10 - Bertemu Calon Mertua

1922 Kata
Raline mencengkram erat seatbelt yang ia kenakan. Mulutnya terkatup rapat bahkan ketika pria di sampingnya sudah keluar dari mobil. Raline sedikit terkejut. Pupil matanya membesar saat mengetahui pintu di sampingnya sudah terbuka dari luar. “Ayo cepat keluar!” ajak orang tersebut – Gara. Raline menggeleng ribut. Ia tidak mau. Ia bahkan sudah menolaknya sejak mereka masih dalam perjalanan tadi. Namun, lihatlah sekarang! Gara tetap keras kepala membawa Raline ke sebuah rumah mewah yang didominasi cat putih dan cokelat, tetapi bukan rumah Gara yang sudah beberapa kali Raline kunjungi. “Cepat, Raline! Mama saya sudah menunggu,” ucap Gara. Raline mendelik sebal. “Bapak udah ngomong ke orangtua Bapak kalau Bapak ngajak saya ke sini?” “Sudah. Kebetulan Papa juga lagi libur ngantor. Maka dari itu saya langsung ajak kamu ke sini. Oh iya, stop panggil saya ‘Bapak’!” tegas Gara. “Lah terus saya manggil apa dong? Kan memang Bapak lebih tua dari saya,” bingung Raline. “’Mas’.” “Hah?” “Kamu bisa panggil saya Mas, Kak, atau apapun itu tapi jangan ‘Pak’!” Raline berdecak sebal. “Ya udah iya saya coba biasain. Tapi kan sekarang masih kaku, Pak- eh Mas. Tuh, kan. Mending Mas kasih saya waktu buat belajar dulu! Besok kalau saya sudah terbiasa, baru kita ke orangtua Mas.” “Ada-ada saja alasan kamu itu. Nggak! Nggak ada! Kita udah sampai dan saya sudah ngomong kalau bakal bawa kamu ke sini sekarang, kok,” tolak Gara. “Lah, itu mah urusan Mas Gara. Saya kan belum bilang kalau saya setuju. Dari awal saya juga sudah-“ “Gara, sudah sampai, Nak? Jadi mana calon mamanya Cinta?” “Mampus!!!” gumam Raline dengan tatapan penuh beban mengarah pada seorang wanita paruh baya yang tampak berjalan ke arah mereka. Dari bentuk wajahnya saja Raline sudah bisa menebak siapa wanita itu. Bisa dikatakan, wanita itu adalah Gara versi perempuan. Amat sangat mirip dengan Gara, hanya kulitnya saja yang sudah tampak mulai keriput. “Eh? Ini ya pasti yang namanya Raline?” tanya wanita itu setelah mendorong Gara menyingkir dari pintu mobil. “Hehe, i- iya, Tante,” jawab Raline kaku. “Sudah ayo ikut masuk! Cinta juga sudah menunggu di dalam. Dari tadi nanyain kamu,” ucap wanita tersebut. Raline masih duduk kaku di posisinya. Namun, ibu Gara segera menariknya setengah paksa untuk keluar. “Kamu ini gimana sih, Gar? Bukannya segera diajak masuk, malah diajak ngobrol di luar.” Gara menatap bingung ke arah ibunya. Hendak protes, tetapi wanita yang melahirkannya itu sudah lebih dulu melenggang pergi sambil menarik lengan Raline. Gara menghela napas panjang sebelum akhirnya mengekori langkah dua perempuan itu. Di sepanjang perjalanan, ibu Gara yang bernama Almira banyak mengajak Raline bicara. Tampaknya wanita itu sudah menunggu sejak lama anak lelakinya membawa wanita pilihannya untuk datang ke rumah ini. “Tante masih nggak nyangka loh, Gara beneran bawa calonnya hari ini. Dia baru bilang tadi pagi pas nganterin Cinta ke sini. Tante kira dia bercanda, karena Tante belum pernah melihat dia dekat dengan perempuan mana pun setelah ibunya Cinta meninggal. Eh ternyata benar, dong, dia ngajak kamu ke sini,” ujar Ibu Almira. Raline hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil sesekali terkekeh. Ia masih tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia takut membuat kesalahan tanpa ia sadari. Apalagi, terkadang rem mulutnya suka blong. “Mama! Yeyyy! Mama beneran datang, dong!” seru Cinta, dan langsung berhamburan memeluk kaki Raline. Gara bersimpuh di samping Almira untuk menyamakan tingginya dengan sang putri. “Memang Papa pernah ingkar janji? Kalau Papa sudah janji bawa Mama datang, pasti Mama akan beneran datang, dong.” Raline mendecih. Jadi ini alasan Gara begitu memaksanya tadi? Iya sih, Gara berhasil membawa Raline ke sini. Namun dengan pemaksaan yang sangat menjengkelkan. Lihat! Dari segi pakaian saja Raline sangat tidak layak berada di kediaman megah ini. Gara benar-benar tidak memberikan waktu pada Raline untuk bisa kabur, atau bahkan sekadar memperbaiki penampilannya. “Eng … Tante, maaf ya Raline nggak bawa apa-apa. Pakaian Raline juga seperti ini. Raline nggak tahu kalau Mas Gara beneran mau ngajak Raline ketemu orangtuanya. Baru tadi dikasih tahunya,” ucap Raline. “Nggak apa-apa. Orang sudah cantik gini calon mantu Tante,” jawab Bu Almira ramah. Wanita itu memang tampak begitu baik. Dan semoga, ayah Gara pun demikian – tak mempermasalahkan dandanan Raline yang terlampau santai. “Cinta, sudah ayo Mamanya diajak ke dalam! Minta Bibi siapkan cookies yang tadi Cinta buat sama Oma, ya!” pinta Bu Almira pada cucu tunggalnya. “Oh iya, Oma. Siap. Ma, Pa, Cinta ke dalam dulu, ya! Cinta mau siapin cookies buatan Cintas ama Oma buat Mama sama Papa,” pamit Cinta. “Cookies? Cinta bisa bikin cookies?” tanya Raline pada Gara. Agak tidak masuk akal saja bagi Raline, kalau anak sekecil Cinta sudah bisa membuat makanan, apalagi cookies. “Pasti omanya yang bikin, Cinta bantu ngeratain tepung aja di dapur. Jangan berekspektasi lebih!” canda Gara. Raline mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Kalau seperti itu justru terdengar lebih masuk akal baginya. “Eh enak saja! Beneran Cinta tadi bantuin Mama, Gara. Anak kamu itu pintar loh. Kayaknya memang ada bakat masak. Besok kamu harus arahin dia yang bener pokoknya. Apapun cita-cita dia, kamu harus dukung, ya! Jangan kayak papa kamu yang terlalu straight kalau ngarahin anaknya!” tegur Bu Almira. “Iya iya, Ma,” balas Gara. Setelah itu, Bu Almira kembali menggandeng tangan Raline untuk mulai memasuki kediaman mewah mereka. Bu Almira mengajak Raline duduk di ruang tamu. Dan benar saja, tak lama setelah itu, Cinta kembali bersama dua orang asisten rumah tangga membawa minuman serta camilan ke ruang tamu. “Ma, ini cookies buatan Cinta sama Oma. Kata Opa enak kok, Ma. Mama coba, ya!” Cinta segera menyodorkan satu toples cookies buatannya pada Raline. Raline pun menerimanya dan segera mencicipinya. “Hmm … enak. Manisnya pas,” puji Raline. Memang, bentuk cookies itu tidak serapi buatan ibu Raline. Namun jika dari segi rasa, cookies buatan Cinta dan Bu Almira tidak kalah enak. “Gimana, Raline? Suka?” tanya Bu Almira. Raline menganggukkan kepalanya. “Enak, Tante.” “Bagus kalau kamu suka. Kapan-kapan, kamu ikut Tante sama Cinta bikin cookiesnya bareng, ya!” ajak Bu Almira. Raline hanya menganggukkan kepalanya. Ia masih merasa sungkan dan takut salah dalam berbicara. “Oh iya, nanti kamu makan malam di sini, kan? Tante sama Om mau sekalian ngobrol sama kamu dan Gara,” tanya Bu Almira. Raline menatap Gara, seolah meminta pendapatnya. Sebenarnya, Raline ingin menolak. Namun ia tidak berani jika bukan Gara yang memulainya. “Iya, Ma. Nanti biar Raline sekalian makan di sini. Biar Gara antar dia pulang setelah makan malam,” sambung Gara yang sama sekali tidak sesuai dengan harapan Raline. Raline menatap tajam calon suaminya itu. Namun Gara seolah tidak mau tahu dan tidak mengindahkan maksud tatapan Raline itu. “Bagus kalau begitu. Ya sudah, Raline, kamu temani Cinta main dulu, ya! Kalau perlu apa-apa kamu bisa segera minta ke Bibi! Jangan sungkan di sini! Anggap saja rumah sendiri!” ucap Bu Almira. “Mama mau pergi?” tanya Gara. “Mau mau cek butik sebentar. Cuma sebentar kok. Nggak sampai dua jam Mama Balik. Kamu temani Raline saja di sini! Paling bentar lagi papa kamu juga turun,” jawab Bu Almira. Gara mengangguk mengiyakan. Kemudian, nenek Cinta itu pun segera melenggang pergi setelah mengambil tas bermerk miliknya. “See? Mama kayaknya suka sama kamu,” ucap Gara pada Raline. Raline menatap Gara malas. “Mas nggak usah sok asik, ya! Aku masih kesel sama Mas,” ujar Raline, yang lagi-lagi tidak terlalu dipedulikan oleh Gara. Setelah itu, Raline pun memilih untuk menemani Cinta bermain. Sama halnya dengan dikediamannya bersama sang ayah, ternyata di rumah ini Cinta juga memiliki banyak mainan. Anak itu dengan penuh semangat mengangkut mainannya dari ruang bermain ke ruang tamu hingga membuat Gara yang melihatnya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sejak kapan kamu jadi suka sama mainan-mainan kamu, Cinta? Seingat Papa kamu suka malas kalau Papa ajak main mainan-mainan yang dibelikan Opa dan Oma itu,” tanya Gara. “Sejak ada Mama dong, Pa. Kalau mainnya sama Mama sih Cinta mau,” jawab Cinta. Setelah itu, Cinta pun mengabaikan ayahnya dan fokus bermain dengan calon ibu barunya. Melihat interaksi Cinta dan Raline, Gara tersenyum tipis. Ia belum pernah melihat putri semata wayangnya itu tampak sesuka dan senyaman ini dengan seseorang. Dan anehnya, Cinta justru tampak nyaman dengan orang asing, yang entah kenapa anak itu mengira jika Raline adalah ibunya. ‘Bahkan sampai sekarang aku juga tidak mengerti kenapa Cinta memanggilnya ‘Mama’. Semuanya terjadi secara tiba-tiba, dan rasanya sulit sekali bagiku untuk menjelaskan pada Cinta tentang kebenarannya. Karena aku tidak suka melihat putriku harus merasakan luka untuk kesekian kalinya,’ batin Gara Bagi Gara, Cinta adalah hal terindah yang pernah ia miliki. Cinta adalah segalanya. Dan Gara akan melakukan apa saja demi kebahagiaan putri tercintanya itu. Termasuk menikahi seorang gadis yang sangat disayangi oleh putrinya – yaitu Raline. Tanpa terasa, waktu terus berjalan dan hari mulai gelap. Cinta sudah mandi sejak sore tadi. Sedangkan Raline yang masih merasa sungkan melakukan apapun menolak saat Gara dan Bu Almira menyuruhnya mandi di kamar tamu. Ia pikir, tidak masalah jika ia harus sedikit terlambat mandi di rumah nanti. Dan kini, mereka sedang berkumpul di meja makan. Ada Raline yang duduk di samping kiri Cinta, sedangkan Gara duduk di samping kanan putrinya. Kemudian, ayah Gara duduk di tengah – diapit istri dan putra tunggalnya. “Jadi, nama kamu Raline?” tanya pria yang sebagian besar rambutnya sudah memutih itu. “I- iya, Om,” jawab Raline. Sebelumnya, pria itu sudah menyebutkan namanya. Dia adalah Naga – atau tepatnya Naga Mahawira. Otak Raline sempat nge-blank saat mendengar nama yang terdengar tidak begitu asing itu. Rasanya, Raline seperti sudah pernah mendengar nama itu, bahkan berkali-kali. Namun ia masih belum mengingat di mana ia pernah mendengarnya hingga kini. “Kamu kelihatan masih muda. Benar kamu calon istri Gara? Kamu tahu, kan, Gara sudah pernah menikah sebelumnya, dan Cinta itu benar-benar anaknya loh,” ujar Pak Naga. Raline menatap Gara memohon bantuan saat pria itu menoleh ke arahnya. “Iya, Pa. Gara juga sudah menjelaskan status dan posisi Gara pada Raline. Dan sejauh yang Gara tahu, dia tidak keberatan dengan itu semua.” “Bagus kalau begitu. Maaf, Raline, tapi kalau saya boleh tahu, apa yang membuat kamu mau menjadi istri anak saya? Sudah berapa lama kalian kenal? Dan apakah kamu sudah tahu latar belakang Gara?” berondong Pak Naga. Raline menelan salivanya kasar. Berbeda dengan Bu Almira yang tampak santai dan bisa langsung welcome dengan Raline, tampaknya pria yang berstatus sebagai ayah Gara ini tampak lebih selektif. “Papa jangan mulai deh! Sudah ah lebih baik kita makan dulu! Ayo, Raline, pilih yang mana yang kamu suka! Kalau Tante sih saranin kamu coba semuanya!” sambung Bu Almira dengan ramah, berusaha mencairkan suasana. “I- iya, Tante. Terima kasih,” ungkap Raline. “Papa ayo makan dulu! Papa mau lauk apa? Sini Mama ambilkan! Ngobrolnya nanti lagi ya, Pa!” ucap Bu Almira, langsung melayani suaminya agar suaminya itu bisa diajak bekerjasama dan tidak membuat calon menantunya tertekan. “Ma, Cinta mau makan udang itu tapi nggak bisa ngupasnya,” ujar Cinta, berhasil membuyarkan lamunan Raline. Akhirnya, fokus Raline pun perlahan bisa teralihkan berkat bantuan Cinta. Namun, akankah ia akan benar-benar lolos dari masalah? Raline masih merasa dihantui dengan sikap ayah Gara. Ia masih tidak tahu akan jadi apa ia setelah makan malam kali ini selesai. Yang pasti, ia yakin jika Naga Mahawira itu tidak akan melepaskannya dengan mudah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN