bc

My Dear Luna

book_age16+
879
IKUTI
3.5K
BACA
arrogant
boss
drama
sweet
realistic earth
slice of life
like
intro-logo
Uraian

(Sudah direvisi, ya. Jadi adegan-adegan yang kurang pantas, sudah saya hapus banyak. Cerita ini aman dibaca 16+. Yuk baca.)

Saat cinta diuji oleh waktu. Tragedi penembakan yang terjadi empat tahun lalu menyebabkan Arvin mengalami koma dan enggan menyapa hari-hari Luna.

Luna yang mulai bangkit, mengawali karirnya setelah lulus. Rasa lelah yang akhirnya membuat dia menyerah sebab sang mama yang terus memaksanya berhenti menunggu Arvin bangun.

Empat tahun berlalu sudah, Luna menjadi wakil direktur perusahaan advertising milik ayahnya yang berada di Yokohama, Jepang. Dia yang memutuskan memulai karir di sana sebab tekanan mamanya, akhirnya menyetujui pertunangan dengan Mirza, rekan bisnis papanya. Hanya sebatas simbiosis mutualisme. Pertunangan dengan keterpaksaan yang hampir mengikatnya pada janji suci. Hingga akhirnya berita datang dari Reyhan bahwa Arvin sudah sadar dari koma. Cinta lama yang masih dipendamnya, begitu menyesal karena menuruti perkataan sang mama bahwa selamanya, Arvin takkan terbangun lagi.

Kembali ke Indonesia, Luna menemukan bahwa senyum pria itu masih tetap sama, meski dia lebih banyak diam. Berharap bisa memulai semuanya dari awal. Dunia yang dia tinggalkan selama empat tahun, akan berubah jadi apa? Mungkinkah juga cinta Luna?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. That's Luna
Suasana kota yang sibuk. Pagi disajikan dengan para pekerja dan juga pelajar yang mengisi jalanan menuju tempat keseharian masing-masing. Sinar mentari dan petal bunga sakura beterbangan di sisi jalan kota Otaru, sebuah kota dan pelabuhan di Shiribeshi, Hokkaido, Jepang, barat laut Sapporo. Sebuah gedung berlantai tiga yang beroperasi lima tahun terakhir di Otaru itu mulai menunjukkan eksistensinya di bidang advertising. Para karyawan mulai bekerja di bilik masing-masing. Meski berada di Jepang, lebih dari setengahnya adalah warga negara Indonesia. Hal ini berkat usul bijaksana wakil direktur cantik nan muda yang tak lain adalah pemilik dari Moon Advertising. Memberi kesempatan bagi saudara sendiri untuk merajut kesuksesan bersama di negeri sakura tersebut. Di salah satu ruangan sudut, seorang wanita cantik masih sibuk di depan tumpukan berkas dan laptopnya. Rambut ikalnya tergerai indah, mengisi bahu depan dan sisanya terurai di punggungnya. Make up merona dengan warna lipstik merah, juga blazer krem yang merekat di badannya. "Gila ini si Mirza! Proposal busuk gini, minta gue yang ngurusin. Apa gue berantakin aja, ya?" Luna Anindya, nama itu berada pada papan nama di sudut mejanya. Bias senyum gusar muncul saat dia hendak merobek berkas itu, lalu menggeleng. "Ck, nggak bisa. Gue masih ada utang tiga proyek lagi sama dia." Luna menghela napas lelah, bersandar pada kursi empuk. Matanya masih tertuju pada berkas itu. "Pokoknya ini syarat terakhir supaya dia bebasin utang Papa. Awas aja anak itu." Moon Advertising adalah perusahaan advertising berjaya pada masanya. Akan tetapi, belakangan ini performanya menurun sebab sang direktur utama, Adrian Samantha, ayahnya Luna itu melakukan perjanjian bisnis dengan salah satu perusahaan besar bernama Divaska Group. Permainan bisnis yang licik. Beliau ditipu dengan aset yang tersita tanpa sepengetahuannya, Luna-lah yang menanggung semua. Berjuang keras membangkitkan perusahaan kembali. "Ini si Papa nggak tau aja apa yang harus gue tukar untuk balikin aset Papa yang dirampas Divaska Group. Tapi kayaknya ...." Luna mengeluarkan kembali berkas dari laci. Deretan tulisan itu merupakan perjanjian antara dirinya dengan seseorang bertandatangan sebagai Mirza Dimitri. Dia yang tak lain adalah putra tunggal CEO Divaska Group tersebut. "Mirza bilang, dia akan balikin aset Papa asal gue ngerjain semua proposal perusahaan yang harus jadi tanggung jawabnya. Cuma tinggal tiga proyek lagi." Luna mendecak, mengacak-acak rambutnya. Malas mengurus berkas itu, ponsel menjadi tujuan. Hanya membuka laman i********:-nya saja, dia melihat foto pria necis dengan seorang wanita Jepang seksi yang sedang menggelayut manja di sisi bahunya. Brak! Dilemparnya berkas itu ke lantai. Lelah sekali mengurusi hal-hal tersebut belakangan ini. "Sialan ni anak! Gue yang ngerjain proposalnya, dia enak-enakan nyantai aja. Pak Aska itu gila, ya? Anak sinting gitu dikasih kendali perusahaan. Mana main aja kerjanya!" Krik! Luna terkejut mendengar pintu terbuka. Wajah pria tampan muncul di sana. Tubuh atletis jelas terlihat dengan padanan kemeja dan rompi navy jenis slim fit itu, memperlihatkan lekuk otot d**a dan lengannya yang atletis. Deretan alis tebal di antara mata elang dan hidungnya yang mancung, rupa sempurna untuk seorang playboy kelas dunia. Bias wajah yang tampan, sayangnya otaknya terkikis habis oleh kegiatan hura-huranya beberapa tahun terakhir. Mirza Dimitri, putra satu-satunya dari Divaska Pratama, pemilik dari Divaska Group. "Ohayou, Mikki-Chan!" sapanya. Garis senyum sinis yang enggan dibalas Luna. Sapaan selamat pagi dan mengubah nama Luna sesuka hatinya hanya karena bermakna sama. Bulan. "Pagi-pagi udah nyamperin kantor gue. Lo nganggur?" "Kangen sama pacarku, dong!" oceh Mirza, sesukanya. Pria itu mengutip berkas di lantai, lantas duduk di deretan sofa. Membolak-balik berkas, lalu dilemparnya lagi ke meja. Senyumnya begitu dingin dan sinis. Direnggangkannya tangan pada pundak sofa, begitu bossy. "Lo ngapain aja, sih? Ini berkas belum dikerjain," tukasnya. Luna memipihkan matanya, beranjak dari kursi untuk duduk di depan Mirza. Pria ini sungguh membuatnya kebat-kebit. Tak ada yang pernah bisa mengimbangi keusilan dan rasa tenangnya selama ini selain pria tampan berhidung mancung campuran Eropa itu. "Ayolah! Proyek ini bakal adu tender untuk minggu depan." "Ya kalau jadwalnya mepet, lo aja yang ngerjain. Ah, lupa. Otak lo nggak nyampe segede ini," nyinyir Luna seraya menunjukkan kepalan tangannya. Bukannya tersinggung, Mirza hanya angkat bahu, cuek. Ponsel menjadi sasarannya untuk menatap foto-foto wanita cantik koleksi salah satu bar di Yokohama. Sesekali dia mendecak menatap wanita seksi berbikini itu. Scroll atas-bawah, Luna hanya geleng kepala dengan hela napas panjang. "Eh, hidup lo itu unfaedah banget, sih! Keluyuran sana-sini. Gue rasa bar satu Yokohama ini udah lo absenin satu-satu," omelnya. Luna meraih berkas itu dan melemparkan ke pangkuan Mirza agar atensinya teralihkan dari layar. "Eh, itu proyek yang lo tangani, kenapa lo oper ke gue terus, sih? Muak gue liatnya. Perusahaan bokap gue jadi nggak beroperasi normal belakangan ini. Proyek iklan TV Nikola yang gue tangani minggu lalu, jadi berantakan!" dengkus Luna, bersidekap. Mirza hanya terkekeh pelan, mengambil permen karet dari sakunya. Melumat sebentar, menatap serius kemarahan Luna. Ponsel itu kembali disimpan untuk menantang kekesalan wanita ini. "Perlu gue ingatkan lagi, Nona? Lo yang datang ke gue dan minta aset bokap lo yang ditipu bokap gue untuk dikembalikan. Gue mau bantu, asal lo nurutin syarat dari gue. Lupa?" Luna cemberut, lantas beranjak duduk tepat di samping Mirza. Pria itu hanya menatapnya usil, tertawa kecil melihat kejengkelan Luna. "Tapi lo janji, ya. Ini proyek terakhir lo yang harus gue kerjakan. Setelah itu, lo balikin aset bokap gue." "Iya, sih. Takut amat." Enggan bicara, Luna hanya memperhatikan Mirza yang asik tertawa seraya melumat permen karetnya. Entah hal apa yang dia pikirkan hingga senyum usil itu tak memudar. "Eh, Mir. Lo pernah ngerasa nggak, sih, insyaf sebentar aja? Mungkin lo pengen, 'ah, kenapa gue nggak mati aja, ya? Hidup gue nggak guna banget. Mungkin gue bisa loncat aja dari Tokyo Tower. Kerjanya cuma nyantai, clubbing, malah ngerepotin Luna aja. Otak gue masih berkilau karena nggak pernah dipake mikir untuk kerja di perusahaan sendiri'. Pernah gitu, nggak, Wahai Mirza Dimitri yang terhormat?" Mendengar omel Luna, Mirza terkekeh hebat. Dia jatuh ke sisi sofa sambil memukul-mukul tempat duduk tersebut. Tawanya membuat Luna kesal, gulungan berkas di tangannya itu pun mendarat empuk di kepala pria tersebut. "Malah ketawa, ya! Dasar, cowok gila. Dedemit! Turunan Dajjal." Luna mendengkus, malas meladeni pria ini lagi. Kembali ke kursinya untuk mengurus berkas di tangannya. Puas dengan kekeh itu hingga sakit perut, Mirza kembali duduk dan mengeluarkan permen karet dari mulutnya. Menempelkan saja di sofa, berharap siapa pun relasi Luna yang duduk nantinya, akan terperangkap jebakan itu. "Ah! Pasti gue satu-satunya yang bisa bikin seorang Luna jadi berantakan gini." Pria itu mendekat, duduk di ujung meja Luna hingga menjorok ke dalam dan membuat kakinya menggantung dari lantai. Ditariknya berkas yang ditangani Luna saat ini, lalu dilemparnya ke lantai. "Apaan lagi, sih?" keluh Luna. "Oh iya, gue denger ... lo punya pacar di Bandung, ya?" Luna terdiam mendengar pertanyaan itu. Sekian detik, begitu cepat ingatannya mengukir wajah tampan dan senyum yang tak pernah dia lupakan. Kekasihnya yang ditunggu sekian lama, menanti kembali untuk merajut cinta dan kerinduan lalu. "Dia masih koma? Ini udah tahun keempat, loh! Lo yakin dia bakal bangun?" oceh Mirza. Luna hanya membatin, menatap serius wajah pria ini. 'Tuhan, pengen banget gue acak-acak muka tengilnya itu pakai sedotan WC, trus gue cocol pakai wasabi, biar pedes sekalian. Muka ganteng, tapi aura dajjal gini. Kalau bukan karena gue terpaksa nurut demi aset Papa, udah gue hanyutin aja nih anak ke laut Jepang. Biar sekalian aja diterkam sama Godzila!' Klik! Mirza menjentikkan jari, menarik atensi Luna untuk kembali memperhatikannya. Biasnya akan selalu santai meski lawan bicaranya ini sudah geleng-geleng kepala dengan ucap semaunya. "Mau main, nggak? Bokap gue bilang, dia bakal ngasih kendali penuh Divaska Group yang ada di sini ke gue, asal gue cari calon istri dalam satu bulan ini." Tak ada tanggapan dari Luna, hapal sekali dia rencana gila apa lagi yang akan dilakukan pria beriris mata cokelat ini. "Lo nggak perlu tangani proyek gue lagi, tapi sebagai gantinya, kita tunangan dan pura-pura jadi pasangan serasi di depan bokap gue. Sampai surat kuasa itu jatuh, lalu kita pisah. Gimana, Mikki-Chan?" Luna mendecak, menghela napas. 'Kan, bener. Otaknya korslet lagi. Apa harus gue turutin, ya? Atau gimana?' batinnya. Sibuk tertawa sambil menggaruk dagunya karena merancang ide usil lain, Mirza akhirnya jatuh ke lantai saat Luna mendorongnya sekuat tenaga. Meja itu cukup tinggi hingga Mirza tak mapan menginjak lantai ketika jatuh. Alhasil, wajahnya terjerembab ke lantai. "Arrgh!" "Game over!" teriak Luna, bertepuk tangan. Mirza mendecak, duduk di lantai dengan kaki selonjor. "Dasar, cewek bar-bar! Kalau tadi hidung gue patah, gimana? Ntar muka gue nggak ganteng lagi." Luna hanya tertawa, meninggalkan kursi untuk duduk di dekat Mirza. Sempat mendekat, mengusap pipi Mirza dengan tatapan menggoda. Wangi parfum wanita itu menari-nari di hidungnya. "Lo bisa bermain-main dengan hidup gue, Mirza. Tapi satu hal, jangan pernah berpikir bisa merusak perasaan gue untuk Arvin. Kalau sampai lo tetap nekat, gue sunat lo!" Mirza bergidik ngeri, melindungi aset berharga di balik celananya yang ditunjuk Luna dengan tawa menggila wanita itu. Menyadari Luna masih terlalu dekat dengan wajahnya, Mirza mendorong dahi Luna dengan telunjuknya agar wanita itu menjauh. "Ge-er lo, ya! Apa lo pikir gue minat sama lo? Gue udah bosan sama yang ukurannya 38," oceh Mirza sambil melirik d**a gempal Luna yang seperti menjerit karena blazer ketat itu. Luna pun mendecak, menimpuk sebentar kepala Mirza. "m***m!" "Cuma tunangan bohongan, kok. Bokap bilang, asal tunangan doang, bokap langsung ngasih surat kuasa itu dan gue juga akan serahkan sertifikat bokap lo di saat yang bersamaan." Tawaran Mirza membuat Luna berpikir sejenak. Pria itu bangkit, sedikit menendang kaki Luna yang menghalangi jalannya. "Oi!" kesal Luna. "Pake mikir segala, sih? Cuma tukar cincin doang. Lo takut apa? Gue tidurin? Dih, udah gue bilang, gue udah bosan sama yang bentuknya kayak lo ini! Oke, gue tunggu dalam tiga hari ini!" "Dih, emang lo mau cewek yang gimana? Kayak bidadari? Atau yang kulitnya terbuat dari emas? Lo tuh cocoknya sama Mak lampir," ketus Luna. "Bising, lo! Bye!" Usai Mirza pergi, Luna mengambil waktu berpikir. Berbaring sebentar di sofa empuk itu. Tawaran cukup mudah dan dia bisa terlepas dari kendali putra gila Pak Aska tersebut. "Tunangan doang, kan? Bener, sih. Nggak perlu repot juga. Toh dia juga nggak akan ingkar janji. Tapi kalau dia masih ngajuin syarat-syarat lain, beneran kugunting anunya!" Luna kembali tersenyum, diraihnya ponsel untuk memeriksa galeri. Foto seorang pria yang dirindukan. Meski sedikit berurai air mata, Luna tersenyum. "Luna kangen Kak Arvin. Tunggu sebentar, ya! Luna pasti pulang, Kak. Tapi Kak Arvin harus bangun, loh! Komanya lama banget. Beneran jadi sleeping beauty, ya? Perasaan udah aku cium dulu berkali-kali, nggak bangun juga." Tegar. Itulah yang dilakukannya beberapa tahun terakhir. Berpikir sia-sia menanti Arvin bangun, orangtuanya mengirim Luna ke Jepang ini untuk memulai hidup baru. Berhasil membangun karir, hidup dipenuhi gemerlap kota dan kesibukan, hatinya tetap merindu pada Arvin, kakak kelas yang dulu dia gilai saat di bangku SMU. "Boku wa kimi no mono (Aku ini milikmu)." Foto terakhir kali yang diambil sebelum tragedi mengerikan itu. Air matanya jatuh saat garis bibirnya tertarik ke atas untuk mengulas senyum. "Suki desu, Aru-kun. Kimi ni aitai. (Aku menyukaimu. Aku merindukanmu). Cepat bangun, Kak Arvin." Berharap waktu cepat berlalu, Luna merindukan senyum dan sentuhan kekasih yang dia tinggalkan di Bandung sejak dua tahun terakhir. Cinta pertamanya, sang kekasih hati. 'Koishii hito' yang berarti orang tercinta dalam bahasa Jepang. Tulisan itu tercantum pada sebuah foto di dinding ruangan. Arvino. Sangat merindukannya. Kembali Luna tersenyum, bangkit dari posisi berbaring. Saat hendak memperbaiki gerai rambutnya, benda basah dan lengket itu berada di antara helai rambut hitamnya. "Aih! Dasar Jin Iprit! Demit imp*ten!" kesalnya. Mirza Dimitri, pria beraura setan itu selalu meribetkan hari-hari Luna seperti biasa. Alhasil, ditinggalkan saja pekerjaan kantor itu untuk pergi ke salon langganannya yang tak jauh dari lokasi kantor. Setibanya di antara deret ruko itu, diraihnya gagang pintu bertuliskan 'Open' itu. Seorang wanita cantik pun menyambutnya dengan sopan. "Irasshaimase (selamat datang)!" seru pegawai salon itu. Luna mengangguk tipis, mengambil duduk di kursi kosong dekat jendela. "Ohayou, Aiko-Chan!" "Ohayou, Runa-san! Luna hanya cemberut sedikit, lalu menunjukkan rambutnya yang tersangkut permen karet hasil kejahilan Mirza tadi. Sang pegawai salon pun tersenyum, lalu dengan telaten melayani Luna. Menggunting rambut, creambath, lalu sedikit pijatan untuk relaksasi diri. "Kara wo onegaishitai no desu ga, kinpatsu demo daijobu desho ka (Saya ingin mewarnai rambut, tetapi bisakah dibuat pirang)?" "Hai, daijobu desu (Ya, kami bisa)." Warna blonde menjadi pilihan senada dengan rambut bergelombang untuk menambah kesan seksi dirinya. Begitu terampil menata diri. Beberapa waktu berlalu, Luna menikmati pelayanan baik itu. Kling! Pesan masuk terdengar di ponsel saat Luna asik duduk santai dengan kepala dibungkus alat steamer rambut tersebut. Pesan dari kakaknya. "Kak Windy? Nge-chat banyak banget gini. Pasti ngomel, deh!" Dibukanya jendela pesan, membaca deretan pekik marah dalam baris tulisan itu. Lebih mirip kolom koran daripada layar w******p. [Ngapain, masih sibuk juga? Rey udah tau kamu nggak balik-balik dari Jepang. Ini beneran kamu udah nggak minat sama Arvin lagi?] [Arvin koma udah hampir empat tahun. It's oke kalau mama kita nggak mau kamu nunggu dia lagi, tapi itu beneran perasaan kamu udah nggak ada untuk dia?] [Eh, curut! Awas aja kalau tahun ini lo nggak pulang juga untuk jenguk Arvin, ya! Gue kempesin itu d**a lo. Dasar tengil!] [Kayaknya Arvin bakalan sadar sebentar lagi. Pulang, nggak? Udah dua tahun lo di sana. Kalau nggak, gue pentung pala lo pake gebukan kasur si bibi! PULANG!] [Tahun ini nggak pulang juga? Besok Reyhan balik dari Inggris.] Tertawa kecil membaca deret pesan itu, matanya mulai berkaca-kaca. Rindu. Sangat ingin pulang. Lantas, Luna tersenyum, menaikkan sedikit kepalanya untuk membentuk khayal angan. Masih dia ingat betapa cerewetnya Windy saat mengomel. Setidaknya sudah dia dengar bahwa kakak kandungnya itu akan segera melepas masa lajangnya. "Ah, Kak Rey! Calon kakak iparku itu pasti makin ganteng. Apa beneran dia mau merit sama Kak Windy, ya?" Atensinya kembali tertuju pada layar. Kali ini pesan chat dari Reyhan, kekasih sang kakak. [Lo kenapa, sih? Keracunan sianida? Dua tahun nunggu Arvin koma, abis itu lo pindah gitu aja ke Jepang? Mana nggak balik-balik selama dua tahun ini. Gue lusa sampe ke Bandung. Mau langsung gue kawinin aja itu kakak lo. Awas aja kalau lo ga pulang. Spesial gue kirimin dajjal ke sana untuk cabut nyawa lo.] Luna terkekeh, geli. "Makasih, Kak. Gue udah pusing sama satu demit itu. Jangan tambahin lagi." Hela napas kasar pun keluar dari sela bibirnya. Rindu sekali dia dengan suasana kota Bandung, juga para teman dan keluarga yang dulu selalu ada untuknya. Hanya saja, senyum yang diulaskan selama ini palsu belaka karena tak ada yang tahu permasalahan rumit apa yang menderanya selama di Jepang. "Aku juga kangen kalian. Pengen peluk Kak Arvin juga. Maaf, aku terpaksa nurutin mama. Takutnya nanti kalau aku ngeyel, mama sama papa jadi recokin rencana masa depan kalian." Cerita lama tentang keluarga calon kakak iparnya itu masih kentara di ingatan Luna. Arvin adalah kakak kandung Reyhan. Saat kakaknya, Windy, berjodoh dengan Reyhan, mamanya enggan Luna juga menjalin kasih dengan Arvin. Awalnya menerima, lalu insiden perampokan itu terjadi hingga Arvin koma untuk waktu yang lama. Mengingatnya saja air matanya mengalir. Cerita lama yang menyakitkan. *

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
297.9K
bc

Wedding Organizer

read
48.0K
bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
475.4K
bc

The Ensnared by Love

read
105.4K
bc

Love Match

read
176.1K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.9K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
55.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook