08 - Mulai Nyaman (?)

2124 Kata
Raline membalas pelukan erat Cinta yang kini berada di atas pangkuannya. Anak itu tampaknya mulai mengantuk. Intensitas obrolan di antara mereka sudah semakin berkurang, begitu pun gerakan-gerakan kecil pada jemari Cinta. “Cinta, jangan tidur dulu ya, sayang! Kamu kan belum makan siang,” ujar Gara, sambil sesekali melirik ke arah putrinya. “Sudahlah, Pak. Lagian kayaknya Cinta ngantuk banget. Dia pasti juga capek, habis main sama teman-temannya.” Raline menengahi. Cinta segera menegakkan tubuhnya, menatap wajah Raline yang ada di hadapannya. Anak itu tampak memaksakan matanya agar terus terbuka, membuat Raline yang menyadari hal itu menyeritkan alisnya. “Kenapa?” “Nggak. Cinta nggak ngantuk kok, Ma, Pa. Cinta nggak mau ketiduran lagi. Cinta nggak mau kayak waktu itu, saat Cinta bangun, tiba-tiba Mama udah nggak ada. Kali ini Cinta nggak akan tidur lagi, biar Cinta bisa selalu jagain Mama,” terang Cinta, sambil kembali memeluk Raline dengan begitu erat. “Tapi kamu kelihatan ngantuk loh, Cinta. Kamu tidur dulu aja, ya! Nanti kalau sudah sampai rumah, Tante bangun-“ “Nggak mau. Cinta mau selalu jagain Mama biar Mama nggak pergi pergi lagi,” potong Cinta. Raline menoleh ke arah Gara yang ternyata kini juga sedang menatapnya. Kebetulan, saat ini mobil yang tengah mereka tumpangi sedang berhenti karena lampu lalu lintas yang menunjukkan warna merah. Gara menatap Raline dengan tatapan jengah, sedangkan Raline membalasnya dengan tatapan memelas. Dua puluh menit kemudian, ketiganya sudah tiba di kediaman minimalis milik Gara. Mereka sedang menikmati makan siang bersama Cinta. Lebih tepatnya, Raline menyuapi Cinta karena gadis kecil itu yang terus merengek minta disuapi. “Jangan lupa nanti makan makananmu sendiri!” ujar Gara sambil menatap Raline. “Saya nggak begitu lapar, Pak. Tapi karena sudah disiapkan, ya mau bagaimana lagi?” Raline kembali menyuapi Cinta. Kemudian, perhatiannya tersita saat melihat Gara bangkit dari kursinya. “Bapak mau ke mana?” “Papa mau balik ke kantor, Ma. Mama di sini aja, kan, sama Cinta? Nanti temani Cinta main di kamar ya, Ma!” sambar Cinta dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. “Cinta, telan dulu makananmu! Nanti kamu tersedak!” tegur Gara. Dan benar saja, beberapa detik berikutnya, Cinta tersedak saat hendak kembali menanggapi ucapan ayahnya. Dengan sigap, Raline pun segera membantu anak itu untuk meneguk minumannya. “Sudah lebih baik, hm?” tanya Raline, sambil mengusap punggung Cinta dengan lembut. Cinta mengangguk-anggukkan kepalanya, masih dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah beberapa saat, Raline kembali menyuapi CInta. “Saya harus kembali ke kantor, dan mungkin baru akan pulang sekitar jam empat atau jam lima. Kamu masih akan di sini, kan? Masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan nanti,” ucap Gara. Raline menganggukkan kepalanya pasrah. Toh ia sendiri juga merasa jika masih ada banyak hal yang masih harus ia bahas bersama Gara. Khususnya, tentang permintaannya pada Gara untuk membantunya mendapatkan posisi di Mahawira Group. “Saya janji kali ini nggak akan kabur-kaburan lagi,” balas Raline. Gara tersenyum tipis. “Bagus. Kalau begitu, saya titip Cinta. Jangan lupa, Cinta harus tidur siang walau cuma sebentar nanti. Dan bantu Bibi buat merayu dia agar mau mandi sebelum saya pulang kantor! Dia tidak boleh mandi kesorean.” “Siap, Bapak tenang aja. Gini-gini saya juga pernah bantu jagain anak sodara jauh pas dia mau ke luar kota,” balas Raline. Setelah itu, Gara pun berpamitan kembali ke kantor. Sedangkan Raline asyik bercengkrama dengan Cinta, yang memang anaknya sangat baik dan mudah diatur. Pukul setengah dua siang, Raline masih bermain bersama Cinta di kamarnya. Ternyata anak itu punya sangat banyak mainan. Raline sampai menghela napas panjang berkali-kali setiap kali ia terbayang bagaimana ia harus membereskan kembali mainan-mainan ini nantinya. “Mama, Mama kenapa? Mama bosan, ya? Hmm … Cinta masih ada mainan lain kok, Ma. Mama mau main apa? Nanti Cinta carikan,” tanya Cinta. Ia sangat takut Raline akan merasa bosan, kemudian pergi meninggalkannya. Maka dari itulah sejak tadi ia terus mengeluarkan berbagai koleksi mainannya, yang sebenarnya selama ini cenderung jarang ia gunakan. “Eh? Eng- enggak usah, Cinta. Ini aja udah banyak banget loh. Tapi, ini sudah jam tiga loh, sayang. Cinta ingat kata Papa tadi, kan? Cinta harus tidur siang,” ujar Raline. Senyum di bibir Cinta langsung menghilang. Raut kebahagiaan di wajah gadis kecil itu berubah seketika. Ia menatap Raline dengan tatapan memelas. “Cinta nggak mau tidur, Ma.” “Tapi kan kata Papa tadi Cinta harus tidur siang. Nanti Papa marah loh,” ujar Raline, berusaha membujuk anak berusia enam tahun itu. Cinta segera berhamburan memeluk Raline dengan sangat erat. “Cinta nggak mau tidur. Cinta nggak mau Mama pergi lagi pas Cinta tidur. Pokoknya Cinta mau jagain Mama, mau sama Mama terus.” Mau tak mau, Raline pun harus membalas pelukan gadis kecil itu. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga anak itu. Raline menyapukan pandangannya ke seluruh titik di ruangan itu. Ia jadi kepikiran. Andai tidak ada ia di sini, maka dengan siapa Cinta akan bermain? Cinta memang memiliki banyak sekali mainan. Namun, jelas sekali semua mainan itu tadinya tersimpan rapi, seolah jarang digunakan. Apalagi mengingat jika di rumah ini, ketika ayahnya pergi, Cinta hanya tinggal bersama seorang asisten rumah tangga yang pastinya akan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengurus rumah, dibanding bermain dengan Cinta. Tatapan Raline kemudian tertuju pada gadis cilik yang masih menyembunyikan wajahnya di dalam dekapannya. Raline menjadi merasa serba salah. Entah darimana datangnya rasa empati itu, hingga tiba-tiba ia merasa begitu peduli dengan Cinta. “Tante janji, Tante nggak akan pergi lagi tanpa pamit sama kamu,” ucap Raline. Namun, Cinta masih saja menggelengkan kepalanya. Gadis itu seakan trauma. Hal itu membuat Raline semakin merasa bersalah. “Atau gini saja. Bagaimana kalau Tante memeluk kamu sampai kamu tertidur? Dengan begitu kamu bisa tahu kalau Tante pergi, kan? Ya? Mau, kan?” Cinta mulai mendongakkan kepalanya, menatap Raline dengan mata berkaca-kaca. Gadis mungil itu tampak ragu. Namun, di satu sisi ia juga sangat mengantuk karena ia memang terbiasa mendapat waktu untuk tidur siang. Melihat mata Cinta yang semakin memerah, Raline pun segera menggendong anak itu dan merebahkannya di atas tempat tidur. “Tante temani di sini, ya?” Cinta menggeleng. “Mama ikut tidur sama Cinta. Cinta mau peluk Mama terus, biar Mama nggak bisa pergi.” ‘Halah, dia juga sudah ngantuk, kan? Nggak sampai lima menit juga nanti aku sudah bisa turun dari kasur buat beres-beres. Nggak apa-apa, deh. Biar dia segera merem juga,’ batin Raline. Namun sepertinya, Raline terlalu menyepelekan Cinta. Sepuluh menit berlalu, alih-alih Cinta, justru Raline lah yang ternyata tertidur lebih dulu. Cinta masih membuka matanya, meski rasanya sudah semakin berat. Beberapa kali ia mendongak, memastikan perempuan yang ia pikir adalah ibunya itu sudah benar-benar tertidur. Mendengar Raline mengeluarkan suara dengkuran halus, Cinta pun menghela napas lega. Ia pun segera menyusul ‘ibunya’ menuju ke alam mimpi. “Selamat tidur, Mama,” lirih Cinta, kemudian memejamkan matanya sembari mengeratkan pelukannya pada perut datar Raline. *** Raline merasa begitu nyaman hingga ia malas membuka matanya. Namun, tampaknya ia sudah tertidur terlalu lama. Ia mengejapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Ia merasa asing dengan tempat ini. Tampaknya, ini bukan kamarnya. Kemudian, ia berusaha mengingat-ingat di mana ia berada saat ini. Namun, belum sempat ingatannya benar-benar pulih, sebuah suara sudah lebih dulu membuatnya terperanjat dan langsung bangkit dari posisinya. “Sepertinya kamu bisa beradaptasi dengan cepat di rumah ini. Kamu kelihatan sudah nyaman seperti di rumahmu sendiri.” Raline membulatkan matanya, menatap nyalang pria yang kini sedang berdiri sambil melipat tangannya di dekat kasur tempat dia berbaring. “P- Pak Gara?” kaget Raline. Detik berikutnya, ia langsung melompat turun dari kasur dan menunduk untuk meminta maaf. “L- loh, Cinta mana?” bingung Raline saat ia ingat, jika sebelumnya ia tidur bersama dengan Cinta. Hanya anak itulah yang bisa menjadi senjata Raline – menjadi alasan Raline agar Raline tidak disalahkan karena merebahkan tubuhnya sembarangan di kasur kamar itu. “T- tadi saya sama Cinta kok, Pak. Tadi Cinta yang minta saya tidur sambil meluk dia. Tadinya dia nggak mau tidur kalau saya enggak-“ “Mama!” seru Cinta. Gadis yang hanya membungkus tubuhnya dengan handuk berwarna pink itu segera berhambur memeluk kaki Raline. “Mama sudah bangun? Makasih ya, Ma, Mama sudah menepati janji Mama buat nungguin Cinta.” “Nah, benar kan, Pak? Tadi, Cinta yang-“ “Ma, Papa marahin Mama, kah?” potong Cinta sambil menyipitkan matanya, menatap Raline penuh selidik. “Enggak. Papa kamu cuma salah paham sepertinya,” jawab Raline. “Saya tidak,” bantah Gara. “Kamu juga bisa membersihkan badan kamu di kamar mandi kamar Cinta. Biar nanti Bibi siapkan baju ganti buat kamu.” “Eh? Nggak us-“ “Lalu kalau sudah, kita bertemu di bawah. Ada beberapa hal yang harus kita diskusikan sebelum waktu makan malam,” potong Gara. Tanpa mau repot-repot menunggu Raline menjawab, Gara sudah lebih dulu berjalan keluar dari kamar Cinta, membuat Raline melongo dan bingung tak tahu harus melakukan apa. “Bibi bantu carikan baju ganti aja buat Mama. Cinta bisa kok pakai baju sendiri.” Ucapan Cinta berhasil menyita perhatian Raline. Ternyata, sejak tadi ada Bibi yang habis memandikan Cinta, dan kini hendak membantu anak itu untuk mengenakan pakaiannya juga. “Eh? Memang ada baju ganti buat saya di sini? Nggak usah deh, Bi. Nanti saya mandi di rumah aja,” tolak Raline. Lagi pula, tidak mungkin, kan, ia memakai baju Cinta nantinya? “Ada kok, Non. Baju mamanya Cinta masih tersimpan rapi di kamar Tuan. Sebentar, ya, saya siapkan dulu,” ucap Bibi. Raline membulatkan matanya. “T- tunggu! Baju mamanya Cinta? Bi, nggak usah. Serius. Saya nggak enak.” “Nggak apa-apa, Non. Tuan sendiri yang tadi memerintahkan saya. Lagi pula, kata Tuan, Anda kan akan berada di sini sampai malam. Jadi sebaiknya Non memang mandi di sini saja sekalian. Lagi pula, pasti Tuan juga sedang mandi. Jadi-“ “Maaf, Bi. Tapi saya benar-benar tidak enak.” “Mungkin karena baju Mama sudah jelek-jelek kali, Bi. Biar nanti Cinta bilangin ke Papa biar Papa beliin baju baru yang banyak buat Mama. Mama mandi dulu aja, Ma! Habis ini Cinta langsung ke kamar Papa buat bilang kalau Mama mau baju baru,” ujar Cinta dengan begitu polosnya. “Eh? Enggak! Jangan!” “Ya terus gimana dong? Mama kan pasti sudah bosan sama baju-baju Mama. Nggak apa-apa, Ma. Uang Papa kan banyak. Pasti gampang buat Papa kalau cuma beliin Mama baju baru,” ujar Cinta. “Enggak kok. Nggak perlu. Y- ya udah saya pakai baju seadanya aja, Bi, tolong,” ucap Raline mengalah, sebelum masalahnya semakin menjadi. Bibi tersenyum maklum, kemudian segera pamit undur diri untuk mengambilkan baju ganti di kamar utama rumah tersebut. Sedangkan Raline hanya menatap Cinta yang kini sedang mengenakan pakaiannya sendiri. Ternyata anak itu pintar juga. Di usianya yang masih sangat kecil, ia tampak terampil mengenakan piyama berkancing bergambar panda miliknya. Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, Raline ditarik oleh Cinta menuju ke lantai bawah. Tampak di sana Gara sudah menunggu di ruang tamu sambil memandangi layar laptopnya. Sepertinya ia masih harus memeriksa pekerjaannya, bahkan saat ia masih berada di rumah seperti ini. Raline jadi bertanya-tanya, sebenarnya orang seperti apa Gara? Lelaki itu tampak begitu menyayangi putrinya. Namun di satu sisi lelaki itu juga tampak memiliki beban kerja yang begitu besar hingga ia kesulitan membagi waktunya untuk bermain dengan putri kesayangannya. “Pak Gara,” panggil Raline. Gara mendongak menatap Raline. Sedangkan Cinta langsung menghampiri ayahnya dan duduk di samping laki-laki itu. “Ah iya. Bisa kamu tunggu saya sebentar? Tidak sampai sepuluh menit,” pinta Gara. Sedangkan Raline hanya menganggukkan kepalanya. Namun, di tengah kegiatannya menunggu, ponsel Raline bergetar. Ia pun segera melihat siapa yang menghubunginya. Dan ia mengembuskan napas panjang saat membaca nama orang yang tidak ia harapkan tertera di sana. Hal itu tak lepas dari perhatian Gara. Ia seolah bisa membaca suasana. Ia bisa menduga siapa yang menghubungi Raline saat ini. “Ada apa? Mau saya bantu angkatin teleponnya?” tawar Gara. “Eh?” Raline terperanjat. “Ng- nggak usah,” tolaknya. Ia dengan cepat menolak panggilan itu. Jarinya bergerak cepat untuk mengirim pesan pada orang yang tadi meneleponnya, melarang orang itu untuk menghubunginya lagi. Namun, tampaknya orang itu mengabaikan permintaan Raline. Karena beberapa detik berikutnya, ponsel Raline kembali bergetar, membuat Raline menghela napas jengah. “Sinikan ponsel kamu! Biar saya bantu!” ucap Gara. “Nggak per- eh, Cinta!” Raline terkejut karena tiba-tiba saja Cinta sudah merebut ponselnya dan menyerahkannya pada sang ayah. Gara tersennyum menang. Ia mengusap puncak kepala Cinta sebentar, sebelum akhirnya menempelkan layar ponsel milik Raline pada telinganya. “Halo,” sapa Gara pada seseorang yang menghubungi nomor Raline. Raline menatap kejadian itu dengan horror. Ia mengawasi interaksi Gara dengan lawan bicaranya dengan perasaan was-was. ‘Mampus!’ jerit Raline dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN