09 - Menyelesaikan Masa Lalu

1788 Kata
Gara menekan tombol loadspeaker agar percakapannya dengan lawan bicaranya dapat didengar pula oleh Raline. “Saya Gara, calon suaminya Raline,” jawab Gara santai. Sepertinya, orang di seberang sana itu baru saja bertanya siapa Gara. ‘Calon suami? Jangan bercanda! Tolong berikan teleponnya pada Raline! Saya ingin bicara dengannya.’ Raline hendak merebut ponselnya dari Gara. Namun, pria itu segera menjauhkan benda pipih tersebut dari jangkauan Raline. “Saya bukan seorang pelawak, dan saya juga tidak suka bercanda. Bisa kamu katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan pada Raline? Kebetulan dia ada di sebelah saya sekarang,” ujar Gara. “Pak, jangan main-main! Siniin teleponnya!” pinta Raline. Namun Gara masih tidak mengindahkannya. ‘Sebenarnya siapa kamu? Kenapa lancang sekali mengaku sebagai calon suami Raline? Apa kamu tidak tahu siapa saya?’ “Apa itu penting?” balas Gara dengan nada meremehkan. “Lucas, kamu matiin aja teleponnya! Nanti kita bicara lagi saat-“ “Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan pada calon istri saya! Saya rasa, saya perlu mendengarnya untuk memastikan jika tidak ada lelaki yang masih terus berusaha mendekati calon istri saya,” Gara memotong. Raline menatap tajam Gara, tetapi pria itu masih memasang raut tidak peduli. “Mama, memang yang telepon siapa, sih? Teman Mama, ya?” tanya Cinta. Raline menatap malas anak itu. Biar bagaimana pun, masalah ini terjadi karena campur tangan Cinta. Bisa-bisanya anak berusia enam tahun itu berkomplot dengan ayahnya untuk merebut ponsel Raline – mengusik privasi Raline. Namun, Raline mau marah pun tidak bisa. Cinta masih terlampau polos. Gadis cilik itu bahkan tidak tahu jika apa yang baru saja ia lakukan dapat menimbulkan masalah. ‘Mama? Raline, aku dengar suara anak kecil. Yang dia panggil Mama bukan-‘ “Iya. Dia anak saya dan Raline. Lebih tepatnya, calon anak tiri Raline. Jadi, sekarang kamu percaya dengan apa yang saya katakan tadi, kan? Saya tidak sedang main-main,” potong Gara. “Pak, jangan kayak gini!” tegur Raline yang merasa tidak enak hati dengan lawan bicara Gara di seberang sana. “Dia harus tahu, Raline. Sudah saatnya bagi dia untuk berhenti gangguin kamu, belajar melepas kamu,” balas Gara berusaha memberi pengertian. “Tapi kan dia nggak tahu apa-apa,” cicit Raline. “Maka dari itu, dia harus tahu posisinya sekarang.” ‘Raline, bisa kita bertemu?’ tanya orang di seberang sambungan telepon tersebut. Dia adalah Lucas. Dan apa yang baru saja ia dengar, tentu sangat mengguncang kewarasannya. Seingatnya, semua masih baik-baik saja sejak terakhir ia berjumpa dengan Raline. Kedua orangtua gadis pujaannya itu juga masih tidak mengatakan apa-apa soal calon suami. Dan setahunya, hanya dia lah kandidat calon suami untuk Raline selama ini. Lalu, bagaimana mungkin sekarang tiba-tiba ia mendengar bahwa Raline memiliki calon suami lain? Terlebih, Raline seolah enggan membantah semua ucapan itu dan memilih pria itu yang terus menyahuti ucapan-ucapan Lucas – seolah apa yang dia katakan bukanlah suatu kesalahan. ‘Raline, bagaimana?’ Raline menatap Gara seolah meminta persetujuan. Ia tidak tahu kenapa ia harus melakukan itu. Namun nalurinya seolah menuntunnya melakukan demikian. Melihat Gara mengangguk, Raline pun seakan mendapat izin. “O- oke. Kamu tentukan saja waktu dan tempatnya!” ucap Raline dengan nada kaku. Setelah itu, sambungan telepon berakhir. Raline tidak tahu pasti siapa yang mengakhirinya lebih dulu. Yang pasti, Gara segera mengembalikan benda pipih itu padanya. “Segera beri tahu aku kapan dan di mana kalian akan bertemu. Biar aku membantumu untuk menjelaskan padanya,” pinta Gara. “Eh? Maksudnya, Bapak mau ikut? Nggak usah. Lagian nanti malah-“ “Tenang, Raline. Saya sudah cukup dewasa untuk menentukan apa yang perlu dan tidak perlu saya lakukan. Dan … oh ya. Kapan kamu ada waktu untuk bertemu kedua orangtua saya?” “Secepat itu?” pekik Raline. *** Hal yang paling tidak Raline sukai adalah, saat ia harus terkurung di tengah suasana mencekam yang diakibatkan oleh interaksi orang-orang di sekitarnya. Itulah yang ia rasakan kini, saat ia berada diantara Gara dan Lucas yang masih saling membisu, meski sudah hampir sepuluh menit mereka duduk bersama. “Jadi, apa yang ingin kamu katakan pada Raline?” tanya Gara sambil menatap Lucas datar. “Sepertinya saya lupa mengatakan dengan jelas waktu itu, kalau saya hanya ingin bicara empat mata dengan Raline,” ucap Lucas, menandakan jika ia tidak terlalu suka dengan keberadaan Gara di antara ia dan Raline. “Ya. Saat itu kamu cuma bilang mau bertemu dengan Raline, dan tidak mengatakan jika tidak mengizinkan saya ikut. Jadi saya simpulkan kamu tidak keberatan dengan keiikut sertaan saya. Lagi pula, bagi Raline saya bukan orang lain,” terang Gara yang membuat Lucas mulai geram. Lucas menghela napas panjang, berusaha untuk tidak terpancing mengingat saat ini masih ada banyak hal yang harus ia bahas dengan Raline. Apalagi mengingat sangat sulit bagi dia untuk bisa bertemu dengan Raline, karena Raline yang selama ini terus berusaha menghindar darinya. “Raline, bisa kamu jelaskan yang sebenarnya terjadi?” tanya Lucas. Raline menoleh ke arah Gara, seolah meminta bantuan untuk menjelaskan. Namun, pria itu malah terdiam. Ke mana perginya lelaki yang mengatakan ingin menemaninya untuk membantu Raline menjelaskan? Seingat Raline, itulah yang pria itu katakan satu minggu yang lalu, saat mengatakan ia ingin ikut ketika Raline bertemu dengan Lucas. “Hmm … itu … apa yang kamu dengar minggu lalu nggak salah kok, Luc. Iya, dia calon suami aku. Pria yang aku pilih buat menjalin hubungan serius denganku,” jawab Raline. “Raline, kamu bercanda, kan? Kenapa? Kenapa kamu harus segininya sih nolak aku? Aku kan pernah bilang, aku mau kok kasih kamu waktu sampai kamu benar-benar siap. Tapi bukan berarti seperti ini, Raline,” protes Lucas. “Maaf, Luc. Tapi sejak awal aku memang merasa kurang cocok sama kamu,” balas Raline. “Lalu kamu memilih pria lain? Maaf, memangnya Bapak belum berkeluarga? Dari penampilan Anda, sepertinya Anda-“ “Saya memang pernah berkeluarga, tapi sekarang saya single,” jawab Gara cepat. “Nah kan. Bahkan dia saja pernah gagal. Dan sekarang kamu malah memilih pria yang pernah gagal menjalani kehidupan rumah tangganya dibanding aku, yang selama ini sayang dan sabar banget menghadapi kamu?” “Luc, stop! Kamu tidak seberhak itu buat nilai Pak Gara. Kamu nggak tahu apa-apa soal dia,” kesal Raline. “Tapi setidaknya aku tahu kalau dia pernah gagal, Raline. Dan harusnya kamu-“ “Dia tidak pernah gagal. Dia menduda karena istrinya meninggal, bukan karena berpisah. Lagi pula, meski alasan dia menduda karena cerai, memang kamu tahu apa soal hidup dia? Kamu mau menganggap kamu yang masih lajang ini lebih baik dan berpengalaman dari dia hanya gara-gara kamu belum pernah gagal?” cecar Raline. “Belum tentu, Luc. Justru kamu belum pernah gagal karena kamu sendiri belum pernah menjalani kehidupan berumah tangga. Nggak ada jaminan juga kamu bakal lebih baik dari dia kalau kamu sudah menikah nanti. Jadi stop sok tahu soal kehidupan Pak Gara! Aku jauh lebih mengenal dia dibanding kamu. Dan aku tahu Pak Gara bukan orang yang jahat.” Gara tersenyum miring menatap Lucas setelah ia mendengar ucapan Raline. Ia begitu senang dengan bagaimana Raline membelanya di depan pria itu. “Raline, tapi aku serius sayang sama kamu. Kamu tahu, kan, selama ini aku bahkan rela bersabar buat nungguin kamu. Apa itu saja masih kurang?” tanya Lucas dengan nada memelas. “Maaf, Luc. Tapi, bukankah sejak awal aku sudah mengatakan dengan jelas, jika aku tidak menyetujui perjodohan itu? Kamu seharusnya mundur sejak awal. Aku tidak pernah memberikan harapan apa-apa padamu. Jadi, tolong jangan salahkan aku atas keputusan yang aku ambil saat ini. Itu adalah pilihanmu sendiri untuk bertahan, dan aku juga tidak pernah memintanya,” ujar Raline, dengan nada lebih santai. Sebenarnya, ia juga tidak enak hati harus menolak Lucas dengan cara seperti ini. Namun, biar bagaimana pun, kehidupan rumah tangga memang bukan ajang untuk coba-coba, kan? Ia tidak bisa menggantungkan hidupnya pada pria yang tidak ia sukai. Sedangkan bersama Gara, entah kenapa, meski rasa suka itu juga belum ada, tetapi Raline merasa percaya dan lebih nyaman saat bicara dengannya. Aneh memang. Dan Raline sendiri pun tidak mengerti kenapa pada akhirnya ia justru memilih Gara yang merupakan orang baru dalam hidupnya. Namun kali ini ia hanya bisa berharap, jika suatu hari nanti ia tidak akan menyesali keputusannya hari ini. “Sekali lagi aku minta maaf, Luc. Aku benar-benar tidak bisa bersama kamu. Mulai hari ini, kamu bisa mencoba membuka hati kamu untuk gadis lain. Aku yakin, kamu pasti bisa mendapat orang yang jauh lebih baik dari aku,” pungkas Raline. Lucas menghela napas panjang berkali-kali, menandakan betapa kecewa dan sakitnya ia saat ini. Namun, apa yang bisa Raline lakukan? “Lalu bagaimana dengan orangtuamu? Aku tidak yakin mereka akan dengan mudah menerima keputusanmu ini,” tanya Lucas, masih berusaha. “Untuk urusan orangtua Raline, itu akan menjadi tanggungjawab kami. Yang pasti, saya tidak akan membiarkan Raline berjuang sendirian. Jadi, kamu tidak perlu mengkhawatirkannya lagi!” sambung Gara. Lucas hanya tertawa miris, membuat Raline kembali melafalkan kata maaf beberapa kali, sebelum akhirnya berpamitan untuk pergi lebih dulu dari sana bersama dengan Gara. Gara segera membawa Raline ke mobilnya. Namun, keduanya tidak langsung pergi dari sana. Sempat terjadi keheningan selama beberapa menit hingga akhirnya Gara yang lebih dulu buka suara. “Jadi, sekarang apa rencana kita selanjutnya?” tanya Gara membuka percakapan. “Saya juga nggak tahu, Pak. Tapi sumpah, saya ngerasa jahat banget sama Lucas tadi. Ucapan saya ada yang nyakitin, ya?” Gara terkekeh sebentar. “Yang namanya penolakan, mau disampaikan dengan sehalus apapun memang pasti menyakitkan, kan?” “Tapi apa yang kamu lakukan sudah benar. Kamu hanya mengatakan kebenaran yang memang seharusnya dia ketahui dan dia terima. Toh, kalian masih belum ada ikatan apa-apa. Kamu masih bebas memilih dengan siapa akhirnya kamu akan menikah. Dan terima kasih sudah membela saya di depan dia tadi,” lanjut Gara saat menyadari jika gadisnya masih saja merasa bersalah. “Kita ke rumah orangtuaku, ya?” ajak Gara, membuat kesadaran Raline kembali ditarik paksa. Raline menatap horror pria yang duduk di sampingnya. “Bapak bercanda, kan?” “Tidak. Saya kan sudah pernah bilang. Saya bukan pelawak yang pandai melucu,” jawab Gara. Raline melongo. Otaknya masih sibuk memproses ucapan Gara. “Oh iya. Sebelum kita sampai di rumah orangtua saya, mulai sekarang, mari kita belajar untuk bicara yang lebih santai. Kamu juga jangan manggil saya ‘Pak’ kalau di depan mereka! Belajar panggil saya ‘Mas’, ya!” “Eh? Lah saya aja belum bilang kalau saya setuju, loh,” protes Raline. Gara tersenyum tipis. Kemudian, ia segera menghidupkan mesin mobilnya, dan memacunya dengan kecepatan sedang menuju ke kediaman orangtuanya. “Pak, ini Bapak bercanda, kan? Nggak mungkin, kan, Bapak mau bawa saya ke rumah orangtua Bapak?” “Pak, ish ditanyain juga!” “Saya serius, Raline. Dan belajarnya untuk tidak memanggil saya seperti itu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN