"Apa kamu mengenal Skylar?" tanya Thania pada Jian setelah Jian menanyakan apakah Thania mengenal Skylar Wistara, sutradara film The Last Kiss of Paradise.
"Ah, ya, aku mengenal Skylar. Skylar Wistara, adalah suamiku," jawab Jian dengan jelas dan mantap, dia ingin pula melihat bagaimana reaksi Thania.
"Ya ampun! Aku sama sekali tidak menyangka, jika kau adalah istri Skylar," ucap Thania sambil menepuk lengan Jian.
"Lain kali, mungkin kita bisa bertemu lagi, saat kau bersama Skylar."
"Tentu, aku akan sangat senang jika kita bertemu lagi, bersama-sama Skylar," balas Jian, sambil menatap Thania, mencoba meneliti ekspresi wajah Thania saat mendengar nama Skylar, namun Thania nampak biasa saja, dan Jian merasa bahwa mungkin ia terlalu berlebihan dan curiga.
"Ternyata apa yang dikatakan orang bahwa dunia ini sempit ada benarnya, pantas saja aku merasa sangat akrab denganmu sejak awal kita bertemu, ternyata kau adalah istri Skylar. Dia begitu hebat dalam pekerjaan dan hebat dalam percintaan."
Kata-kata terakhir Thania memancing kecurigaan Jian. Apa maksudnya Thania mengatakan hal itu? Hebat dalam percintaan?
"Ya...dan bukankah kita juga berteman sekarang?mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu dan berteman," balas Jian menanggapi kata-kata Thania, meski dia sangat penasaran dengan kata-kata "bersayap" yang Thania lontarkan, tapi Jian menahan diri. Bisa saja, Thania hanya sekedar memberikan pujian untuk Jian dan Skylar dengan mengatakan hebat dalam percintaan karena mereka nampak harmonis dalam pernikahan. Jian tidak ingin kecurigaannya membabi buta dan menciptakan sikap salah paham pada lawan bicaranya saat ini.
Jian menatap Chann sekilas, ingin melihat bagaimana reaksi Chann atas kata-kata istrinya yang terdengar ambigu, tapi rupanya Chann tidak terlalu menyimak apa yang dikatakan Thania karena pria itu sedang sibuk dan serius dengan ponselnya.
"Mungkin aku terlalu tegang dan curiga," batin Jian.
"Ya tentu saja, aku senang bertemu dan berteman denganmu, Jian. Di usiaku saat ini, lingkup pertemananku semakin sempit dan kadang aku merasa kesepian, apalagi suamiku sibuk bekerja. Lihat, dia sibuk dengan pekerjaannya bahkan saat bersamaku," keluh Thania saat melihat Chann berjalan menjauh dan bicara dengan seseorang melalui ponselnya. Dari pembicaraan yang terdengar, Chann sedang membahas soal mapping area tambang, atau sesuatu yang berhubungan dengan pertambangan, Jian menduga bahwa Chann bekerja di perusahaan pertambangan atau semacamnya.
"Pria memang seperti itu, kadang saat mereka sedang serius dengan pekerjaannya, mereka akan mengabaikan segala sesuatu, termasuk istrinya," ucap Jian mencoba bercanda.
"Apa Skylar juga seperti itu? Aku tidak yakin dia bersikap seperti Chann, dia pria romantis yang manis kan?"
"Eh...?"
"Yah...kadang Skylar juga mengabaikan aku saat ia sedang sangat serius dengan pekerjaannya," jawab Jian, dengan perasaan tidak nyaman saat Thania menyinggung nama Skylar, meski Jian tidak tahu mengapa ketidaknyamanan itu muncul.
"Pada pokoknya, kebanyakan pria sama saja," tambah Jian lagi, sambil tertawa kecil mencoba bersikap biasa saja meski ketidaknyamanan terasa dalam dirinya.
"Oh ya Thania, aku sudah mengukur ukuran jas suamimu, tapi aku belum bisa mengukur bagian panggul," ucap Jian mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa begitu?"
"Itu karena, agak sedikit tidak nyaman melakukan pengukurannya, biasanya penjahit pria akan mengukur pelanggan pria, dan wanita juga akan diukur oleh penjahit wanita, tapi kali ini karena kau meminta tolong menjahit jas, aku harus mengukur suamimu dan karena letak panggul yang...." Jian menjeda ucapannya, berusaha mencari kata yang tepat agar tidak terdengar vulgar dan terutama tidak menyinggung Thania.
"Ah, aku tahu, letaknya di daerah rawan kan?" Thania tergelak tanpa risih dan membuat Jian merasa tidak nyaman.
"Aku tahu kau profesional, jadi jika kau melakukannya, aku bahkan tidak akan berpikiran apapun."
"Meski begitu, aku minta tolong padamu untuk mengukur bagian panggul suamimu. Aku tahu kau percaya padaku, dan aku menghargai hal itu."
Thania tersenyum. "Oke, aku akan mengukur panggul Chann nanti setelah dia selesai menelpon."
"Terima kasih, Thania."
"Ini bukan hal besar, Jian, jangan sungkan." Thania mengerling.
"Aku rasa, aku akan mengganti pakaianku sebentar, gaunnya sangat cantik, meski Chann tidak terlalu tertarik," ucap Thania sambil berjalan menuju ruang ganti, untuk melepas gaun hitam yang akan dikenakannya di premiere film, menggantinya dengan dress yang dikenakannya sebelumnya.
"Apa Thania sudah selesai?" tanya Chann yang kembali ke hadapan Jian tepat sesaat setelah Thania pergi ke ruang ganti.
"Dia sedang mengganti pakaiannya sebentar. Silahkan diminum tehnya, Pak." Jian menawarkan teh.
"Ah ya, terima kasih," balas Chann sembari duduk di sofa dan mengambil cangkir teh yang tersaji di meja.
"Saya rasa Anda bisa memanggil nama saja, seperti Anda memanggil Thania."
"Oh? Baiklah kalau begitu," balas Jian sambil tersenyum, sementara Chann menyesap teh yang tersedia di meja.
Thania masuk ke ruangan tidak lama kemudian, dan menghampiri Chann.
"Sayang, Jian mengatakan belum selesai mengukur tubuhmu untuk ukuran jas, aku akan membantunya mengukur sekarang. Kamu masih ada rapat kan? Jadi kita harus cepat menyelesaikannya."
"Oh...? Oke." Chann berdiri tanpa banyak bertanya dan Thania mulai mengukur panggulnya dengan midline yang Jian berikan.
"Oke, kita sudah mendapat ukurannya, apa ada hal lainnya, Ji?" tanya Thania setelah ia menuliskan ukuran panggul Chann di notes.
"Aku rasa semuanya sudah selesai, aku akan mengirim ukurannya ke penjahit kenalanku, jika ada hal yang kurang aku akan menghubungimu."
"Aku yakin hasilnya tidak akan mengecewakan, by the way, gaun itu sangat bagus, aku sangat menyukainya, aku akan kembali memesan gaun untuk acara lain. Terima kasih, kau membuat gaun yang indah untukku."
"Aku senang karena gaun itu sesuai harapanmu."
"Aku sebenarnya masih ingin bercakap, terlebih ternyata kau istri Skylar, sutradara yang aku rasa tidak perlu dipertanyakan kehebatannya, kita pasti bisa membicarakan banyak hal, tapi suamiku harus menghadiri rapat, dan aku juga harus menyelesaikan deadline naskah, jadi aku rasa kami harus pergi sekarang."
"Ah, kalau begitu, hati-hati di jalan, aku akan senang jika lain kali kau berkunjung."
"Tentu, aku pasti akan datang lagi kapan-kapan, atau kalau kau tidak sibuk, kita bisa bertemu untuk makan siang."
"Tentu Thania, kita bisa bertemu lain waktu."
"Bye Jian, senang bisa bertemu dan memakai gaun hasil karyamu," Thania berpamitan dan menggandeng mesra Chann, suaminya. Pria itu mengangguk pada Jian, menyunggingkan sedikit senyum dan melangkah pergi bersama Thania.
Jian menatap Thania dan Chann dari jendela kaca, Jian mengamati mereka berdua terlihat sangat serasi dan harmonis. Chann nampak membukakan pintu mobil untuk Thania, mereka berdua saling menatap dan tersenyum, ada banyak cinta di mata mereka yang mungkin mampu membuat orang lain iri.
Nathania Rozeanne, seperti mawar, cantik, dan penuh aura yang membuat orang tertarik untuk dekat dengannya karena keramahan bicaranya, dan gerak tubuhnya yang entah bagaimana sungguh menarik, sementara suaminya, Yodha Chandana, memiliki postur tinggi dan tegap, wajahnya tampan, dengan senyuman manis yang terlihat menyimpan cinta untuk Thania. Jian merasa mungkin dia pernah bertemu Chann karena entah bagaimana, ia merasa wajah Chann sungguh familiar.
Jianina menghela nafas, Nathania Rozeanne dan Yodha Chandana adalah pasangan serasi yang romantis, dan penuh cinta, rasanya tidak mungkin Thania mempertaruhkan pernikahannya demi sebuah affair. Lalu, mengapa Skylar mengatakan tidak mengenal Thania? sementara Thania mengatakan mengenal Skylar, bahkan The last kiss of paradise, film yang disutradarai Skylar adalah naskah yang ditulisnya. Kecurigaan Jian semakin mengusik saat aroma mawar dari tubuh Thania tercium samar. Jian membenci hal ini. Aroma tubuhnya kini sama seperti aroma tubuh Thania, aroma mawar yang dominan, dengan sedikit aroma violet dan peony, membuatnya bertanya-tanya, mengapa secara kebetulan aroma parfum yang dibawakan Skylar sama persis seperti parfum yang digunakan Thania. Tidakkah mungkin ini bukanlah sebuah kebetulan tanpa makna? Apakah mungkin Skylar sengaja memberinya aroma yang sama dengan Thania untuk menutupi pengkhianatannya? Sebuah pemikiran terbersit di benak Jian, terlebih, tidak mungkin sutradara tidak mengenal penulis naskah film yang digarapnya, lalu mengapa Skylar berbohong, mengatakan ia tidak mengenal Thania? Benak Jian penuh pertanyaan, pasti ada sesuatu yang disembunyikan Skylar, dan Jian yakin, hal itu bukan sesuatu yang baik.
Berulangkali Jian bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya hubungan Skylar dan Thania? Apakah semua ini hanyalah kecurigaannya semata? Ataukah ini adalah firasat seorang istri?
***
"Kamu nanti rapat sampai jam berapa?" tanya Thania pada Chann saat mobil yang dikemudikan Chann melaju di jalanan yang cukup ramai.
"Tidak tahu, mungkin sampai malam. Kenapa?"
"Tidak apa-apa, hanya bertanya."
"...."
"Menurutmu, Jianina itu seperti apa?"
"Seperti apa?" Chann mengulang pertanyaan Thania.
"Yah, maksudku menurutmu dia orang yang seperti apa?"
"Dia baik dan...ya profesional di bidangnya," jawab Chann sambil terus fokus pada jalanan.
Thania menatap Chann, dia tahu bahwa suaminya sedang menyembunyikan sesuatu. Yodha Chandana, adalah seseorang yang tidak banyak bicara sejak mereka menikah. Thania beranggapan itu semua karena mereka menikah karena dijodohkan dan sikap diam Chann terkadang membuatnya sulit ditebak, meski Chann tidak pernah melakukan hal yang membuatnya kecewa. Tetapi, suatu hari Thania menemukan sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Chann saat ini menyembunyikan sesuatu meski pria itu terlihat biasa saja, karena Thania menemukan bukti apa yang disembunyikan Chann darinya.
"Menurutku Jianina itu manis, enerjik dan yah...dia menarik, in her way. Kalau aku pria, mungkin aku akan mengejar Jian. Beruntung sekali pria yang mendapatkan Jian."
"Kenapa kamu mengatakan hal itu?" tanya Chann tanpa menatap Thania.
"Tidak apa-apa, aku cuma sekedar bicara, tidak tahu kenapa, aku benar-benar merasa tertarik dan ingin berteman dengan Jian. Dia memiliki pesona tersendiri."
"...."
"Aku kadang merasa iri pada Jian, padahal aku bahkan baru mengenalnya...."
"Nathania, apa kamu masih menyesali apa yang telah terjadi pada kita? Aku kira, kita sudah menyepakati hal itu dan kita berdua ingin bersama-sama berusaha...."
"Tidak, aku tidak menyesali yang sudah terjadi, Chann, hanya saja...." Thania menggantung ucapannya, namun lalu meneruskannya lagi.
"Sepertinya aku salah, sorry, tidak seharusnya aku membahas soal ini dan membuat kamu merasa tidak nyaman. Aku benar-benar minta maaf Chann. Aku tidak berniat membahas masalah kita atau menyesali apa yang telah terjadi, membandingkan dengan kehidupan orang lain, aku hanya benar-benar merasa bahwa bertemu Jian membuat aku seolah bertemu seseorang dengan karakter yang begitu menarik. Mungkin karena aku banyak menulis naskah, dan aku membuat tokoh-tokoh dalam naskah berdasar banyak orang yang kutemui."
"Never mind, Thania. Kita hidup di jalan kita sendiri dan kita sudah sepakat akan berusaha menjalani pernikahan ini sebaik mungkin."
"Kamu benar." Thania mengangguk, menoleh menatap Chann. Suaminya itu berwajah tampan dan berpostur atletis, Thania yakin bahwa banyak perempuan mendambakan menjadi istri Chann, dan mungkin dia wanita beruntung yang berhasil menyandang predikat sebagai istri Chann, namun sayang, Thania merasa bahwa Chann bukanlah seseorang yang memenuhi hatinya, ada seseorang yang lain yang membuat hatinya mekar, dan jantungnya berdebar cepat, seseorang yang ingin dimilikinya secara utuh, meski hal itu mungkin hanyalah angan yang tidak akan menjadi nyata.
Meski Thania tahu pasti bahwa perasaannya ini merupakan sebuah perasaan terlarang dan akan menghancurkan segala hal yang ia miliki, namun semakin hari, ia semakin kesulitan mengendalikan segala perasaan yang semakin bergejolak dan berkobar.
Thania menatap jalanan ramai dari jendela mobil, hari ini ia meminta Chann mengantarnya menemui Jian bukan tanpa alasan, Thania melakukan semua ini karena ia memiliki harapan, Yodha Chandana suaminya, melangkah lebih jauh setelah bertemu Jianina.