Kabar yang bertentangan

2133 Kata
Malam cukup hening saat Jian terusik oleh langkah kaki dan seseorang yang membaringkan tubuh di sisinya, membuat ranjang di sisinya terasa bergerak pelan. Dia membuka mata, dan melihat Skylar terbaring di sisinya dengan wajah lelah. "Lembur lagi?" tanya Jian, yang mulai terbiasa dengan rutinitas Skylar yang sering lembur akhir-akhir ini. "Hem." Lelaki itu menjawab singkat sambil memejamkan mata. Jian hanya menghembuskan nafas, menatap Skylar yang tampaknya mulai terlelap. Tidak ada yang bisa Jian lakukan selain membaringkan tubuhnya kembali, namun matanya tak bisa terpejam kembali, dan terlelap, dia memikirkan soal Thania dan Skylar. Mungkin kecurigaannya ini berlebihan, namun Jian menginginkan sebuah kepastian, dia tidak ingin semakin lama terjebak dalam asumsi yang dipikirkannya sendiri. Jian hampir menyerah dengan kantuk saat dia merasakan lengan Skylar memeluknya. "Bagaimana hari ini Ji?" tanya Skylar. "Hm...baik-baik saja. Kamu tidak tidur?" "Aku mengantuk, tapi aku merindukanmu." "Kamu terlalu sering lembur belakangan ini," keluh Jian. "Sorry, aku janji ini tidak akan lama, setelah semuanya selesai, aku akan banyak menemanimu." "...." "Sky...," panggil Jian, sedikit ragu. "Hm?" "Apa kamu tidak keberatan kalau aku bertanya sesuatu?" "Apa?" "Aku...memikirkan hal ini, dan rasanya ini terus mengusikku, aku tahu aku mungkin sangat berlebihan, tapi aku ingin mendengar penjelasanmu secara langsung, agar aku tidak lagi berasumsi sepihak." "Jian...ini sudah larut malam, dan seharusnya ini waktu kita untuk beristirahat, tapi kamu nampaknya ingin membicarakan satu masalah yang sangat panjang antara kita." "Ya...aku tahu Sky..., tapi belakangan kita tidak punya waktu bersama yang cukup, dan aku tidak punya kesempatan untuk bicara soal ini." "Kalau begitu bicaralah sekarang, sepertinya ini masalah yang sangat penting." Jian bergerak, membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan Skylar. "Sky...aku bertemu Thania kemarin." "Thania?" Skylar mengulang kata-kata Jian, dengan perasaan yang mendadak gugup. Apa yang Thania harapkan dengan menemui Jian? "Nathania Rozeanne, dia adalah penulis naskah film yang kamu sutradarai, kenapa kamu mengatakan tidak begitu mengenalnya? Thania mengatakan padaku bahwa kamu mengenalnya." "Astaga, masalah itu lagi." Skylar memijit keningnya. "Jian, aku dan dia memang bekerja bersama, tapi, aku tidak terlalu dekat dengannya. Ini bukanlah hal yang aneh, jika kamu bekerja di sebuah kantor, wajar jika kamu tidak terlalu akrab dengan beberapa staf, begitu juga dalam industri perfilman, meski Thania adalah penulis naskah, aku dan dia hanya bicara tentang pekerjaan, tentang bagaimana tulisannya bisa menjadi visual yang mewakili naskahnya. That's all, tidak ada kedekatan pribadi di antara aku dan Thania." "Jianina, ini adalah tahun kelima pernikahan kita, selama ini, kita hidup bersama dengan bahagia, kita saling mencintai dan saling percaya, aku berharap kita bisa bersama selamanya sampai akhir nanti. Aku mohon, jangan berpikir hal yang tidak-tidak." Skylar mengusap sisi wajah Jian. "Mungkin kamu seperti ini karena kesal aku terlalu banyak meninggalkanmu dan terasa mengabaikanmu, aku sama sekali tidak bermaksud begitu, Ji. Aku hanya ingin menyelesaikan pekerjaanku dengan tuntas dan profesional, hingga waktuku banyak terkuras. Aku minta maaf karena hal itu, tapi aku sungguh-sungguh berjanji akan memiliki banyak waktu untukmu setelah semua proses filmku selesai." Jian menatap Skylar dan merasa bersalah, keraguannya pada Skylar perlahan lenyap. Apa yang dikatakan Skylar benar, hanya masalah seperti itu, mengapa dia meributkannya hingga seperti ini? Ini bukanlah sesuatu yang layak diributkan bukan? "Maafkan aku Sky...." Suara Jian tercekat oleh tangis, dia merasa menyesal karena telah berpikir hal yang tidak-tidak tentang Skylar dan Thania. Skylar meraih tubuh Jian, memeluknya dalam dekapannya. "Aku mencintaimu, Jianina, dan aku akan tetap berada di sisimu." Jian menangis dalam dekapan Skylar. "Aku benar-benar minta maaf Sky, aku...curiga padamu." Skylar menghela nafas lega, menepuk punggung Jian perlahan. "It's oke Jianina, kecurigaan, cemburu adalah bentuk cinta bukan? Terima kasih, karena kamu mencintai aku." Jian melesakkan wajahnya di d**a bidang Skylar, dan aroma tubuh Skylar yang familiar tercium. Sagewood, tembakau, yang Jian tebak dari rokok yang dihisap Skylar saat sedang banyak pekerjaan, dan satu aroma yang tercium samar. Mawar. Sesaat, Jian merasa terusik, namun ia melupakan hal itu, seiring dengan aroma mawar yang menghilang dari indra penciumannya. Jian memilih untuk percaya dan tidak mempermasalahkan soal aroma mawar, Thania dan segala hal yang dicurigainya, karena dia tidak ingin semua hal itu menghancurkan rasa bahagia yang telah dia miliki bersama Skylar. *** Jianina membuka matanya perlahan, rasa pening yang dirasakannya sejak semalam masih tersisa. Seluruh badannya terasa linu, dan tidak nyaman, ia merasa lemas dan tidak bertenaga. Jian menarik selimutnya, dan tanpa sengaja matanya menatap sisi ranjang, di mana Skylar biasa berbaring, tempat itu kosong, meninggalkan rasa kesepian yang mendadak ia rasakan. Jian menghela nafas, ia benar-benar merindukan Skylar sekarang, ia ingin berada dalam pelukan hangat pria itu, lalu tertidur dengan nyaman, namun Skylar tidak ada di sisinya sekarang. Kemarin, Skylar menelpon dan lagi-lagi mengabarkan bahwa ia tidak akan pulang malam ini karena ia akan sibuk sepanjang malam untuk persiapan premiere film yang sudah dekat hari h. Jian memandang sekeliling, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi, dia merasa sepi menerpa, namun dia menepis segala perasaan nelangsa yang dirasakannya. Skylar sedang bekerja dan ia harus mendukung suaminya itu. Film adalah dunia Skylar, seperti fashion, yang menjadi dunianya, sebagai seorang istri, sudah sepatutnya Jian mendukung suaminya. Skylar hanya pergi sementara, dan tidak lama lagi, Skylar akan kembali di sisinya. Jian kembali berbaring, rasa tidak nyaman merayap perlahan tapi pasti di tubuhnya. Susah payah dia memejamkan mata, mencoba menenggelamkan diri dalam tidur agar rasa sakit yang mendera tubuhnya tidak lagi terasa. Saat Jian hendak masuk ke alam mimpi, tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring, Jian menyesal mengapa ia tidak membuat ponselnya hening sebelumnya. Sesaat, Jian berniat mengabaikan ponselnya yang meminta atensi, tapi si penelpon di seberang sana sungguh keras kepala, saat dering pertama tidak mendapatkan tanggapan, si penelpon mengulangi lagi, hingga Jian akhirnya bangkit dari ranjang dengan rasa gusar, mengambil ponselnya, menggeser icon hijau, dan bicara pada Sonya. "Hei, Jian! Kau baik-baik saja? Aku hampir jantungan saat kau tidak mengangkat telpon. Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?" berondong Sonya bahkan sebelum Jian mengatakan kata apapun. Kemarin sore saat pulang dari butik, Jian merasakan sakit yang sangat menusuk pada kepalanya dan Sonya mengetahui hal itu. Sonya menyarankan Jian untuk memeriksakan diri ke klinik terdekat, tapi Jian menolak. Jian pikir, dengan istirahat rasa tidak nyaman yang menyerang kepalanya akan reda, tapi ternyata Jian salah soal itu. Hingga pagi ini rasa tidak nyaman masih bercokol di tubuhnya dan malah terasa semakin parah. "Ya, aku baik-baik saja, Sonya, kau tidak perlu khawatir," ucap Jian pelan. "Aku akan ke rumahmu, lima belas menit lagi aku akan sampai, aku akan mengantarmu ke dokter, aku tidak yakin kau baik-baik saja, dan lebih baik kita pergi ke dokter untuk memastikan kondisimu." "Aku baik-baik saja, Sonya." "Jangan keras kepala, aku akan menemanimu ke dokter." "Tunggu aku," ucap Sonya, dan tanpa menunggu jawaban, wanita itu langsung menutup panggilan telpon. Jian meletakkan ponselnya ke nakas, kembali merebahkan tubuhnya yang terasa benar-benar lemas. "Jian...?" Sekitar dua puluh menit kemudian, Sonya masuk ke dalam kamar, menemui Jian yang masih terbaring di balik selimut. Sonya memiliki kunci cadangan, jadi, meskipun Jian berada di kamar dan pintu rumah terkunci, Sonya bisa masuk ke dalam rumah. "Oh, Sonya." Jian menggumam. "Kau begini parah, tapi mengatakan baik-baik saja." "Apa Sky belum pulang?" Jian menggeleng lemah. "Ck! Pria macam apa yang meninggalkan istrinya sendirian saat sakit," gerutu Sonya. "Sky tidak tahu aku tidak enak badan." "Seharusnya kau memberi tahunya." "Sky sedang sibuk, aku tidak mau dia khawatir dan membuatnya repot." Sonya memutar mata. "Sebagai suami, seharusnya kau, istrinya adalah hal yang terpenting dibanding pekerjaan. Sia-sia Jennie, Jovita dan Rose memuja-muja Skylar sebagai suami paling idaman. Istrinya sakit saja dia tidak tahu!" "Sudahlah Sonya, ini bukan hal besar." Sonya berdecak, tapi lalu melangkah mendekati Jian, membantu Jian turun dari ranjang. Wajah Jian terlihat sangat pucat dan lemah, bisa dipastikan bahwa Jian sedang tidak sehat. "Kita harus ke dokter secepatnya, kondisimu sudah begini parah. Aku akan menelpon Skylar." "Tidak usah. Kita ke dokter saja, tidak usah memberi tahu Skylar, dia sedang sibuk. Aku tidak mau dia menjadi panik." Sonya berdecih. "Kau terlalu mandiri, Ji, apa salahnya mengabari Skylar kalau sedang sakit, kenyataannya kau memang sakit." "Sudahlah Sonya, aku tidak punya tenaga untuk berdebat, bantu aku ke dokter saja sekarang." "Tsk! Sonya mencebik. "Kalau begitu ayo!" Pada akhirnya Sonya membantu Jian turun dari ranjang, lalu membantu Jian mengganti pakaian. Tidak lama, Jian sudah berada di dalam mobil Sonya yang melaju ke rumah sakit terdekat. *** "Berapa lama gejalanya dirasakan?" tanya dokter saat dia menyebutkan gejala yang dirasakan tubuhnya. "Sudah seminggu ini, tapi hari kemarin sampai hari ini adalah yang terparah." "Baiklah coba kita periksa." Dokter mempersilahkan Jian ke ranjang pemeriksaan, seorang perawat membantu Jian untuk berbaring. Dokter memeriksa detak jantung dengan stetoskop, memeriksa rongga mulut, dan mata Jian. "Apakah anda mengkonsumsi obat tertentu?" "Tidak. Tapi beberapa waktu yang lalu saya mengikuti program kehamilan, dengan dokter Leo." "Kapan terakhir anda mendapatkan siklus bulanan anda?" "Tanggal dua puluh bulan kemarin." "Dan kapan anda melakukan program kehamilan?" "Tanggal 31." Dokter meneliti kalender. "Apa anda sudah mencoba tespek?" Jian menggeleng. Dia bahkan lupa tentang program kehamilan yang dijalaninya ini. Semua pikirannya mendadak teralih sejak bertemu Thania dan segala kemungkinan di benaknya. Jian belakangan ini terlalu sibuk memikirkan soal Skylar yang tampak berbeda, tapi Jian tidak pernah menemukan bukti nyata kecurigaannya, selain aroma parfum yang mirip seperti yang dikenakan Thania dan juga, kebohongan Skylar yang mengatakan tidak mengenal Thania. Jian tidak yakin apa Skylar benar-benar berbeda ataukah hanya karena cara pandangnya pada Skylar yang merubah yang membuat suaminya itu nampak berbeda. Jian merasa bersalah, bagaimana bisa ia melupakan hal penting ini, dan justru terdistraksi hal yang sepertinya hanya berkutat dalam pikirannya saja dan bukanlah hal yang tidak nyata. Setelah lima tahun menikah, lalu menjalani program kehamilan, ia malah melupakan bagian terpenting yang seharusnya ia perhatikan. "Saya sarankan untuk cek urine, untuk memastikan kondisi anda, setelah mendapatkan hasilnya, saya bisa mengobservasi lebih lanjut atau memberikan rujukan untuk perawatan lanjutan kesehatan anda. Sementara ini, dari observasi yang saya lakukan, kemungkinan apa yang anda alami adalah gejala kehamilan." Mata Jian membesar mendengar kata-kata dokter. Hamil. Jian refleks mengusap perutnya yang masih rata, jantung Jian berdegup oleh sebuah rasa antusias yang begitu bergelora. Di dalam rahimnya, sedang tumbuh seorang anak yang berasal dari benih Skylar dan sel telurnya. Tidak terasa air mata menetes, dia sama sekali tidak menduga, bahwa setelah lima tahun, seorang anak yang dinantinya, akhirnya hadir di dalam rahimnya. Begitu banyak asa yang Jian ungkapkan dalam batinnya bagi bayi dalam kandungannya ini. "Ibu Jianina?" "Eh...i-iya dokter." Suara dokter membuyarkan lamunan Jian. "Perawat akan membantu anda untuk cek urine." "Baik, dokter terima kasih." Jian beranjak dari tempat duduknya, dan perawat membantu Jian untuk mengambil sample urin untuk memastikan apakah Jian positif hamil atau tidak. Jian memberitahukan hal ini pada Sonya, dan wanita itu menanggapi dengan antusias. "Ya ampun Jian! Ini berita gembira, kau harus memberi tahu Sky sekarang!" "Tunggu sebentar Sonya, aku harus memastikan jika yang dikatakan dokter memang benar, aku akan melakukan tes urin lebih dulu." "Ah, sudah pasti! Aku yakin pasti kau hamil!" "Kau merasa tidak enak badan, dan kadang mual, itu adalah tanda kehamilan! Selamat Jian, kau akan menjadi seorang ibu!" Jian tersenyum, sebenarnya ia tidak sabar memberi tahu hal ini pada Skylar, suaminya itu pasti sangat gembira, tapi Jian harus sabar hingga hasil tes benar-benar memberikan kepastian. "Ibu Jianina!" Perawat memanggil Jian dan memberikan selembar kertas pemeriksaan. "Selamat Ibu, berdasar pemeriksaan urin, Anda sedang mengandung," beritahu perawat kepada Jian. "...." Jian bahkan tidak bisa mengatakan apapun, meski dokter yang memeriksanya sudah mengatakan soal kehamilan, namun saat perawat memberitahu hasil pemeriksaan valid, Jian merasa cukup kaget, berbagai perasaan hadir dalam benaknya, hingga ia tidak mampu mengucapkan apa-apa. "Wah!!! Jian!!! Benar kan apa yang aku bilang!" Sonya memeluk Jian. "Kabarkan ini pada Skylar! Tidak peduli dia sibuk atau tidak, dia harus segera menemuimu! Setelah sekian lama, kau hamil dan aku rasa, Sky tidak punya alasan untuk tidak menemuimu sekarang juga." "Ini kabar gembira!" "Sabarlah Sonya," ucap Jian dengan senyum di bibirnya. Mata Jian tidak henti menatap kertas keterangan pemeriksaan yang menyatakan dirinya hamil. "Ayo telpon Skylar!" desak Sonya dengan tidak sabaran. "Iya! Aku akan memberitahunya." Jian mengambil ponsel dalam tasnya, dan hendak menelpon Skylar, bersamaan dengan saat itu, sebuah nomor asing menelponnya. Alis Jian mengerut, siapa yang menelponnya sepagi ini, nomor tidak dikenal. Jian menggeser ikon hijau di layar dan segera tersambung dengan penelpon di seberang sana. "Selamat pagi, apakah benar ini adalah nomor telpon Praya Jianina, istri dari Skylar Wistara?" Suara berat pria di seberang sana menyapa Jian. "Iya betul, saya sendiri," jawab Jian, mendadak sebuah perasaan was-was berdesir dalam hatinya. "Saya Jonathan Raskara, dari kepolisian, divisi lalu lintas, ijin melaporkan, bahwa suami anda, saudara Skylar Wistara bersama seorang rekan kerjanya, mengalami kecelakaan pada pukul enam pagi tadi. Saat ini beliau berada di rumah sakit dan menurut dokter IGD yang menangani, beliau mengalami cedera berat dan sedang dilakukan observasi lebih lanjut dalam ruangan ICU." "A---apa?" Kaki Jian mendadak terasa lemas seperti jelly, sama sekali tidak berdaya menopang berat tubuhnya sendiri. Berita tentang kecelakaan yang dialami Skylar seperti meruntuhkan seluruh dunianya seketika itu juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN