Kediaman rumah Luna kali ini terasa dingin. Bukan karena mendung turun hujan, pasalnya rumah yang selalu damai itu kehadiran tamu penting. Tepatnya musuh. Mirza berdiri dengan penuh senyuman. Luna hanya menggenggam jemari Arvin, takut Arvin kecewa dan terpengaruh akan kebusukan Mirza. “Sepertinya, kalian sangat bahagia,” seru Mirza. Arvin tersenyum sinis. “Tentu saja! Aku memiliki wanita ini. Apa ada alasan aku tidak bahagia?” “Untuk apa kamu ke sini?” tanya Luna. Raut Mirza berubah, bahkan tampak tulus hingga keduanya bingung. Dia mendekat dengan bias menyesal, lalu berkata, "Aku dengar kamu hamil, Lun. Harusnya waktu itu aku tidak kurang ajar dan tidur denganmu. Maaf. Apa aku harus bertanggung jawab?" Luna seolah gemetar, bergumam tipis. 'Apa lagi ini?' pikirnya. “Luna, apa ma