Ivi
" Jangan pergi. Temani saya disini..." Aku terdiam dan mengerjapkan mata bingung. Mata Dokter Ravi memang masih terpejam, namun tangannya masih menahan pergelangan tanganku cukup erat.
" Iya, saya disini." Akhirnya aku duduk di sisi ranjang kemudian tangan Dokter Ravi perlahan mengendur. Aku sentuh dahinya sekali lagi sebelum akhirnya aku meraih kompres yang memang sudah ada di nakas. Hanya saja air didalam baskom sudah dingin.
" Dok, saya ambil air hangat sebentar."
Tidak ada sahutan. Aku berjalan keluar mencari dispenser. Stelah mengisi air baskom dengan air hangat, aku kembali masuk kamar dan mulai mengompres dahinya. Sebenarnya saat ini aku merasa sangat canggung. Karena bagaimanapun juga aku masuk ke kamar laki-laki asing yang bukan siapa-siapaku. Tapi kalau aku bertahan dengan egoku dan memilih untuk pulang meninggalkan Dokter Ravi yang sedang demam tinggi, aku akan terlihat sangat tidak berperasaan.
" Vi..." Suara pelan Dokter Ravi terdengar setelah beberapa menit aku hanya diam tak tahu harus berbuat apa. Ini aku kenapa jadi kaya orang b**o sih?
" Iya Dok? Apanya yang sakit? saya nggak tahu harus gimana." Jawabku jujur. Dia dokter, jadi sudah pasti dia lebih tau dariku tetang kondisi badannya.
" Boleh minta tolong ambilin saya air putih?" Aku mengangguk.
" Sama apa lagi?"
" Itu saja."
Aku berjalan keluar mengambil atu gelas penuh air putih kemudian meletakkannya di nakas.
" Mau saya bantu duduk?" Dokter Ravi menggeleng lemah. Dia bangun kemudian menyandar di sandaran tempat tidur.
" Ini dok..." Aku mengulurkan satu gelas air putih yang barusaja aku ambil.
" Terimakasih banyak."
Aku diam sambil menunduk. Kira-kira aku harus ngapain habis ini? Dia memang judes sama aku selama ini, tapi melihat dia sakit begini aku tetap nggak tega membiarkan dia sendirian. Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa sepeduli ini.
Baiklah, biasanya aku memang tipe orang yang nggak bisa mengabaikan orang sakit di sekitarku. Tapi kali ini aku merasa sedikit janggal. Entah apapun itu, aku merasa seperti aku dan Dokter Ravi sudah mengenal sejak lama. Tapi kapan? Kami bahkan baru bertemu tahun lalu, itupun hanya sebatas kenalan dan kami tidak ada interaksi apapun selain waktu di rumah sakit dan beberapa hari terakhir.
" Vi..."
" Ya?" Aku mendongak dan mata kamipun bertemu. Mata bening itu menatapku lurus-lurus seolah mengunciku. Bahkan sedetikpun aku merasa aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari mata itu
" Kamu terlihat lelah. Kamu boleh pulang."
" Hah?" Aku mengerjapkan mata karena tiba-tiba aku merasa blank untuk beberapa detik.
" Terimakasih untuk ini." Dokter Ravi menatap gelas ditangannya kemudian beralih ke kompresan yang jatuh ke pangkuannya.
" Sama-sama dok. Tapi beneran nggak papa saya pulang?"
Dokter Ravi mengangguk.
" Beneran?"
" Iya, saya---" Kalimat Dokter Ravi terputus karena tiba-tiba dia turun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Karena desain apartemen tiap unit sangat mirip, aku langsung bisa menyimpulkan pintu yang berada di sudut ruangan adalah pintu kamar mandi.
Hoek!
Aku ikut berlari menuju kamar mandi. Dokter Ravi sedang menunduk menghadap wastafel. Tidak ada yang dia muntahkan, namun dia terlihat masih ingin muntah.
" Kaya gini kok minta ditinggal." Tidak ada sahutan. Dokter Ravi membasuh wajahnya kemudian menatapku dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.
" Dokter masuk angin juga ini mah." Aku berjalan keluar dari kamar mandi dan dia mengekor dibelakangku. Langkahnya sangat pelan dan dia juga terlihat sangat lemas. Aku rasa perutnya kosong, makanya tidak ada sedikitpun yang dia keluarkan dari perutnya ketika muntah barusan.
" Saya buatkan bubur mau?" tanyaku begitu Dokter Ravi duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk.
"..."
" Kalau diam aja saya anggap dokter setuju."
Aku berjalan keluar menuju dapur kemudian mencari bahan yang aku butuhkan. Aku tersenyum puas karena melihat kulkas terisi penuh.
.
.
.
" Buburnya dimakan atuh dok." Saat ini kami berada di meja makan dan bubur yang aku buat sudah mengepul di depan Dokter Ravi yang sedari tadi hanya diam mengamatiku.
" Maaf jadi merepotkan."
" Nggak usah minta maaf. Dimakan buburnya, biar dokter cepet sehat terus kembali pasang wajah jutek sama saya." Dokter Ravi menatapku dengan alis berkerut.
" Saya lebih suka melihat dokter pasang wajah jutek sama saya daripada wajah pucat pasi kaya sekarang ini." Lanjutku.
" Terimakasih banyak, Vi."
" Sama-sama. Cepet sembuh ya dok. Lihat dokter sakit begini, saya nyaris nggak kenal kalau dokter ini yang biasanya pasang wajah jutek sama saya." Aku nyengir.
Detik berikutnya Dokter Ravi tersenyum. Sumpah demi apa, aku baru pertama kali disenyumin manusia kaku satu ini. Dan kalian boleh percaya atau enggak, Dokter Ravi kalau lagi senyum begitu, ganteng gila!!!
Oh oke, aku oleng.
Nggak ding, aku bercanda. Yakali disenyumin gitu aja oleng.
"Vi..."
" Hm?"
" Kamu beneran boleh pulang."
" Dokter ngusir saya setelah apa yang saya lakukukan buat dokter?"
" Bukan. Wajah kamu terlihat sangat lelah. Sekarang gantian kamu yang istirahat."
Aku diam. Apa iya wajahku keliatan kaya orang lelah? Dan kalimatnya barusan apakah itu berarti Dokter Ravi juga mengkhawatirkanku? Ah sepertinya nggak mungkin. Mungkin dia hanya basa-basi aja.
" Tapi ntar dokter muntah-muntah lagi kaya tadi." Dokter Ravi menggeleng.
" Saya sudah baik-baik saja. Saya nggak ingin lebih merepotkan."
" Beneran nih?"
" Iya. Sekali lagi terimakasih banyak."
" Sama-sama. Ya sudah saya pamit dulu."
Dokter Ravi mengangguk dan tersenyum. Kali ini senyuman tipis penuh sirat akan terimakasih.
***
Ravi
Kondisiku semakin membaik setelah tiga hari ini benar-benar aku gunakan untuk istirahat. Pagi ini aku sudah berniat berangkat ke rumah sakit karena tidak enak juga kalau terlalu lama izin.
Krek!
Aku menutup pintu apartemen dan merapikan kemejaku.
" Selamat pagi Dokter Ravi! Udah sembuh?" Aku menoleh begitu mendengar seseorang menyapaku. Dia Ivi. Saat ini dia sedang tersenyum kepadaku. Demi apapun saat ini aku ingin sekali memeluknya dan berterimakasih sebanyak-banyaknya. Tapi aku siapanya sampai berhak memberinya pelukan?
Seseorang memang tidak mungkin terlalu banyak berubah. Meski dia melupakanku, tapi dia tetap Ivi yang dulu. Ivi yang selalu peduli dengan orang-orang disekitarnya.
" Terimakasih banyak untuk kemarin."
" Sama-sama." Ivi tersenyum kemudian dia buru-buru merapikan rambutnya.
" Saya duluan ya dok." Aku mengangguk.
Dia jalan cepat-cepat setengah berlari menuju lift. Aku berjalan mengekor dibelakangnya. Begitu lift terbuka, aku masih bisa masuk lift yang sama dengannya.
" Dokter sakit apa sih kemarin?" Tanya Ivi tiba-tiba. Mungkin dia merasa aneh kalau kami berdua hanya diam di dalam lift.
" Demam. Terlalu lelah, mungkin."
" Ohhh, dokter udah kaya mayat hidup loh kemarin."
Aku hanya tersenyum menanggapi.
Ting!
Pintu lift terbuka. Lagi-lagi aku dan Ivi berjalan beriringan. Entah kenapa aku sangat menikamati jalan bersebelahan dengannya.
" Bu Ivi!" Aku ikut menoleh begitu seseorang memanggil Ivi tepat ketika kami barusaja keluar dari pintu utama apartemen.
Orang itu adalah laki-laki yang mungkin seumuran denganku. Dia berdiri di samping mobil berwarna marun dengan setelan sangat rapi. Mataku memicing begitu melihat ada kemiripan name tag yang Ivi pakai dengan yang laki-laki itu pakai.
" Loh Pak Rama, sudah lama?" Ivi tampak terkejut namun detik berikutnya dia menghampiri laki-laki itu sambil tersenyum lebar.
" Jadi riset bareng kan Bu?"
" Iya pak. Sebelumnya terimakasih banyak sudah banyak membimbing saya. Maklum, saya masih orang baru."
" Tidak apa-apa. Mari bu, kita pakai mobil saya saja daripada harus pakai mobil sendiri-sendiri. Boros dan tidak efisien."
" Apa nggak aneh pak? Nanti ada yang salah paham."
" Saya tidak masalah."
Entah kenapa tanganku langsung terkepal melihat laki-laki itu tersenyum lebar kearah Ivi. Bukan karena aku nggak suka laki-laki itu tersenyum. Tapi aku paham benar maksud dari senyum itu.
Oh oke, kukira mendapatkan gadis secantik dan sebaik Ivi memang bukan hal yang mudah.
" Dokter, saya duluan ya!" Ivi balik badan dan tersenyum padaku. Aku mengangguk.
" Dia siapa bu?"
" Tetangga saya pak."
" Oh gitu. Mari dok!" Laki-laki itu ikut tersenyum padaku.
Aku langsung bergegas meninggalkan mereka begitu aku melihat Ivi masuk kedalam mobil bersama laki-laki itu.
SHIT!
***