memeriksa siapa saja yang Mulya follow, masa satupun diantara mereka tidak ada yang pernah mampir ke akun Lamtur? Dan ternyata following Mulya hanya belasan. Hampir semuanya akun resmi media-media berita luar negeri dan beberapa fotografer. "Mas Mul nggak follow satu pun teman Mas Mul?" "Nggak." "Mereka nggak tersinggung atau anggap Mas Mul sombong, gitu?" "Memang nggak harus, kan?" "Ya, sih nggak harus. Tapi, kan, ini media penghubung Mas Mul sama teman-teman Mas Mul. Biar tetap tahu kabar tanpa repot tanya langsung. Jadi bisa tahu, oh si ini anaknya udah dua, oh si itu baru dapet promosi. Ya aku tahu sih, tujuan Mas Mul nggak follow sembarangan orang untuk memfilter konten, tapi kan itu sama artinya kayak Mas Mul membatasi informasi. Kayak gini, kebanyakan info luar negeri padahal Mas Mul tinggalnya di Indo, bergaulnya sama orang Indo." "Bukan membatasi, tapi memilih." Mulya membenarkan, "Dan sejak kapan tanya kabar itu jadi merepotkan? Inilah sebenarnya jeleknya teknologi, kesannya kayak menghubungkan antar manusia padahal sebenarnya bikin manusia makin berjarak. Orang-orang yang melihat update stories-mu bukan berarti mereka ingin tahu kabarmu, bisa jadi Cuma karena penasaran. Aku yakin kamu pun begitu saat melihat stories temanmu. Makanya secara nggak sadar, muncul dorongan aku mesti terlihat bahagia. "Kamu posting makanan-makanan enak, foto-foto paling cantik setelah diedit, momen kamu bareng temanmu, jalan-jalan ke negara dingin juga misalnya. Kamu cuma menunjukkan bagian terbaiknya, sama kayak yang kamu lihat dari orang lain. Kalian terpacu menunjukkan siapa yang paling sempurna hidupnya, padahal kalian sedang tidak baik-baik saja. Kalau kamu merasa tanya 'apa kabar' itu merepotkan, menurutku lebih merepotkan terus-terusan berusaha menutupi kekurangan." "Itu namanya menyebarkan aura positif," bantah Yuri sangat tidak setuju dengan pendapat Mulya yang terkesan sinis. "Bayangkan kalau teman kita sedang stress terus melihat kita update quote-quote depresi, curhat gimana nyebelinnya punya calon suami kaku kurang eksplorasi, apa ya dia nggak terinspirasi buat bunuh diri tuh." Yuri bangga bisa membalik omongan Mulya. "Nah, itu poin pentingnya." Mulya menunjuk wajah Yuri, kemudian menautkan tangan. Persis gaya dosennya sedang menjawab pertanyaan. "Itulah pentingnya komunikasi yang sesunggungnya. Semua udah sangat mudah dengan teknologi, kita nggak perlu jauh-jauh datang ke rumahnya, tinggal ngetik 'hi, apa kabar, lagi sibuk apa, gimana kerjaan' dan terjadilah pertukaran informasi yang lebih tulus sehingga kamu bisa bantu temanmu keluar dari masalahnya. "Sekarang gimana kalau aku balik, kalau teman itu ternyata sedang stress dan melihat bahagianya hidup kamu, apa ya dia nggak merasa iri dan berpikir hidupnya paling payah?" Perkataan Mulya, Yuri akui ada benarnya. Sedikit. Tapi Yuri tetap tidak mau mengubah pandangannya. Sosial media lebih banyak manfaatnya. Perihal hanya memposting yang bagus-bagus, itu terserah kita mau menunjukkan sisi diri kita yang mana. Wong politisi juga sering pencitraan, kok. Sepertinya dibanding latte, Yuri lebih butuh segelas air es. "Terserah sih kalau Mas Mul punya pandangan begitu, tapi tolong jangan menyepelekan pandangan orang lain. Namanya aja dunia maya, semua oramg paham, kok, nggak semua yang ada di sana nyata. Dasar Mas Mul aja yang mikirnya ribet, jadi dibelok-belokkan arahnya. Padahal intinya tetap aja sebagai media sharing informasi." "Si-" "Tunggu, jangan potong dulu." Oh, begini rasanya jadi Eyang yang suka memotong omongan orang. Rasanya seperti kendali ada di tangan kita, pantas saja Eyang suka sekali melakukannya. Kembali ke topik, "dan meskipun kita udah kirim private chat, tanya apa kabar, kebanyakan orang juga akan jawab baik-baik aja, kok. Karena apa? Kebanyakan orang nggak ingin dikasihani, dia cuma nyaman nunjukin keadaannya yang sebenarnya ke orang-orang yang paling dekat sama dia aja. Masalah tulus atau sekadar penasaran, aku aja ragu dukun bisa sesakti Mas Mul baca pikiran orang," dengus Yuri menumpahkan semua yang mengganjal di kepalanya. Mulya terkekeh sambil kepalanya manggut-manggut. "Oke, Yuli. Argumen yang bagus. Kamu paham banget seluk beluk media sosial sampai tahu konten apa yang harusnya ada di eksplore i********: orang lain. Nah, sekarang aku tanya," ujar Mulya menggantung, Yuri sudah mengangkat dagu siap menjawab apa pun pertanyaan Mulya. "Skripsimu udah sampai mana?" "Aduh," Yuri tiba-tiba memegang perut. "Toilet di mana, ya? Bentar ya, Mas. Aku ke toilet dulu." Mulya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Yuri. Kuliah di kampus sama dengan Tya, Mulya sering mendengar Tya dan Yuri berangan-angan wisuda bareng seperti saat mereka TK dan SD dulu. Angan-angan itu dipastikan pupus lantaran jadwal sidang skripsi Tya sudah dijadwalkan, sementara Yuri entah kapan menyusul. Perut Yuri baik-baik saja, tidak mules, tidak juga ingin pipis. Ia lega bisa kabur dari Mulya, meski bisa saja ia jawab, ia terlalu sibuk mempersiapkan pernikahan mereka jadi urusan skripsinya harus tertunda. Tapi Yuri yakin, Mulya masih akan menceramahinya sangat panjang yang tujuannya menyalahkan Yuri. Yuri berdiri di depan kaca wastafel, ia hanya mencuci tangan dan memperbaiki dandanan. Untuk mengimbangi penampilan Mulya yang membosankan, yaitu celana dan kemeja atau kalau tidak kaos polo, mau tidak mau Yuri harus mengeluarkan semua ilmu styling-nya yang ia dapat dari mengikuti idol Korea. Hari ini Yuri terlihat lucu memaki atasan crop warna lilac dan jeans berpotongan lebar di bawah sehingga memberi kesan jenjang pada kakinya. Yuri meluruskan rambutnya, kemudian dijepit rapi, mirip Jenny Pinkblack. Saat Yuri ingin mengeringkan tangannya, alat pengering tangan ternyata tidak berfungsi dan tempat tisu kosong. Yuri mengibas-ngibaskan tangannya, tidak mungkin ia mengelap tangannya pakai baju. "Pakai ini saja," perempuan di wastafel sebelah mengulurkan tisu pocketnya. Yuri menarik selembar sambil senyum sopan. "Terima kasih." Yuri lirik-lirik pandangan ke perempuan itu, dia sangat cantik. Visualisasi dari definisi cantik yang kebanyakan orang gambarkan. Tinggi, langsing, putih, rambut hitam panjang, mata sedikit sipit seperti memiliki ras campuran, senyum manis, dan tentu saja perhatian dengan apa yang ada di sekitarnya. Perempuan itu melirik Yuri, Yuri mengerejap cepat ketahuan sedang curi pandang. "Kakaknya cantik banget. Lipstiknya warna apa ya, Kak?" Perempuan itu tersenyum dan emnunjukkan lipstik yang dipakainya, dia menawarkan apakah Yuri mau mencobanya, dan tentu saja Yuri tidak menolak. Setelah itu dia meninggalkan toilet lebih dulu. *** Mulya menunggu Yuri sambil memakan sepotong kue pesanan Yuri yang belum tersentuh sama sekali, jika Yuri masih tidak bisa menahan lapar mata, bisa dipastikan Mulya akan jadi tempat pembuangan makanan Yuri. Merasakan seseorang berdiri di sebelahnya, Mulya mengira itu Yuri. "Mau langsung pulang apa masih mau du-" saat Mulya menoleh, bukan Yuri yang ada di hadapannya. Perlahan Mulya berdiri, berhapan dengan perempuan cantik berambut hitam panjang. Perempuan itu memberi Mulya senyuman yang justru membuat Mulya tidak nyaman. "Hi, aku nggak nyangka akan ketemu kamu di sini," ujar perempuan itu, dilanjutkan dengan pertanyaan. "Apa kabar?" "Baik," Mulya tersenyum kecil, lebih ke bingung bersikap bagaimana. "hmm kamu?" "Baik juga." Perempuan sekilas melirik ke meja Mulya dimana ada dua cangkir dan tas wanita. Senyumnya dibuat mengembang. "Aku dengar Ryan mendapat undangan dari kamu, meskipun aku nggak dapat, apa aku boleh datang?" "Bi, kita sudah sepakat-" "Kita bersepakat jadi teman, kan, Ya?" Mulya menatap wajah perempuan itu cukup lama, sebelum mengangguk. "Kamu boleh datang." "Terima kasih, Iya. Aku akan jadi orang yang paling bahagia melihat kamu bahagia, meskipun bukan bersama aku," usai mengatakan sesuatu yang membuat Mulya terganggu itu, si perempuan pergi. Mulya mengikuti punggungnya dengan pandang hingga pandangan Mulya tidak bisa menjangkau lagi. Mulya berlonjak terkejut saat pundaknya ditepuk, kali ini Yuri di depannya. "Lihat apa, sih? Cewek seksi, ya?" "Keseksian cewek nggak dilihat dari fisiknya." "Ya ya ya, Mulyawan Muda dengan idealismenya yang kaku." Yuri tidak mau mendengarkan Mulya, ia kembali duduk di kursinya. "Kok cake aku habis?!" "Yul, kamu bisa beli lagi tanpa teriak-teriak." "Ya Mas Mul bisa beli sendiri tanpa makan punya orang lain." Yuri balik menatap Mulya sebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN