Ujian Itu Pasti Akan Selalu Datang

1169 Kata
"Perjalanan Menuju Surga itu dipenuhi duri-duri yang tajam, tidak mungkin diraih tanpa perjuangan, pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa." ****    Pertanyaan Ibu tadi masih terngiang-ngiang di pikirannya. Dia dengan mudahnya memberikan masukan kepada orang lain. Namun, rumah tangganya sendiri saja seperti ini. Bagaimana jika orang-orang tahu siapa dirinya sebenarnya nantinya.     "Kamu masih memikirkan hal tadi?" tanya Halimah yang hanya melihatnya diam setelah pulang dari kajian mereka. Hilya menengok ke arah Bu Halimah dan tersenyum paksa.       Sudah hampir beberapa minggu Hilya tinggal di rumah Halimah, dia merasa segan semakin lama tinggal disini, Tapi Halimah memaksanya untuk tetap disini. Dia sudah menganggap Hilya sebagai anaknya sendiri. Surat perceraian sudah ada di genggaman Hilya, Namun rasanya ia masih sulit untuk memberikan ini kepada suaminya. Dia masih mencintai suaminya. Pernikahannya belum genap setahun tapi kini sudah di ujung tanduk.    "Enggak kok, Bu," jawab Hilya berbohong.    "Jangan bohong Ibu, mulut kamu berkata tidak tapi Mata kamu mengiyakan," ucap Halimah ikut duduk di samping Hilya.    "Bu, Hilya nggak pantes jadi seperti Ibu," ucap Hilya akhirnya mengeluarkan unek-unek di hatinya.   "Kenapa? Semua orang berhak berdakwah selama itu mengajarkan hal baik," ucap Halimah lagi.    "Tapi, apa yang Hilya sampaikan seakan hanya kemunafikan, Bu. Mereka mengira Hilya orang baik tapi sebenernya Hilya jauh dari kata baik, Bu." Hilya tidak menyangka setelah kenal dengan Halimah ia malah menjadi pendakwah seperti Halimah. Awalnya ia hanya mencoba menggantikan Halimah yang sakit waktu itu, tapi tanpa disangka orang-orang menyukainya.    "Semua orang pasti memiliki masa lalu yang buruk, Hil. Nggak semua orang itu mulia. Ibu juga punya masa lalu yang buruk dulunya sebelum Ibu bisa menjadi seperti ini. Ibu melakukan ini mengharapkan ampunan atas apa yang Ibu lakukan dulu. Ibu juga masih proses memperbaiki diri," ucap Halimah memberikan motivasi kepada Hilya.    "Tapi Bu, jika semua orang tahu jika ternyata Hilya adalah Istri kedua bagaimana? Dan ternyata Hilya kabur di saat Hilya masih berstatus istri, walaupun sebentar lagi status itu mungkin berganti," jawab Hilya.    "Penilaian manusia dengan Allah itu berbeda, Nak. Biarkan manusia menerka-nerka dengan prasangka buruknya. Asalkan Allah tetap memberikan hidayahnya untuk kita tetap berbuat baik."    "Iya bu, makasih ya," ucap Hilya tersenyum tulus. Bu Halimah ini sudah seperti Ibu kandungnya yang selalu memberikan semangat disaat dirinya bingung dengan perasaannya sendiri. ....    Sedangkan Lena, dia tidak terima dibuang begitu saja oleh Hamish. Dia akan membalas perbuatan Hamish dan juga Hilya. Tadi, selepas ia di usir dia melewati sebuah masjid, tadinya ia tidak peduli dengan kajian yang entah apa gunanya itu menurutnya. Tapi, setelah dia melihat seseorang yang familiar itu membuatnya berhenti dan mengintip orang tersebut. Ya, Dia Hilya, bisa-bisanya dia menjadi sok alim seperti itu disaat sudah merebut rumah tangga orang lain. Dia tidak akan membiarkannya begitu saja.     "Lihat saja Hilya, kamu tidak akan pernah bahagia setelah kamu merebut suami orang!" ucap Lena saat dia sudah disebuah kontrakan kecil yang jauh dari kemewahan seperti rumahnya dulu.     Lena mengambil handphonenya dan menelepon seseorang untuk membuat rencana menghancurkan Hilya. . . .     Keesokan harinya Hilya bersiap untuk mendatangi sebuah pengajian lagi bersama Halimah. Perasaannya sedikit tidak tenang, jika biasanya dirinya antusias setiap akan mendatangi pengajian tapi rasanya saat ini perasaannya tidak enak. Apa mungkin karena setelah ini ia akan memberikan Surat perceraiannya dengan Hamish. Ya, mungkin itu yang membuat perasaannya tidak enak.    Halimah memanggil Hilya yang melamun di teras sambil memegang surat di tangannya.    "Hil...."    "Hilya, kamu nggak papa?" panggil Halimah sedikit lebih keras kepada Hilya.     "Kamu kenapa?" tanya Halimah lagi.     "Nggak papa, Bu. Yaudah ayok kita berangkat," ucap Hilya bangkit mengajak Halimah.     "Kalau kamu nggak siap mending lain Kali aja kamu antarnya. Dan kamu nggak usah ikut Ibu ngisi kajian aja, istirahata di rumah," jawab Halimah.    "Enggak, Bu. Saya nggak ayo kita berangkat nggak enak kalau para jamaah menunggu terlalu lama nantinya," kata Hilya mengangandeng Halimah. Karena tempat kajiannya tidak jauh dari rumah mereka lebih memilih jalan kaki itung-itung sekalian olahraga pagi. Halimah hanya mengangguk dan berjalan bersisihan dengan Hilya.    Beberapa menit kemudian Hilya dan Halimah sampai di masjid tersebut. Tapi, tidak seperti biasanya mereka menunggu di luar seperti ini.     "Assalamualaikum, Ibu-ibu udah pada nunggu lama ya?" kata Hilya sambil tersenyum tulus. Mereka hanya menjawab salam Hilya seadanya dengan raut wajah yang sinis terhadap Hilya.    "Ada apa Ibu-Ibu?" tanya Hilya bingung melihat raut wajah mereka yang tidak menyenangkan.    "Heh Hilya! Selama ini kamu itu pendakwah macem apa?! Kamu selama ini ternyata udah punya suami dan kabur kan dari rumah suami kamu?!" ucap salah satu ibu-ibu.    "Iya bener itu! Dan katanya lagi dia tuh ternyata Pelakor! Alias perebut laki orang. Terus sampe sekarang dia masih status istri kedua lagi!" ucapnya lagi.    Bagaimana-bagaimana mereka bisa tahu semua ini.    "Iya bener itu! Masa kita dapet ceramah dari orang munafik kayak gini. Yang ada kita Makin buruk Ibu-Ibu." Mereka saling bersautan untuk mencemooh Hilya yang hanya bisa diam saja saat ini.    "Ibu-ibu tenang, kalian tahu berita ini dari mana?" ucap Halimah menengahi mereka.   "Halah! Udahlah Bu Halimah. Udah tahu dia masih istri orang kenapa Ibu lindungin bukannya nyuruh dia selesain dulu rumah tangganya sama suaminya, Bu!" ucap mereka lagi.    "Kalian tahu ini tuh dari mana? Hati-hati terhadap fitnah Ibu-Ibu." Halimah mencoba menenangkan mereka yang menyudutkan Hilya saat ini.    "Itu nggak fitnah kok, kalau pun itu salah seharusnya Hilya ngomong dong bukan malah diem aja bener nggak?" ucap seseorang di belakang mereka.    Hilya dan Halimah menengok ke arah orang di belakang mereka. "Lena?!" ucap Hilya terkejut dengan kedatangannya.    "Kenapa? Kamu kaget ngeliat aku? Atau kaget karena orang-orang tahu kebusukan kamu yang sebenarnya?" ucap Lena lagi dengan sinis. Dia berhasil mengompori Ibu-Ibu pengajian itu untuk menyudutkan Hilya saat ini. Dia pun juga berhasil membawa Hamish bahwa dia telah bertemu dengan Hilya.     "Kamu aku cari kemana-kemana, Hilya dan ternyata kamu nggak sedikitpun pulang ke rumah," ucap Hamish menggelengkan kepalanya.    "Tuh, Ibu-ibu panutan kalian! Penceramah kalian itu MUNAFIK! Mana ada sih penceramah tapi kelakuannya kayak gini. Masih istri tapi pergi nggak izin sama suami, bisa-bisanya kayak gini jadi penceramah!" ucap Lena lagi memanasi mereka.    "Iya ih, lihat ternyata orang yang kita kira alim kayak gini."    "Tahu ya, jangan-jangan dia tuh manfaatin Bu Halimah."   "Tapi, Bu Halimahnya juga masa ngelindungin orang kayak gini ya. Nggak habis pikir."    "Tetep aja yang salah perempuannya. Bu Halimah kan orang baik, jadi dia nerima aja. Atau perempuannya yang pake tampang sok malaikat."   Cuitan-cuitan ucapan mereka membuat Hilya meneteskan air matanya. Mereka tidak tahu kejadian yang sebenarnya tapi kenapa dengan mudah percaya dengan ucapan Lena. Dan lagi, Bu Halimah tidak salah kenapa jadi terbawa karena dirinya. Berbeda dengan Lena dia tertawa puas melihat Hilya yang di cemooh oleh orang-orang.    "CUKUPPPP!" pekik Hilya membuat mereka semua terdiam. . . . "Jika kamu mulai melemah ingatlah untuk tetap bersabar karena ujian itu pasti akan tetap datang untuk menguji hambanya yang tetap bersabar." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN