Jian berpikir, apa yang harus dilakukannya, pikirannya mendadak penuh dengan prasangka yang sulit ditenangkan. Jian mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, namun berapa kalipun dia melakukan hal itu, keresahannya tidak kunjung pudar.
Perlahan Jian melepaskan pelukannya, membuat Skylar menatap Jian dengan tatapan tanya. Dia lalu duduk, mengambil gelas dan meminum wine yang tersaji di meja. Jian kembali menarik nafas dalam-dalam, menetralkan jantungnya yang berdetak menggila oleh sebuah prasangka.
Jian berulangkali berpikir, hal apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menyimpan hal ini, menganggap semua yang mengusik dirinya bukanlah sesuatu hal yang harus dibicarakan?
"Sky...." Jian memanggil suaminya dan pria tampan itu memberikan atensinya.
"Ya?"
"...." Jian ragu, apakah hal ini adalah hal yang tepat untuk dilakukan.
"Ada apa Ji?" Skylar duduk di hadapan Jian dan mengambil tangan Jian, menggenggamnya.
"Apa kamu mengenal seseorang bernama Thania?" Ragu-ragu Jian bertanya.
"Nathania Rozeanne?"
Mendengar pertanyaan Jian jantung Skylar terasa berhenti. Bagaimana mungkin Jian bisa menemukan nama itu? Skylar menatap Jian dengan tubuh terasa tegang.
"Dari mana kamu mengenal Thania?" balas Skylar, berusaha bersikap biasa saja.
"Jawab saja, Sky, apa kamu mengenal dia?" tanya Jian dengan nada suara serius yang membuat Skylar merasa bahwa Jian telah mengetahui semua pengkhianatan yang dia sembunyikan.
"Iya, aku mengenal Thania, tapi aku tidak cukup akrab dengannya, hanya satu atau dua kali aku dan dia bertemu, beberapa naskahnya sudah difilmkan dan ya...dia adalah penulis yang cukup terkenal."
"Kenapa kamu bertanya?"
"Tidak apa-apa, hanya ingin tahu saja."
Skylar mengernyit, jawaban Jian membuat Skylar semakin penasaran, sekaligus was-was, sebenarnya apa yang sudah Jian ketahui, tentang dirinya dan...Thania.
"Ingin tahu? Aku rasa pasti ada sebuah alasan mengapa kamu ingin tahu apakah aku mengenal Thania atau tidak," balas Skylar mencoba menebak kemana arah pembicaraan Jian. Terus terang saja, Skylar tidak pernah menyangka Jian akan menanyakan soal Thania.
"Aku hanya sekedar bertanya. Thania datang ke butik, menjahitkan gaun untuk acara tayang perdana film, acara itu diselenggarakan sekitar satu bulan lagi, aku pikir Thania hadir di penayangan filmmu. Karena hal itu, aku bertanya apakah kalian berdua saling mengenal."
"Oh...yah seperti yang aku katakan aku tahu Thania, tapi aku tidak cukup mengenalnya," balas Skylar pelan, lebih mirip gumaman. Jujur saja, saat ini Skylar merasa tidak nyaman. Dia bertanya-tanya, mengapa tiba-tiba saja Jian menanyakan soal Thania, padahal sebelumnya Jian nampak biasa saja, dan bahkan terlihat bahagia saat memandang suasana kota yang indah dari ketinggian tempat mereka berada saat ini.
"Ayo, habiskan makan malamnya, sayang. Udara sudah mulai dingin, kita harus segera pulang, aku tidak mau kamu sakit." Skylar menggeser piring makan Jian lebih dekat pada perempuan itu.
"Apa kamu ingin disuapi?" tanya Skylar sambil memotong daging steak lalu menyodorkan potongan daging itu tepat di depan mulut Jian.
Jian tersenyum, dan mulai memakan steak yang diberikan Skylar, sembari bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah dirinya terlalu curiga pada suami sempurnanya? Mengapa dirinya tidak bisa menikmati semua kebahagiaan dan hidup yang indah ini dengan rasa syukur dan tenang, jauh dari prasangka? Jian pada akhirnya memutuskan untuk mengenyahkan segala pikiran buruk yang melintas dalam otaknya, tentang kemungkinan Thania dan Skylar suaminya saling mengenal dan bahkan mungkin bermain api di belakangnya. Jian menetapkan dalam hati bahwa tidak mungkin hal itu terjadi.
Tapi, apa tadi yang dilihatnya? Bekas lipstik yang memudar? Tidak mungkin Skylar memakai lipstik bukan? Pikiran Jian saling berbantahan, antara tetap percaya pada Skylar atau curiga terhadap noda lipstik di pakaian Skylar. Di satu sisi ada suatu kecurigaan yang hadir, tapi di sisi lain pikiran itu terbantahkan.
"Sky...." Jian memanggil Skylar dan berniat menanyakan soal noda lipstik yang dilihatnya, ia tidak bisa menahan rasa ingin tahu dan penasaran soal noda lipstik di kemeja yang dikenakan Skylar.
"Ya?"
"Itu...di kemejamu ada noda lipstik."
Skylar segera memeriksa kemejanya dan menunjuk sebuah noda yang terlihat samar. Jantung Skylar berdebar hebat, tapi lalu Skylar mencoba menenangkan diri, sekaligus juga mencoba membuat alasan yang bisa dipikirkannya dan terdengar masuk akal.
"Oh, ini, aku sempat melihat makeup artist yang bekerja di filmku menggunakan lipstik dengan warna ini, aku pikir lipstiknya akan sangat cantik jika dipakai olehmu. Aku iseng, meminjam lipstik makeup artist itu dan mengoleskan di tanganku untuk mengamati warnanya dan menanyakan di mana aku bisa membeli lipstik seperti ini."
"Dan yah, unfortunately, lipstik ini sepertinya menempel saat aku mengambil pulpen untuk menandatangani beberapa dokumen yang akan diserahkan ke produser." Skylar menjelaskan.
Jian menatap Skylar, mencoba menimbang apakah ada kemungkinan Skylar berbohong ataukah dirinya yang terlalu berlebihan.
Melihat Jian hanya diam, tidak menanggapi penjelasannya, dan terus menatapnya seolah tidak percaya, Skylar merasa tersudut dan menjadi lebih defensif. "Jianina, kamu tidak berpikir macam-macam kan?"
"Kenapa kamu hanya diam? Kamu bertanya tentang segala sesuatu dan aku mencoba menjawab semua pertanyaanmu, tapi yang aku dapatkan hanyalah tatapan tidak percaya yang terlihat jelas di matamu," seru Skylar pada Jian.
"Apa kamu sedang menuduhku bermain perempuan di belakangmu?" Suara Skylar mulai meninggi.
Reaksi Skylar yang mendadak nampak marah hanya karena pertanyaan soal lipstik yang menempel membuat Jian kaget. "Aku tidak menuduhmu Sky, aku hanya bertanya soal noda lisptik." Jian mencoba menjelaskan, ia tidak mau bertengkar di tempat umum seperti ini. Akan sangat memalukan jika mereka bertengkar dan menjadi tontonan semua orang yang sedang bersantap malam di sana.
"Aku sudah menjelaskan semua hal yang sesungguhnya, tapi dari raut wajahmu kamu nampak tidak percaya. Lalu aku harus apa?!" sergah Skylar.
"Baiklah, aku akan menelpon Inna jika kamu memang tidak percaya. Dia makeup artist yang kuceritakan." Skylar mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi Inna.
"Skylar, sudah, aku percaya." Jian mencegah Skylar menelpon Inna--makeup artist yang disebut Skylar sebelumnya.
"Aku harus menelpon Inna, agar kamu percaya dan tidak meragukan apa yang aku katakan."
"Sudah Sky, sudah...aku percaya padamu, kamu tidak perlu menelpon Inna. Aku percaya padamu," ucap Jian.
Meski tidak terlalu akrab, Jian mengenal Inna dan Jian merasa malu jika Inna mengetahui bahwa Jian cemburu dan menuduh Skylar hanya karena bekas lipstik. Jian tidak ingin dinilai sebagai wanita pengekang dan pencemburu, yang insecure, lagipula ia percaya Skylar. Skylar tidak akan mengkhianatinya.
"Maaf, aku bertanya hal yang mungkin membuatmu tidak nyaman." Jian sambil memegang tangan Skylar.
Skylar menghela nafas, merasa lega, seolah baru saja lolos dari sebuah bencana.
"Jangan lakukan itu lagi Jianina. Kamu tahu aku mencintaimu dan aku bisa mati jika kamu tidak mempercayai aku."
Jianina mengangguk dan ia beranjak dari kursinya, memeluk Skylar. Jian tidak ingin kehilangan Skylar hanya karena dugaan-dugaan kecurigaan yang tidak berdasar dan tanpa fakta yang jelas. Jianina memeluk Skylar begitu erat, ia mencintai Skylar, sosok pria yang membawanya kembali dari lembah kedukaan, dan membuatnya kembali percaya bahwa ia layak untuk mendapatkan cinta.
***
"Oh halo Thania, selamat siang." Jian menyapa Thania ramah saat siang itu Thania kembali mendatangi Feè Marraine. Thania mengenakan dress dengan warna kalem dan potongan klasik yang membuat penampilannya terlihat sangat manis. Di sisi Thania, seorang pria berpostur tubuh tinggi mendampingi, dan Jian merasa pria itu pernah dilihatnya sebelum saat ini, tapi Jian tidak terlalu ingat, atau mungkin saja, hanya kebetulan orang yang sedikit mirip satu sama lain dengan orang yang pernah Jian kenal atau temui.
"Halo Jian, selamat siang. Aku datang untuk mengambil gaunku."
"Ah ya tentu Thania, aku sudah menyiapkan gaunmu, duduklah sebentar aku akan mengambilkan gaunmu." Jian mempersilahkan Thania dan pria yang menemaninya duduk dengan sapaan yang akrab, seperti teman lama yang baru saja bertemu.
"Kau mau minum teh?" Jian menawarkan.
"Kalau kau tidak repot," balas Thania.
"Tentu, teh tidak akan membuat repot," ucap Jian melontarkan senyuman, sambil berjalan keluar ruangan, meminta pesuruh mempersiapkan teh, sementara dia mengambil gaun pesanan Thania.
Jian membawa gaun hitam milik Thania ke dalam ruang tamu, memperlihatkan gaun itu kepada Thania. "Nah ini gaunnya, apa kau mau mencobanya lebih dahulu?"
"Ah, ini cantik!" seru Thania dengan senyum mengembang.
"Sayang, ini bagus bukan?" tanya Thania pada pria yang bersamanya. Pria tinggi itu mengangguk dan tersenyum.
"Kamu pasti cantik saat mengenakannya."
"Tentu saja, aku sudah katakan, pemilik butik ini, sangat terdepan dalam hal mode. Jahitannya rapi dan nampak elegan dan pas saat dikenakan."
"Sayang, ini adalah pemilik butik ini, Jianina," beritahu Thania pada pria di sisinya.
Jian menatap pria itu, lagi-lagi merasa familiar dengan wajahnya, namun sama sekali tidak mengingat kapan mereka pernah bertemu. Jianina tersenyum, lalu menghampiri pria yang bersama Thania, mengulurkan tangan dan menjabat tangan pria itu.
"Praya Jianina, senang bertemu anda," ucap Jian sopan dan ramah.
"Yodha Chandana, senang bertemu anda." Chann menjabat tangan Jian hangat dan menatap Jian.
"Oh ya Jian, apakah kau bisa menjahit jas untuk suamiku? Dia memerlukan jas baru dan kita belum menemukan penjahit yang cocok."
"Ah, maaf Thania, untuk jas aku tidak terlalu mahir membuatnya, karena kebanyakan aku membuat gaun atau pakaian wanita."
"Sayang sekali, aku yakin hasil karya tanganmu sangat bagus. Apa kau tidak bisa membantu kita?"
"Em...bagaimana ya...aku bisa menjahit jas, tapi tetap saja, aku tidak berani menjanjikan hasil yang maksimal. Atau begini saja, aku akan meminta tolong penjahit kenalanku yang memang khusus menjahit jas. Bagaimana?" Jian menawarkan.
"Bagaimana menurutmu sayang?" Thania menanyakan pendapat Chann tentang jas yang akan mereka pesan.
"Aku rasa jika di sini tidak bisa menerima pesanan jas, lebih baik kita memesan di tempat lain, jangan merepotkan miss Praya."
"Hal ini tidak merepotkan, saya akan senang jika bisa membantu."
"Kamu dengar itu sayang? Jian tidak keberatan sama sekali."
"Yah, kalau memang begitu, terima kasih miss Praya berkenan membantu."
"Tidak perlu sungkan, Pak."
"Nah, kalau begitu, aku menyerahkan semuanya kepadamu Jian, aku sangat percaya kepadamu."
"Tentu Thania, aku senang bisa membantumu dan aku akan berusaha mengusahakan yang terbaik."
"Kamu benar-benar teman yang sangat menyenangkan, Jian."
"Kamu terlalu berlebihan, ini adalah hal yang biasa."
"Kalau begitu, apa suamiku perlu mengukur tubuhnya?"
"Iya, aku memerlukan ukurannya jadi aku bisa meminta penjahit kenalanku membuat jas yang pas dengan ukuran Pak Yodha."
"Anda bisa memanggil saya Chann."
"Ah, baik Pak Chann."
"Aku yakin jas-nya nanti pasti akan bagus dan membuatmu semakin keren," ucap Thania pada Chann. Pria itu hanya menanggapi dengan senyuman, sepertinya suami Thania memang seseorang yang tidak banyak bicara.
"Kalau begitu, Jian, bantu suamiku mengukur tubuhnya dulu, sementara aku mencoba gaun yang kupesan?"
"Oh, tentu Thania, ruang ganti ada di sebelah sana, kau bisa mencoba gaunmu di sana." Jian menunjuk sisi ruangan yang lain.
"Oke, aku akan mencoba gaunku dulu. Sayang, aku pergi sebentar ya!" pamit Thania pada suaminya yang ditanggapi anggukan.
"Mari saya bantu ukur Pak!" ucap Jian pada Chann, setelah Thania meninggalkan ruangan untuk mencoba gaun. Pria itu mengangguk dan berdiri agar Jian lebih mudah mengukur tubuhnya dengan midline.
"Maaf Pak, saya ukur sebentar," ucap Jian meminta ijin pada Chann sebelum dia mengukur tubuh Chann. Chann mengangguk dan Jian mulai membentangkan midline-nya. Pertama-tama Jian mengukur lingkar leher, lalu mengukur lingkar d**a.
"Maaf Pak, bisa mengangkat tangan?" pinta Jian dan Chann mengangkat tangannya seperti seseorang yang ditodong pistol, membuat Jian sontak tertawa.
"Maaf pak, bukan angkat tangan seperti itu, tapi seperti ini." Jian mencontohkan mengangkat kedua tangannya ke samping.
"Owh, sorry," balas Chann.
"Tidak apa-apa pak."
"Maaf saya teruskan pengukurannya ya." Jian melingkarkan midline ke d**a Chann melalui bawah ketiak dan mencatat hasil pengukuran di dalam sebuah notes.
Selanjutnya Jian melingkarkan midline ke pinggang, dan dia berhenti sejenak.
"Maaf pak, saya perlu ukuran panggul, kalau bapak keberatan, apakah lebih baik jika Thania yang melakukan pengukuran?"
"Apa? Em...terserah saja bagaimana."
"Kalau begitu, kita tunggu Thania selesai mencoba gaun untuk mengukur panggul, sementara saya lanjutkan untuk mengukur lebar bahu, panjang jas, lingkar pergelangan tangan, lingkar lengan dan panjang tangan."
"Lakukan apa yang menurut anda diperlukan miss Praya."
"Anda bisa memanggil saya Jian, Pak."
"Oh ya, Jian. Silahkan lakukan apa yang harus anda ukur."
Jian mengangguk dan meneruskan mengukur lebar punggung, menempelkan midline dari ujung ketiak yang satu ke ujung ketiak yang lain. Jian melewatkan pengukuran panggul karena bagian panggul adalah bagian yang terletak di bawah perut, dan Jian merasa sangat tidak etis ia melakukan pengukuran di bagian rawan itu, saat ia dan Chann hanya berdua. Jian tahu sopan santun dan etika, oleh karenanya ia memutuskan untuk menunggu kehadiran Thania, atau meminta Thania yang mengukur bagian panggul Chann, agar tidak menimbulkan prasangka atau salah paham yang tidak perlu.
Jian sudah selesai mencatat semua ukuran yang diperlukan untuk membuat jas saat Thania masuk ke dalam ruangan dengan gaun hitam karya Jian membalut tubuhnya. Thania terlihat sangat cantik dan menawan dalam balutan gaun itu, dan ia menghampiri suaminya.
"Sayang, bagaimana penampilanku?" Thania berpose di hadapan Chann.
"Hem...gaunnya cocok denganmu," jawab Chann singkat.
"Astaga, Jian sudah bekerja keras menjahit gaun seindah ini dan tanggapanmu sedatar ini," decih Thania.
"Setidaknya kamu bisa mengatakan, wah sayang kamu sangat mempesona, aku yakin semua orang di premiere film akan menatapmu penuh ketakjuban."
Mendengar kata-kata premiere film, Jian teringat soal Skylar dan acara pemutaran film perdananya.
"Thania, kalau boleh tahu, kau menghadiri pemutaran film apa?" tanya Jian.
"Oh, aku akan menghadiri pemutaran film The last kiss of paradise."
The last kiss of paradise. Mendengar jawaban Thania, Jian terhenyak. Itu adalah film besutan Skylar, suaminya itu melakukan syuting di Bali, tempat yang disebut sebagai kepingan surga. Segala pemikirannya tentang Skylar beserta kecurigaannya mulai muncul kembali, dan membuat Jian mendadak resah, namun dia menahan segala kegundahan, dan kembali bertanya pada Thania.
"By the way, Thania, apa kamu mengenal Skylar Wistara? Dia sutradara film itu."
"Ah ya, Skylar, aku mengenalnya, aku dan dia sering bertemu beberapa kali, aku menulis naskah film The last kiss of paradise bersama seorang partner lain. Skylar adalah sutradara yang ulet dan sabar, film yang dikerjakannya sangat detail, ia sangat berdedikasi dan memiliki jiwa seni yang tinggi, sebagai penulis naskah, aku pribadi sangat menyukai Skylar, karena dia memenuhi ekspektasi dalam mewujudkan kisah yang ditulis ke dalam karya sinematografi dan kami semua senang bekerja sama dengannya."
Jantung Jian berdebar semakin kuat saat mendengar penjelasan panjang lebar dari mulut Thania, tentang bagaimana dia dan Skylar saling mengenal, bahkan bekerja bersama. Otak Jian banyak melemparkan pertanyaan, mengapa ada hal yang tidak sinkron antara pernyataan Thania dan Skylar?
Skylar mengatakan bahwa ia tidak terlalu mengenal dekat Thania, tapi Thania mengatakan mengenal Skylar dan cukup akrab mengingat mereka bekerja dalam satu proyek film yang sama. Mengapa Skylar tidak mengatakan hal yang sesungguhnya? Mengapa dia menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya dia mengenal Thania cukup akrab? Apakah Skylar menyembunyikan sesuatu soal Thania? Tapi, Thania terlihat tidak memiliki beban, lagipula, Thania sudah menikah. Hubungan Thania dan Chann tampak harmonis dan manis, tidak mungkin Thania menghancurkan pernikahannya, dan tidak mungkin Thania berani muncul di hadapannya, jika wanita itu memiliki affair dengan Skylar.
Namun sisi lain pemikiran Jian berkata bahwa Jian tidak mengetahui apapun tentang Thania dan pernikahannya. Meski nampak baik-baik saja, belum tentu pernikahan Thania dan Chann memang begitu adanya.
Pikiran Jian tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa Skylar harus berbohong soal Thania? Dan apa yang disembunyikan Skylar darinya?