Begin
Ivi
" Makasih banyak mbak." Ucapku sopan pada petugas apotek begitu aku menerima uang kembalian. Untuk ke-empat kalinya setelah aku pulang ke Indonesia bulan lalu, aku pergi ke apotek menebus obat untuk papa.
Hai, sebelumnya aku kenalan dulu ya, sama kalian. Namaku Silvira Putri Winata. Umurku dua puluh enam tahun dan aku perempuan single. Harus banget ya, ngomongin status sama kalian? Sebenarnya sih enggak, cuma pengen ngasih tahu aja. Nggak tau juga kenapa. Hehe...
Ngomong-ngomog, umur dua puluh enam tahun tua banget nggak sih kalau masih single? Enggak kan ya? Hanya saja, gara-gara sahabat dekatku udah punya anak ditambah adik sepupuku baru saja nikah, jadilah aku ngerasa kalau aku ini tua banget.
Saat ini aku masih belum memiliki pekerjaan tetap karena aku baru diwisuda S2 satu setengah bulan lalu dan baru kembali ke Indonesia satu minggu setelahnya. Begitu sampai di Indonesia, aku mendengar ada lowongan pekerjaan yang kebetulan sangat aku minati. Jadilah tanpa mnunggu lama, aku langsung mengirim surat lamaran. Kira-kira pekerjaan apa yang sangat aku minati? Aku rasa kalian akan cukup kaget jika mengetahuinya. Yap! Aku melamar untuk bekerja sebagai dosen di salah satu universitas ternama di kotaku. Doakan ya, semoga aku diterima. Amiiin.
Sebenarnya, alasan utama aku ingin menjadi dosen adalah karena dari kecil aku suka sekali dengan hal yang berbau akademis. Ditambah lagi, suami dari adik papa -aka tanteku- juga berprofesi sebagai dosen. Aku jadi lebih termotivasi lagi karena omku itu. Tiap kali aku ngobrol dengan beliau, aku hampir selalu dibuat takjub. Jadilah, cita-cita berprofesi sebagai dosen semakin mengakar di otakku. Dan yang lebih aku syukuri lagi, aku terlahir dari orang tua yang memiliki background pendidikan yang bagus. Jadi tanpa diragukan lagi, kedua orang tuaku sangat mendukung pilihanku ini.
Kembali ke posisiku saat ini, karena apotek terletak tidak terlalu jauh dengan rumahku, aku melilih untuk berjalan kaki sambil sesekali menikmati lalu lalang kendaraan di jalan raya yang mulai sepi karena hari sudah menjelang petang. Aku tersenyum mengingat bahwa jalan yang sedang aku lewati ini menyimpan banyak kenangan masa-masa sekolah dulu.
" Mbak Ivi..." Aku berhenti dan menoleh begitu ada mobil BMW hitam berhenti tepat di sampingku.
" Eh Ris, Ga..." Aku tersenyum kearah Risa -adik sepupuku, dan Arga, suaminya. Just information, mereka ini pengantin baru. Hmmm!
" Mau pulang mbak? Ayo sekalian ikut kita."
" Nggak usah, rumahku kan habis belokan itu sampai."
" Masih jauh kali mbak. Lagian kenapa jalan kaki sih? udah mendung loh ini."
" Sengaja Ris, mau sekalian nostalgia. Jarang-jarang aku bisa begini."
" Serius nggak mau mbak? Keliatan mau ujan loh ini..."
" Iya mbak, ikut kita aja." Itu suaranya Arga, suaminya Risa. Kan, dipanggil mbak jadi makin berasa tua akunya. Padahal Arga ini seumuran sama kakaknya Risa.
" Ya udah deh, iya."
Akhirnya aku membuka pintu belakang dan bergegas masuk. Namun mataku melebar begitu ternyata ada orang lain yang juga duduk di jok belakang. Mataku menyipit berusaha mengenali laki-laki berkemeja hitam yang tampak tidak asing di mataku. Tiba-tiba aku ragu untuk masuk. Ini siapa sih? Kaya pernah liat?
" Mbak, buruan masuk. Kok malah diem?"
" Eee--- Iya, iya." Aku masuk dan duduk tepat disamping laki-laki itu, sementara otakku masih berputar mencoba mengingat siapa dia.
" Mbak, nggak ingat sama Mas Ravi ya?"
" Ha? Ravi siapa?"
" Yang duduk di samping embak lah. Mobilnya lagi dipinjem temen, jadi pulangnya ikut kami deh." Praktis aku menoleh dan laki-laki itu juga menoleh. Mata kami bertemu untuk seersekian detik.
" Mas Ravi ini dokter yang waktu itu nanganin si Rivan loh mbak. Masak nggak inget?"
Mendengar itu, seketika otak brilianku mengingat wajah yang pernah aku lihat kurang lebih satu tahun silam ketika adikku –si Rivan- kecelakaan motor dan di bawa kerumah sakit.
" KAMU DOKTER YANG SUPER JUDES ITU?" seketika suaraku naik satu oktaf.
***
Warning : Tulisan ini hanyalah FIKTIF BELAKA :)